Umrah adalah ibadah yang sangat mulia, bahkan disebut sebagai jihadnya kaum perempuan dan orang lemah. Namun, setan tidak pernah berhenti menggoda manusia—termasuk setelah ibadah selesai. Salah satu jebakan terbesar setelah pulang dari Tanah Suci adalah rasa bangga yang berlebihan (ujub) dan keinginan untuk dipuji (riya). Dua penyakit hati ini dapat menghapus pahala amal, bahkan menjadikan ibadah tak berarti di sisi Allah. Oleh karena itu, penting bagi setiap jamaah untuk menjaga hati dan memperbaiki niat secara terus-menerus.
1. Bahaya Membanggakan Ibadah
Setelah kembali dari umrah, sebagian orang tergoda untuk memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain—entah secara langsung atau tersirat dalam ucapan dan perilaku. Misalnya, sering menyebut-nyebut “waktu di Mekkah”, memperlihatkan foto-foto spiritual secara berlebihan, atau menggunakan gelar “haji/umrah” dengan cara yang menuntut penghormatan sosial. Hal-hal semacam ini bisa jadi awal dari riya dan ujub.
Bahaya dari membanggakan ibadah adalah rusaknya nilai amal di sisi Allah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang melakukan amal untuk dilihat manusia, maka Allah akan memperlihatkannya (aibnya),” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa niat yang salah bisa mengubah amal besar menjadi beban berat di akhirat.
Ibadah seharusnya menjadi rahasia mesra antara hamba dan Tuhannya. Jika setelah pulang dari umrah, seseorang menjadi lebih sombong atau menganggap dirinya lebih suci dari orang lain, itu pertanda ibadahnya belum menyentuh hati.
Sebaliknya, orang yang ikhlas akan menyembunyikan amalnya seperti menyembunyikan aib. Ia tidak haus pengakuan, dan justru merasa belum cukup dalam beribadah. Inilah ciri ibadah yang berkualitas.
2. Tanda-tanda Riya dan Cara Menghindarinya
Riya adalah melakukan ibadah dengan tujuan ingin dilihat atau dipuji orang lain. Tanda-tanda riya bisa terlihat dari kegelisahan ketika tidak ada yang memuji, merasa senang berlebihan ketika dipuji karena ibadah, atau merasa kecewa jika orang lain tidak tahu kita telah beramal.
Salah satu cara menghindari riya adalah dengan memperkuat niat setiap saat. Saat seseorang mengunggah foto umrah, misalnya, tanyakan dalam hati: “Apakah ini benar-benar untuk menginspirasi, atau hanya untuk pamer?” Jika ragu, lebih baik ditahan. Niat yang lurus adalah fondasi amal yang diterima.
Selain itu, berdoalah agar Allah menjaga hati dari keinginan dipuji. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa perlindungan dari syirik kecil (riya):
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun atas apa yang tidak aku ketahui.”
Latihan muhasabah harian (introspeksi diri) juga membantu. Jika merasa puas dan bangga dengan amal, segera lawan dengan istighfar dan sadari bahwa semua keberhasilan adalah karunia Allah semata.
3. Menyembunyikan Amal dari Pujian
Salah satu ciri keikhlasan adalah mampu menyembunyikan amal seperti kita menyembunyikan dosa. Orang-orang yang paling dekat dengan Allah justru merahasiakan ibadahnya. Mereka tidak mengunggah semua momen ibadah, tidak selalu mengenakan atribut “habis umrah”, dan tidak menjadikan ibadah sebagai alat eksistensi sosial.
Menyembunyikan amal tidak berarti kita anti-media sosial. Namun kita harus bijak: apakah konten yang kita unggah membangkitkan semangat orang lain, atau malah menyulut iri dan pujian kosong? Jika tujuan kita untuk syiar, maka pastikan gaya penyampaiannya tetap rendah hati, tidak mengagungkan diri, dan mengajak kepada Allah, bukan kepada diri kita.
Sikap ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang merasa cukup, dan yang menyembunyikan amalnya.” (HR. Muslim)
Kita bisa meniru para ulama dan orang-orang shalih yang bahkan menyembunyikan puasa sunah mereka dari keluarga. Begitu pula sepulang dari umrah, amal terbaik adalah yang hanya diketahui oleh Allah dan menjadi sumber kedekatan ruhani yang terus terjaga.
4. Menumbuhkan Sifat Tawadhu Sepulang Umrah
Tawadhu adalah buah dari ibadah yang benar. Orang yang benar-benar merasakan spiritualitas umrah biasanya tidak menjadi tinggi hati. Ia justru merasa kecil dan banyak kekurangan. Dalam dirinya tumbuh rasa syukur sekaligus rasa malu karena baru sedikit berbuat untuk Allah.
Sepulang dari umrah, seharusnya kita makin santun, tidak mudah menghakimi, dan lebih mudah memaafkan. Sebab, umrah mempertemukan kita dengan ribuan wajah dari berbagai latar, mengajarkan kerendahan hati, dan menegaskan bahwa semua manusia adalah hamba Allah yang sama derajatnya di sisi-Nya, kecuali dalam takwa.
Untuk menumbuhkan tawadhu, biasakan menyapa dan mendoakan orang lain secara diam-diam. Kurangi membicarakan pengalaman pribadi dengan nada mengunggulkan. Banyak yang pergi ke Tanah Suci, tapi hanya sedikit yang pulang membawa perubahan sejati.
Tawadhu juga tercermin dalam cara kita menerima masukan, dalam keteguhan kita menjaga ibadah tanpa dipamerkan, dan dalam konsistensi kita dalam berbuat baik tanpa panggung.
5. Menjaga Hati agar Tetap Lurus
Keikhlasan bukan sesuatu yang didapat sekali lalu selesai. Ia harus dijaga, dilatih, dan diperbarui setiap saat. Sepulang dari umrah, tantangan utama bukan pada ibadahnya, tapi pada hati—apakah tetap terhubung kepada Allah atau mulai mencari pengakuan manusia.
Jagalah hati dengan memperbanyak doa, dzikir, dan menghadiri majelis ilmu. Jangan putuskan hubungan spiritual yang dibangun di Tanah Suci. Teruslah perbaiki diri dan sembunyikan amal dari pujian dunia.
Ingatlah bahwa Allah menilai niat dan ketulusan kita, bukan tampilan atau status sosial. Setiap kali merasa bangga dengan ibadah, segera sadarkan diri bahwa tidak ada satu pun amal yang mampu menebus nikmat yang telah Allah berikan.
Akhirnya, semoga umrah yang kita lakukan benar-benar menjadi amal yang ikhlas, bukan hanya indah di mata manusia, tetapi berat timbangan pahalanya di sisi Allah.
Penutup
Menghindari riya dan ujub setelah umrah adalah bentuk penjagaan terhadap kemurnian ibadah. Ibadah yang ikhlas tidak selalu terlihat, tapi efeknya terasa: hati menjadi lebih tenang, akhlak lebih baik, dan hubungan dengan Allah semakin kuat. Mari jaga hati, sembunyikan amal, dan teruslah berjalan menuju Allah dengan penuh kerendahan hati. Karena bukan seberapa sering kita ke Mekkah, tapi seberapa besar perubahan yang kita bawa pulang.