Di tengah maraknya penggunaan media sosial, ibadah umrah tak luput dari sorotan publik. Instagram dan TikTok kini sering menjadi ajang dokumentasi perjalanan spiritual ke Tanah Suci. Dari video thawaf hingga momen menangis di depan Ka’bah, semua bisa muncul di linimasa dalam hitungan menit. Namun, pertanyaannya: apakah semua ini termasuk syiar yang baik atau justru jebakan riya digital? Artikel ini mengajak pembaca untuk mengevaluasi niat, menjaga adab, dan menempatkan media sosial secara bijak dalam ibadah. Dengan pendekatan yang reflektif dan edukatif, kita akan membahas batasan syar’i dan etika berbagi konten ibadah di era digital.
1. Dilema Konten Ibadah di Media Sosial
Bagi sebagian orang, membagikan momen umrah di media sosial adalah bentuk rasa syukur dan sarana dakwah. Foto Ka’bah atau video suasana Raudhah bisa menjadi pemantik semangat spiritual bagi pengikutnya. Namun bagi sebagian lain, ini justru menjadi ladang ujian—apakah ibadah berubah menjadi tontonan, dan niat berbagi berubah menjadi pamer?
Dilema ini muncul ketika keinginan untuk dilihat dan disukai mulai menyusup ke dalam niat. Ketika angle kamera dan jumlah likes menjadi prioritas, kekhusyukan bisa tergeser. Tak sedikit pula yang merasa “kurang afdhal” jika tidak mengunggah foto di depan Masjid Nabawi.
Masalahnya bukan pada media sosialnya, tapi bagaimana kita menggunakannya. Apakah konten tersebut membawa orang lebih dekat kepada Allah, atau justru mengalihkan makna ibadah menjadi sekadar visualisasi?
Media sosial memang cermin. Ia memantulkan isi hati. Maka jujurlah: apa yang kita cari dalam setiap unggahan spiritual kita?
2. Bolehkah Posting Saat Thawaf, Doa, atau Shalat?
Secara hukum fiqih, merekam atau mengambil gambar saat ibadah tidak otomatis dilarang, asalkan tidak melanggar adab dan tidak mengganggu jamaah lain. Namun secara ruhani, para ulama dan pembimbing haji sering menekankan pentingnya menjaga fokus dan kekhusyukan.
Mengambil video saat sedang thawaf atau bersujud dapat mengganggu konsentrasi dan membuat ibadah kehilangan makna. Alih-alih menjadi momen penuh kepasrahan, ia berubah menjadi momen pencitraan. Ini bukan berarti dokumentasi tidak boleh, tapi harus dilakukan di waktu dan tempat yang tepat.
Pilihlah momen setelah ibadah utama selesai, atau di area yang tidak padat. Hindari memotret wajah jamaah lain tanpa izin, apalagi dalam kondisi menangis atau berdoa dengan penuh emosi. Hormatilah ruang batin mereka sebagaimana Anda ingin dihormati.
Ingat, Allah lebih menyukai amal yang tersembunyi dan ikhlas dibanding yang diumbar dengan niat yang samar.
3. Hati-hati Terhadap Pujian yang Bisa Menumbuhkan Ujub
Salah satu efek samping dari memamerkan ibadah di media sosial adalah datangnya pujian. Ucapan seperti “MasyaAllah, semoga aku bisa menyusul”, atau “Keren banget, umrah lagi ya kak?” bisa memicu rasa bangga diri alias ujub jika tidak dijaga.
Ujub adalah penyakit hati yang membuat seseorang merasa lebih baik dari yang lain karena amalnya. Padahal, amal yang dibarengi ujub bisa kehilangan nilainya di sisi Allah, meskipun terlihat hebat di mata manusia.
Nabi ﷺ mengingatkan bahwa di hari kiamat nanti, orang-orang pertama yang diseret ke neraka adalah mereka yang beramal untuk dilihat manusia, bukan karena Allah. Maka ketika pujian datang, segeralah istighfar dan kembalikan semuanya kepada Allah.
Gunakan caption yang merendah dan memuliakan Allah. Hindari kalimat yang menonjolkan usaha pribadi, dan lebihkan pada rasa syukur serta rahmat-Nya.
4. Niat yang Benar dalam Berbagi Perjalanan Spiritual
Niat adalah fondasi setiap amal, termasuk ketika kita memutuskan untuk membagikan momen umrah di media sosial. Apakah kita berbagi untuk memotivasi, mengedukasi, atau hanya ingin eksis dan dikagumi?
Konten yang lahir dari niat yang benar biasanya jujur, reflektif, dan menyentuh hati. Ia tidak butuh filter berlebihan atau narasi dramatis. Sebaliknya, konten yang berangkat dari niat pamer akan terasa kosong, penuh pencitraan, dan minim nilai spiritual.
Bagikanlah pelajaran, bukan sekadar lokasi. Ceritakan refleksi batin, bukan itinerary. Konten yang demikian justru lebih menggugah dan menginspirasi.
Jangan takut tidak dipuji manusia, karena ridha Allah jauh lebih layak dikejar daripada likes yang fana.
5. Alternatif: Simpan untuk Diri atau Share di Circle Terbatas
Tidak semua momen sakral perlu menjadi konsumsi publik. Terkadang, menyimpan dokumentasi secara pribadi justru memperkuat makna spiritualnya. Anda bisa membuat jurnal perjalanan, voice note, atau video yang hanya Anda dan keluarga yang bisa akses.
Jika ingin tetap berbagi, manfaatkan fitur close friends atau grup terbatas yang memungkinkan interaksi lebih hangat dan aman dari pujian berlebihan.
Menyimpan sebagian amal secara diam-diam juga menjaga kita dari ujub dan riya. Amal tersembunyi lebih tulus, lebih kuat, dan lebih disukai Allah. Seperti akar pohon yang tak terlihat, tapi menopang seluruh kehidupan pohon tersebut.
Hikmah dan energi spiritual kadang lebih terasa ketika disimpan, bukan diumbar.
6. Renungan: Amal yang Tersembunyi Lebih Dicintai Allah
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya hati, dan yang tersembunyi.” Dalam konteks umrah dan media sosial, ini menjadi pengingat agar kita tidak selalu merasa harus terlihat.
Biarkan beberapa amal menjadi rahasia antara kita dan Rabb kita. Biarkan tangisan di Multazam menjadi kisah yang hanya diketahui langit. Biarkan sujud kita menjadi penenang, bukan tontonan.
Menahan diri di era keterbukaan adalah bentuk kekuatan. Ini adalah jihad jiwa yang nyata, dan bisa menjadi sebab diterimanya amal ibadah.
Semoga umrah yang kita lakukan menjadi perjalanan batin yang benar-benar mendekatkan kita kepada Allah—bukan sekadar konten yang mendekatkan kita pada popularitas.