Banyak yang mengira umrah hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berkecukupan secara materi. Namun kisah ini membuktikan sebaliknya. Seorang ibu sederhana, penjual sayur di pasar tradisional, dengan penghasilan pas-pasan, mampu mewujudkan impian sucinya untuk menjadi tamu Allah. Kisah ini bukan hanya tentang keberangkatan fisik ke Tanah Suci, tetapi juga perjalanan kesabaran, ketekunan, dan cinta tulus seorang ibu kepada Allah dan keluarganya. Artikel ini menginspirasi bahwa keikhlasan dan tekad yang kuat bisa menembus segala keterbatasan.
1. Kisah Ibu Penjual Sayur yang Menabung Sedikit demi Sedikit
Ibu Siti (nama samaran) setiap hari bangun sebelum subuh. Ia menyiapkan dagangan sayur untuk dibawa ke pasar. Dari keuntungan yang tidak seberapa, ia sisihkan Rp5.000 hingga Rp10.000 setiap harinya untuk tabungan umrah. Ia tak pernah mengeluh, meskipun kebutuhan sehari-hari sering kali membuatnya harus berpikir keras.
“Kalau bukan dari sekarang, kapan lagi saya ke Baitullah?” ujarnya. Baginya, berangkat umrah bukan soal punya uang banyak, tapi soal niat dan istiqamah.
2. Rintangan dan Godaan Menyerah di Tengah Jalan
Perjalanan menabungnya tidak selalu mulus. Sering kali tabungan terpakai untuk biaya pengobatan anak, perbaikan rumah bocor, atau kebutuhan sekolah. Bahkan pernah ada tetangga yang menyarankan agar ia menyerah saja.
Namun, tekadnya tidak goyah. Ia tetap menabung meski perlahan. Dalam doanya, ia selalu memohon, “Ya Allah, cukupkan aku untuk sampai ke rumah-Mu.” Bertahun-tahun ia bertahan dengan mimpi itu dalam diam.
3. Momen Menggetarkan Saat Bisa Menyentuh Ka’bah
Hingga akhirnya, setelah hampir 10 tahun menabung, ia bisa mendaftarkan diri untuk umrah. Saat tiba di Masjidil Haram dan melihat Ka’bah, tubuhnya gemetar. Ia sujud dalam tangis yang dalam.
“Ya Allah, hamba-Mu yang hina ini akhirnya sampai,” bisiknya. Ketika berhasil menyentuh dinding Ka’bah, seluruh kelelahan dan pengorbanan selama ini terasa sirna. Air matanya jatuh tanpa henti, bukan karena lelah, tapi karena syukur.
4. Doa Seorang Ibu untuk Anak-Anaknya
Di setiap thawaf, sa’i, dan sujudnya, ibu ini terus mendoakan anak-anaknya agar menjadi anak saleh, dilapangkan rezeki, dan dijauhkan dari fitnah dunia. Ia tidak meminta harta atau pujian, hanya ingin keluarganya dijaga oleh Allah.
“Biar saya yang lelah, asal anak-anak saya hidup dalam berkah,” katanya. Doanya menjadi senjata paling kuat yang ia bawa dari Tanah Suci.
5. Sepulang dari Tanah Suci: Rumah Kecil Tapi Penuh Berkah
Setelah kembali ke kampung, kehidupannya tidak berubah secara materi. Rumahnya tetap sederhana, dagangannya tetap sayuran, tapi hati dan semangatnya sangat berbeda. Ia menjadi lebih tenang, lebih bersyukur, dan lebih semangat dalam ibadah.
Kini, banyak tetangganya yang datang untuk meminta nasihat atau sekadar mendengar cerita umrah darinya. Rumah kecil itu menjadi tempat berkumpulnya semangat dan inspirasi.
6. Inspirasi bagi Kaum Dhuafa Lainnya untuk Tetap Berjuang
Kisah ibu ini menyadarkan bahwa umrah bukan hanya milik orang kaya. Bahwa Allah membuka jalan bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh dan bersabar. Ia menjadi simbol harapan bagi kaum dhuafa lain: bahwa jalan menuju Baitullah bisa ditempuh oleh siapa saja yang ikhlas dan istiqamah.
Semoga kisah ini menguatkan hati siapa pun yang tengah menabung, berjuang, dan berharap bisa menjadi tamu Allah. Karena jika niat itu tulus, Allah pasti mampukan.