Seiring kemudahan akses dan meningkatnya kemampuan finansial sebagian umat Islam, umrah berulang kali dalam setahun menjadi tren, khususnya di kalangan masyarakat urban. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah ada batasan dalam Islam untuk jumlah umrah per tahun? Adakah anjuran syar’i, atau justru kekhawatiran terhadap riya dan pemborosan? Artikel ini menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pandangan fiqih dan nilai-nilai spiritualitas Islam.

1. Tidak Ada Batasan Mutlak dalam Jumlah Umrah

Secara syariat, tidak ada batasan mutlak mengenai berapa kali seorang Muslim boleh melakukan umrah dalam satu tahun. Umrah dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun, tidak seperti haji yang hanya sah pada bulan-bulan tertentu.

Bahkan, sebagian ulama dari mazhab Hanbali dan Syafi’i menyebutkan bahwa umrah bisa dilakukan berkali-kali, bahkan dalam waktu berdekatan, selama pelaksanaannya memenuhi syarat dan rukun secara sah. Namun demikian, praktik ini tetap harus mempertimbangkan aspek niat, prioritas, dan manfaatnya bagi diri sendiri dan umat.

2. Pendapat Ulama tentang Umrah Berulang dalam Setahun

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi frekuensi umrah yang sering dilakukan, terutama jika dalam satu tahun dilakukan beberapa kali.

  • Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Menganggap boleh dan bahkan dianjurkan melakukan umrah lebih dari sekali, karena setiap umrah adalah ibadah tersendiri.

  • Mazhab Hanafi dan Maliki: Cenderung membatasi frekuensi umrah dengan alasan agar tidak berlebihan dan tetap menjaga kekhusyukan.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi ﷺ sendiri melaksanakan umrah sebanyak empat kali sepanjang hidupnya, namun dengan interval waktu dan konteks yang berbeda, bukan dalam satu tahun.

Kesimpulannya, boleh melakukan umrah berkali-kali, tapi harus mempertimbangkan maslahat, keikhlasan, dan tujuan ibadah.

3. Dampak Spiritual dari Seringnya Melaksanakan Umrah

Bagi sebagian orang, seringnya berumrah memberi dampak spiritual yang kuat:

  • Rasa rindu pada Baitullah terus terjaga

  • Hati lebih tenang dan fokus pada akhirat

  • Umrah menjadi sarana istighfar dan memperbarui keimanan

Namun, jika dilakukan tanpa pendalaman ruhani, ibadah ini bisa menjadi rutinitas yang hambar. Bahkan, umrah yang terlalu sering dan hanya dilihat sebagai prestise spiritual bisa menimbulkan rasa jenuh, kehilangan kekhusyukan, atau terjebak dalam formalitas ibadah.

Maka, penting untuk menyertai umrah berulang dengan muhasabah diri: Apakah saya semakin dekat kepada Allah? Ataukah hanya berputar-putar secara fisik tanpa gerak batin yang berarti?

4. Risiko Riya dan Keutamaan Niat yang Lurus

Melaksanakan umrah secara rutin sangat dianjurkan selama niatnya benar dan tidak tergelincir pada riya (pamer ibadah). Di era media sosial, godaan untuk menampilkan ibadah — termasuk umrah — sebagai bagian dari citra diri sangat besar.

Nabi ﷺ mengingatkan:

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi, sebelum berangkat umrah, tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah saya mencari ridha Allah atau pengakuan manusia?

  • Apakah saya memperbanyak umrah, tetapi menunda zakat atau membantu sesama?

  • Apakah saya bisa mengubah kelebihan biaya untuk umrah kelima menjadi bantuan bagi orang yang belum pernah berangkat sama sekali?

Umrah berkali-kali boleh saja, tapi niat, keikhlasan, dan prioritas sosial tetap menjadi penentu utama keberkahan ibadah.

5. Kapan Waktu Terbaik dalam Setahun untuk Umrah?

Secara teknis, umrah bisa dilakukan kapan saja kecuali pada hari-hari tertentu yang dimakruhkan menurut sebagian pendapat (misalnya hari Tasyrik). Namun, ada waktu-waktu yang secara umum dianggap lebih utama:

  • Bulan Ramadhan: Rasulullah ﷺ bersabda, “Umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan haji.” (HR. Bukhari & Muslim)

  • Awal tahun Hijriyah dan Rajab: Momentum spiritual dan sejarah keislaman.

  • Bulan-bulan sebelum musim haji (Syawal dan Dzulqa’dah) untuk menghindari kepadatan.

  • Saat sepi jamaah, agar ibadah lebih tenang dan khusyuk (biasanya di luar musim liburan dan Ramadhan).

Pemilihan waktu juga sebaiknya mempertimbangkan kesehatan fisik, kesiapan mental, dan kondisi keuangan pribadi, agar ibadah dijalani dengan tenang, bukan memaksakan diri.