Ibadah umrah bukan hanya tentang ritual fisik seperti thawaf dan sa’i, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual yang menuntut pengendalian diri, termasuk menjaga lisan dari ghibah (menggunjing) dan fitnah (menyebar berita bohong). Di tengah interaksi sosial yang intens selama perjalanan, potensi tergelincir dalam dosa lisan sangat besar. Padahal, Tanah Suci adalah tempat di mana pahala dilipatgandakan, namun begitu pula dengan dosa. Artikel ini mengajak para jamaah untuk menyadari bahaya ghibah dan fitnah, serta membekali diri dengan strategi agar ibadah umrah tetap bersih dari dosa yang kerap disepelekan ini.

1. Bahaya Lisan yang Tak Dijaga di Tanah Suci

Umrah bukan hanya soal berjalan mengelilingi Ka’bah atau berlari kecil antara Shafa dan Marwah. Ia adalah perjalanan membersihkan hati—dan menjaga lisan adalah bagian terpenting dari itu. Di tengah aktivitas padat dan interaksi antarjamaah, tak jarang muncul obrolan yang mengarah pada ghibah dan fitnah.

Kalimat seperti, “Kenapa dia selalu ingin di depan?” atau “Ibu itu cerewet sekali,” terdengar ringan, tapi dampaknya sangat besar. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ghibah lebih buruk dari zina, karena merusak kehormatan orang lain secara tersembunyi. Jika diucapkan di Tanah Suci, dosanya berlipat dan berpotensi menghapus pahala ibadah.

Tanamkan kesadaran bahwa setiap kata yang keluar direkam oleh malaikat. Jaga lisan seakan Ka’bah ada di hadapan kita sepanjang hari. Jangan nodai tempat mulia dengan ucapan sia-sia, apalagi yang menyakiti sesama hamba Allah.

2. Mengisi Waktu dengan Dzikir dan Doa

Obrolan kosong seringkali lahir dari waktu luang yang tidak dimanfaatkan secara produktif. Maka, cara terbaik menghindari ghibah adalah mengisi waktu dengan dzikir dan doa. Sambil menunggu salat, antre makanan, atau duduk di bus, gerakkan lisan dengan istighfar, tasbih, tahmid, takbir, dan shalawat.

Kalimat-kalimat ringan ini sangat dicintai Allah dan memiliki bobot pahala yang besar. Selain itu, dzikir menenangkan hati dan menguatkan jiwa, menjauhkan kita dari pembicaraan tidak penting. Bahkan saat lelah atau mengantuk, cukup diam dan berzikir dalam hati—itu jauh lebih baik daripada membahas keburukan orang lain.

Dengan membiasakan dzikir, kita membangun benteng diri dari dosa yang sering datang tanpa disadari. Saat lisan terbiasa untuk zikir, maka ia akan enggan untuk berkata buruk.

3. Menjaga Sikap Saat Diskusi dengan Rombongan

Perbedaan pendapat dalam rombongan jamaah adalah hal yang wajar. Tapi cara kita merespons sangat menentukan kualitas ibadah. Diskusi soal jadwal, makanan, kamar, atau rute ziarah bisa memicu ketegangan jika tidak dikelola dengan bijak.

Gunakan kata-kata lembut dan nada yang tidak menghakimi saat menyampaikan pendapat. Jika tidak sepakat, hindari sindiran atau ungkapan negatif. Pilih diam jika emosi mulai naik, dan jangan ikut-ikutan menyudutkan pihak lain. Islam mengajarkan bahwa menjaga kehormatan sesama muslim adalah bagian dari iman.

Jadilah penyejuk dalam diskusi. Peran kita bukan hanya sebagai jamaah, tapi juga penjaga keharmonisan. Jika lisan kita mampu menenangkan suasana, maka kita telah menjaga nilai umrah dari keretakan yang tak terlihat.

4. Mengingat Adab di Tempat Mulia

Tanah Suci adalah tempat Allah memuliakan bumi. Di sana, adab bukan hanya berlaku di masjid, tapi juga di hotel, restoran, bus, bahkan kamar mandi. Menjaga lisan dari ghibah dan ucapan tidak pantas adalah bentuk adab yang hakiki.

Bayangkan jika kita sedang bertamu di rumah seorang raja—tentu kita akan hati-hati dalam bersikap. Maka, lebih dari itu, kita sedang menjadi tamu Allah ﷻ. Jangan kotori kunjungan suci ini dengan canda berlebihan, komentar negatif, atau sindiran halus terhadap sesama jamaah.

Adab dalam berbicara mencerminkan kedalaman iman. Mereka yang menjaga lisan di tempat mulia, akan pulang membawa hati yang mulia pula.

5. Membawa Pulang Kebiasaan Baik

Umrah seharusnya meninggalkan bekas, termasuk dalam kebiasaan menjaga lisan. Jika selama dua minggu di Tanah Suci kita berhasil menghindari ghibah dan fitnah, maka jangan biarkan kebiasaan itu hilang setelah kembali ke rumah.

Tanamkan niat untuk menjadikan lisan sebagai alat kebaikan: memberi nasihat, menyampaikan salam, memotivasi, dan mendoakan orang lain. Hindari gosip, sindiran, dan kabar yang belum jelas kebenarannya. Jadikan umrah sebagai titik balik dalam membangun komunikasi yang penuh adab dan kasih sayang.

Ingat, salah satu tanda umrah diterima adalah perubahan akhlak setelahnya. Jika lisan kita lebih bersih, maka itu adalah salah satu bukti bahwa ibadah telah menyentuh hati.

Penutup

Ghibah dan fitnah adalah dosa yang sering dianggap kecil, padahal dampaknya besar—terlebih jika terjadi di Tanah Suci. Menjaga lisan saat umrah bukan hanya menyempurnakan ibadah, tapi juga melindungi pahala dari kebocoran. Mari manfaatkan setiap momen umrah untuk membangun versi terbaik dari diri kita, dimulai dari apa yang kita ucapkan. Karena sejatinya, lisan adalah cermin hati. Dan hati yang bersih akan membawa pulang umrah yang penuh berkah.