Ibadah umrah adalah panggilan suci yang sering kali diimpikan seumur hidup. Namun, bagaimana jika yang dipanggil adalah seorang penyandang disabilitas yang harus hidup dengan keterbatasan gerak? Kisah inspiratif ini datang dari seorang pria yang sejak lama menggunakan kursi roda, namun tak pernah kehilangan tekad dan harapan untuk bisa mencium wangi Ka’bah. Lewat cinta kepada Allah dan keyakinan yang tak tergoyahkan, ia membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk mendekat kepada Sang Pencipta. Kisah ini bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga membangkitkan semangat siapa saja untuk terus berikhtiar menuju kebaikan.
Niat Kuat Seorang Penyandang Disabilitas Menunaikan Umrah
Sudah lama ia menyimpan keinginan untuk menunaikan umrah. Meski hidupnya harus dijalani dengan kursi roda akibat kelumpuhan sejak remaja, semangatnya untuk menjejakkan diri ke Tanah Suci tidak pernah padam. Baginya, kondisi fisik bukan alasan untuk menunda panggilan spiritual.
Dengan sabar, ia menabung dari penghasilan kecil usahanya. Setiap malam, ia berdoa agar diberi kesempatan melihat Ka’bah meski dalam keterbatasan. Ia tak pernah memikirkan kenyamanan perjalanan atau kemewahan fasilitas. Yang ia harapkan hanyalah bisa sujud di hadapan Allah, dalam bentuknya yang paling jujur sebagai seorang hamba.
Sebagian keluarga sempat menyangsikan niatnya. Ada kekhawatiran bahwa ia akan kesulitan menjalani ibadah yang padat dan fisik. Tapi ia hanya menjawab, “Saya ingin datang sebagaimana saya. Allah melihat niat, bukan postur tubuh.”
Akhirnya, berkat dukungan komunitas difabel dan bantuan sponsor, ia terdaftar sebagai jamaah umrah. Perjalanannya bukan sekadar ibadah, tapi bukti nyata bahwa cinta kepada Allah mampu melampaui semua keterbatasan.
Persiapan Fisik dan Mental Menempuh Ibadah Berat
Ibadah umrah membutuhkan stamina dan ketahanan fisik, terlebih bagi penyandang disabilitas. Sejak jauh hari, ia mempersiapkan diri dengan latihan ringan untuk memperkuat tangan dan punggungnya, agar dapat menggerakkan kursi roda lebih lama. Latihan kecil itu ia lakukan dengan semangat besar.
Ia juga belajar tentang rukun-rukun umrah dan menyesuaikannya dengan kondisi dirinya. Ia membaca kisah jamaah difabel lainnya, mencari tahu jalur khusus di Masjidil Haram, dan mencatat rute alternatif agar tak merepotkan orang lain. Ia sadar bahwa ibadah ini akan penuh tantangan, namun ia justru melihatnya sebagai ladang pahala.
Mental pun dipersiapkan. Ia menguatkan hati agar tidak mudah merasa minder, jika tidak bisa mengikuti gerakan sebagaimana jamaah lain. Ia bahkan telah siap jika harus menahan sakit atau menghadapi keterbatasan fasilitas di Tanah Suci.
Semua ini ia hadapi bukan dengan keluhan, tapi dengan rasa syukur. Ia percaya, setiap usaha kecil yang ia lakukan akan diganjar besar oleh Allah, karena ia melakukannya dengan ikhlas dan cinta.
Kesabaran Petugas dan Teman Jamaah yang Menyentuh
Ternyata, sejak tiba di bandara, ia merasakan sambutan hangat yang luar biasa. Petugas umrah memperlakukannya dengan sangat manusiawi dan penuh kesabaran. Di pesawat, ia dibantu duduk nyaman. Di hotel, ia disiapkan kamar dekat lift. Dan di Masjidil Haram, ia dikawal menuju jalur difabel tanpa perlu diminta.
Saat thawaf, seorang jamaah muda tanpa diminta langsung membantu mendorong kursi rodanya. “Pak, izinkan saya yang dorong. Saya ingin belajar dari semangat Bapak,” katanya. Kalimat itu menembus hati sang pria. Ia tak menyangka bahwa di tengah kerumunan ribuan orang, masih ada kepedulian tulus yang begitu hangat.
Tak hanya sekali, di banyak kesempatan ia dibantu oleh orang-orang yang bahkan tak ia kenal. Saat sa’i, saat naik bus antar kota, bahkan saat wudhu. Ia merasa, justru dalam keterbatasannya, Allah mengirimkan begitu banyak pertolongan melalui tangan-tangan ikhlas.
Dari pengalaman itu, ia belajar bahwa ibadah bukan hanya soal hubungan vertikal dengan Allah, tapi juga horizontal—melalui kasih sayang antar manusia. Umrah ini bukan hanya perjalanan spiritual, tapi pelajaran tentang kemanusiaan.
Doa dari Kursi Roda yang Menggetarkan di Multazam
Salah satu momen yang paling membekas adalah ketika ia didorong oleh relawan menuju Multazam—tempat antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah yang dikenal sebagai lokasi mustajab untuk berdoa. Di sana, ia memejamkan mata, menundukkan kepala, dan membiarkan air mata mengalir deras.
“Ya Allah,” bisiknya, “hamba datang dengan segala kekurangan. Tapi hamba percaya Engkau tak pernah menolak hamba yang datang dengan cinta.” Ia menyebut satu per satu nama keluarganya, para sahabat difabel, serta semua orang yang pernah membantunya dalam hidup. Doanya panjang, tulus, dan menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan.
Suasana sekitar ikut hening. Beberapa orang yang lewat terdiam, ada yang ikut menangis. Doa yang dilantunkan dari kursi roda malam itu terasa sangat kuat. Bukan karena lantangnya suara, tapi karena jernihnya niat.
Ia merasa seolah sedang berbicara langsung dengan Allah tanpa perantara. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa utuh—bukan karena mampu berjalan, tapi karena hatinya berjalan sangat dekat dengan Sang Pencipta.
Pulang dengan Penuh Syukur dan Pandangan Positif Hidup
Sekembalinya dari Tanah Suci, ia bukan lagi pribadi yang sama. Wajahnya lebih cerah, sikapnya lebih tenang. Ia pulang membawa bukan hanya oleh-oleh fisik, tapi jiwa yang lebih matang. Ibadah itu telah menata ulang cara pandangnya terhadap hidup, terutama terhadap makna kesyukuran.
Ia kini aktif menjadi pembicara di komunitas difabel. Ia berbagi kisah tentang kemudahan fasilitas umrah bagi difabel, tentang perjuangan spiritual dari kursi roda, dan tentang kekuatan doa. Ia menjadi sumber inspirasi, bukan hanya bagi penyandang disabilitas, tapi bagi siapa pun yang selama ini merasa kecil atau tak mampu.
Ia tak henti menekankan satu hal: “Allah tidak melihat bentuk tubuh kita, tapi ketulusan hati kita. Jangan tunda umrah hanya karena merasa tidak sempurna.” Kalimat ini telah membangkitkan banyak hati yang sebelumnya ragu.
Dengan penuh semangat, ia kini menjalani hari-hari sebagai hamba yang yakin: bahwa jika Allah memanggil, maka Dia pula yang akan membukakan jalan. Umrah baginya bukan lagi impian, tapi titik balik.