Umrah bukan hanya ibadah yang dilakukan oleh mereka yang muda dan kuat, tetapi juga anugerah luar biasa bagi siapa saja yang merindukan Baitullah hingga akhir usia. Kisah mengharukan seorang kakek berusia 95 tahun yang akhirnya dapat menunaikan umrah membuktikan bahwa hidayah dan kesempatan beribadah bisa datang kapan saja, selama ada niat dan kesungguhan. Dalam era digital dan kemudahan akses seperti sekarang, cerita seperti ini menjadi pengingat bahwa semangat ibadah tak dibatasi usia. Artikel ini mengangkat kisah nyata penuh inspirasi, memperkuat optimisme, dan menanamkan keyakinan bahwa Allah selalu melihat niat tulus dari setiap hamba-Nya.

1. Keinginan Lama yang Akhirnya Terkabul

Sejak muda, kakek ini sudah menyimpan impian untuk mengunjungi Tanah Suci. Namun hidupnya dihabiskan untuk bekerja keras sebagai buruh tani dan membesarkan anak-anaknya seorang diri setelah sang istri wafat. Tabungan yang sedikit demi sedikit dikumpulkan tak pernah cukup, tetapi harapan di hatinya tak pernah padam.

Akhirnya, melalui bantuan anak-anak dan komunitas sosial keagamaan, impiannya terwujud. Di usia 95 tahun, ia menjadi salah satu jamaah tertua dalam rombongan umrah. Saat menerima paspor dan visa, ia tak kuasa menahan tangis dan berkata, “Akhirnya, saya akan melihat Ka’bah sebelum saya mati.”

2. Fisik Lemah, Hati Kuat: Semangat Luar Biasa Seorang Lansia

Selama perjalanan, tubuh kakek itu gemetar dan lemah. Namun semangatnya tak pernah surut. Ia bahkan beberapa kali menolak kursi roda, memilih berjalan perlahan untuk menunjukkan usahanya kepada Allah. “Biar Allah lihat aku berusaha,” ujarnya sambil tersenyum.

Ia selalu bangun lebih awal untuk salat tahajud, tidak pernah ketinggalan salat berjamaah, dan terus berzikir meskipun dalam kondisi lelah. Jamaah lain yang lebih muda mengaku malu melihat keteguhan dan dedikasi beliau dalam beribadah.

3. Momen Haru Saat Dibopong ke Dekat Ka’bah

Saat tiba waktunya thawaf, tubuh sang kakek sudah tidak mampu berjalan. Beberapa petugas dan jamaah dengan penuh kasih membopongnya hingga dekat Ka’bah. Ia meraba dinding suci itu dengan tangan bergetar dan air mata mengalir deras. Dengan kepala disandarkan di dinding Ka’bah, ia berulang kali berucap, “Terima kasih ya Allah, Engkau masih beri aku waktu.”

Suasana haru menyelimuti sekitar. Seorang petugas haji bahkan menangis sembari menggenggam tangan kakek tersebut. Tangis dan doa bercampur menjadi saksi akan kedekatan antara seorang hamba dan Rabb-nya di tempat paling suci di muka bumi.

4. Doa-doa Terakhir: Mengharap Husnul Khatimah

Selama berada di Masjidil Haram, satu doa yang tak pernah putus dari lisannya adalah agar diberi husnul khatimah—akhir hidup yang baik. Ia tidak meminta kekayaan atau umur panjang, hanya ingin wafat dalam keadaan bersih dari dosa dan diterima sebagai hamba Allah yang kembali.

“Ya Allah, jika ini perjalanan terakhirku, jadikan aku tamu-Mu yang Engkau ampuni,” bisiknya lirih. Di setiap sujud, ia tampak begitu lama dan tenang, seolah sedang berdialog mesra dengan Sang Pencipta.

5. Wafat Sepulang Umrah: Cerita yang Menggetarkan

Beberapa hari setelah kembali ke tanah air, tubuhnya melemah. Ia wafat dalam tidur, dalam keadaan damai, dengan sajadah yang masih terbentang. Anak-anaknya menceritakan bahwa seumur hidup, sang ayah tidak pernah meminta apapun kecuali satu hal: bisa melihat Ka’bah sebelum ajal menjemput.

Kisahnya menjadi buah bibir dan inspirasi. Banyak yang merasa tersentuh, dan sebagian bahkan mengubah prioritas hidup mereka. Umrah sang kakek menjadi simbol cinta sejati kepada Allah, dan bukti bahwa janji-Nya tidak pernah ingkar.

Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa selagi ada niat, Allah akan bukakan jalan. Akhir hidup yang indah bukan hanya untuk yang sempurna, tapi untuk siapa pun yang tulus dan berserah diri sepenuh hati hingga akhir hayat.