Setiap musim haji, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia memadati Tanah Suci. Namun, di balik hiruk-pikuk ibadah akbar ini, terselip sejumlah tantangan serius yang perlu mendapat perhatian khusus, terutama terkait isu visa non-haji dan penyalahgunaan jalur keberangkatan.
Baru-baru ini, sebanyak 37 WNI diduga berangkat ke Arab Saudi menggunakan visa non-haji. Dari jumlah tersebut, 34 orang akhirnya dibebaskan setelah melalui pemeriksaan intensif oleh aparat keamanan Arab Saudi. Sementara itu, tiga orang lainnya masih ditahan oleh Kejaksaan Madinah karena diduga sebagai koordinator keberangkatan haji ilegal. Ketiganya diidentifikasi dengan inisial SC, SE, dan MA, dan kini menjalani proses hukum lanjutan di bawah pengawasan otoritas Saudi.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah turut serta dalam proses pendampingan pemeriksaan. KJRI memastikan hak-hak warga negara tetap terpenuhi selama proses hukum berlangsung. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi warganya di luar negeri, terlebih saat menjalani ibadah besar seperti haji. Hingga kini, pihak KJRI terus menjalin komunikasi dengan otoritas lokal untuk memastikan proses berlangsung adil dan transparan (Kementerian Luar Negeri RI, 2024).
Fenomena keberangkatan calon haji menggunakan visa non-haji bukan hal baru. Pemerintah Arab Saudi sejak beberapa tahun terakhir telah meningkatkan pengawasan ketat terhadap kedatangan jamaah, termasuk melalui sistem biometrik dan verifikasi visa secara digital. Kebijakan ini bertujuan mencegah penumpukan jamaah di luar kuota resmi dan menjaga ketertiban pelaksanaan ibadah haji (Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, 2023).
Bagi masyarakat Indonesia, penting untuk memahami bahwa berhaji melalui jalur resmi bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi juga demi keamanan dan kenyamanan beribadah. Jamaah dengan visa tidak sah kerap menghadapi risiko deportasi, penahanan, atau bahkan kehilangan akses fasilitas haji, termasuk akomodasi dan layanan kesehatan. Pemerintah Indonesia telah berulang kali mengingatkan agar masyarakat hanya menggunakan jalur resmi yang ditetapkan oleh Kementerian Agama (Kemenag RI, 2024).
Di tengah isu yang berkembang, ada kabar baik yang datang dari Mekah, khususnya bagi jamaah asal Aceh. Tahun ini, sebanyak 4.780 jamaah haji dan petugas dari Aceh kembali menerima dana wakaf dari lembaga Baidul Asyi. Setiap orang mendapatkan 1.500 riyal atau sekitar Rp6,5 juta. Dana ini berasal dari wakaf Habib Bugak Asyi, seorang dermawan keturunan Arab yang pernah tinggal di Aceh pada abad ke-18. Dana tersebut dikelola dan disalurkan setiap musim haji sebagai bentuk dukungan finansial kepada jamaah Aceh (Serambi Indonesia, 2024).
Tradisi pembagian dana wakaf ini telah berlangsung selama 18 tahun berturut-turut. Wakaf Habib Bugak Asyi menjadi salah satu contoh nyata bagaimana sejarah dan kepedulian sosial bisa terus hidup dan memberi manfaat lintas generasi. Para penerima dana mengaku sangat terbantu, apalagi dalam menghadapi tantangan logistik dan kebutuhan harian selama menunaikan ibadah di Mekah.
Kabar membahagiakan lainnya datang dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang menyalurkan bantuan berupa 100 kursi roda kepada Petugas Penyelenggara Ibadah Haji Arab Saudi (PPIH Arab Saudi). Kursi roda ini akan digunakan untuk melayani jamaah lansia di titik-titik krusial selama puncak ibadah haji, yakni saat wukuf di Arafah, perjalanan menuju Muzdalifah, Mina, hingga saat melempar jumrah (Baznas RI, 2024).
Distribusi kursi roda ini merupakan bagian dari program “Haji Ramah Lansia” yang dicanangkan pemerintah sejak tahun lalu. Mengingat jumlah jamaah lansia terus meningkat setiap tahun, penyediaan fasilitas yang menunjang mobilitas mereka menjadi sangat penting. Menurut data Kemenag, lebih dari 30 persen jamaah haji Indonesia tahun 2024 berusia di atas 60 tahun, sehingga program ini menjadi krusial dalam mendukung kelancaran ibadah (Kemenag RI, 2024).
PPIH Arab Saudi memastikan bahwa seluruh kursi roda sudah diterima dalam kondisi baik dan didistribusikan ke Daerah Kerja (Daker) Mekah untuk digunakan selama puncak operasional Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina). Keberadaan fasilitas ini tak hanya membantu secara fisik, tetapi juga memberi ketenangan batin bagi jamaah lanjut usia yang bisa menjalankan ibadah tanpa rasa khawatir.
Secara keseluruhan, perkembangan terbaru dari Tanah Suci menggambarkan dinamika ibadah haji yang semakin kompleks dan membutuhkan koordinasi lintas lembaga serta kesadaran kolektif masyarakat. Di satu sisi, penegakan aturan terhadap visa ilegal harus terus dilakukan untuk menjaga ketertiban pelaksanaan ibadah. Di sisi lain, berbagai bantuan dan program inklusif seperti dana wakaf dan fasilitas lansia menunjukkan semangat gotong royong yang masih hidup di tengah jutaan umat.
Untuk masyarakat Indonesia yang bercita-cita menunaikan haji, penting untuk tidak tergiur tawaran perjalanan tidak resmi yang menjanjikan keberangkatan cepat dengan biaya murah. Selalu verifikasi agen perjalanan dan pastikan semua dokumen sesuai ketentuan. Pemerintah terus membuka jalur informasi dan pengaduan melalui portal resmi Kemenag dan perwakilan luar negeri seperti KJRI.
Musim haji bukan sekadar perjalanan spiritual, tetapi juga panggilan untuk saling menjaga, memahami aturan, dan membangun kesadaran kolektif sebagai umat. Karena ibadah haji, selain sebagai rukun Islam kelima, juga menjadi cermin ketaatan hukum, kepedulian sosial, dan solidaritas kemanusiaan lintas batas.
Referensi:
- Kementerian Luar Negeri RI. (2024). “Pernyataan Resmi Terkait Penahanan WNI di Arab Saudi.” kemlu.go.id
- Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi. (2023). “Hajj Guidelines & Visa Regulations.” haj.gov.sa
- Kementerian Agama RI. (2024). “Panduan Haji Resmi 1445H.” kemenag.go.id
- Serambi Indonesia. (2024). “Jamaah Haji Aceh Terima Dana Wakaf Baidul Asyi.” serambinews.com
- Baznas RI. (2024). “Baznas Salurkan 100 Kursi Roda untuk Jamaah Haji Lansia.” baznas.go.id