Perjalanan umrah bukan hanya tentang memenuhi syarat dan rukun ibadah, tetapi juga bagaimana menjaga adab dan akhlak mulia sepanjang perjalanan, termasuk dalam berbicara. Di Tanah Suci, jamaah datang dari berbagai negara dan latar belakang. Komunikasi yang baik, sopan, dan penuh kelembutan menjadi wujud penghormatan terhadap sesama tamu Allah. Artikel ini membahas pentingnya menjaga etika berbicara selama umrah agar ibadah semakin bernilai dan membawa keberkahan, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga bagi orang lain di sekitarnya.

1. Menghindari Suara Keras yang Mengganggu

Berbicara dengan suara keras di area Masjidil Haram atau Masjid Nabawi bisa sangat mengganggu kekhusyukan ibadah orang lain. Tempat suci bukan tempat untuk berteriak atau bercanda berlebihan. Rasulullah ﷺ dikenal sebagai pribadi yang berbicara dengan suara lembut dan penuh adab, apalagi di tempat ibadah.

Menjaga volume suara saat berbicara, baik dengan sesama jamaah maupun lewat telepon, adalah bentuk penghormatan terhadap suasana sakral. Suara yang terlalu keras tidak hanya mengganggu orang yang sedang shalat atau berzikir, tapi juga menciptakan kesan tidak sopan.

Jika memang harus berdiskusi atau memberi arahan kepada rombongan, carilah tempat yang agak sepi atau berbicara dengan nada rendah. Di Tanah Suci, diam dan mendengarkan pun bisa menjadi bentuk ibadah jika diniatkan dengan benar.

2. Tidak Membicarakan Aib Orang Lain

Salah satu dosa lisan yang sering diremehkan adalah ghibah, atau membicarakan keburukan orang lain di belakangnya. Sayangnya, meski sedang melaksanakan ibadah, kebiasaan ini kadang tetap terjadi dalam obrolan jamaah. Padahal, membicarakan aib bisa merusak pahala dan keberkahan umrah.

Umrah adalah momen untuk introspeksi, bukan mengamati dan mengomentari kekurangan orang lain. Jika melihat kekeliruan jamaah lain, lebih baik mendoakan agar Allah memperbaiki mereka—sebagaimana kita juga berharap dimaafkan atas kesalahan kita sendiri.

Menahan diri dari membicarakan aib adalah bukti kedewasaan spiritual. Gunakan waktu di Tanah Suci untuk memperbaiki diri, bukan menilai orang lain. Karena bisa jadi, orang yang kita bicarakan justru lebih mulia di sisi Allah.

3. Mengucapkan Salam dengan Tulus

Salah satu bentuk komunikasi terbaik dalam Islam adalah mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum” bukan hanya sapaan biasa, melainkan doa keselamatan dan rahmat bagi sesama. Ketika bertemu jamaah dari berbagai daerah, mengucapkan salam bisa membuka pintu ukhuwah dan keakraban.

Ucapan salam sebaiknya dilakukan dengan wajah ceria dan hati tulus. Jangan ragu menyapa jamaah lain dengan senyum dan salam, meskipun tidak saling mengenal. Ini akan menumbuhkan rasa kebersamaan dan persaudaraan antarumat Muslim.

Bersalaman dengan penuh kehangatan juga bisa menyebarkan semangat damai dan ketenangan di antara keramaian ibadah. Namun, tetap perhatikan situasi—jangan sampai mengganggu aktivitas ibadah mereka.

4. Menghindari Perdebatan tentang Fiqih

Perbedaan madzhab atau praktik fiqih di antara jamaah adalah hal yang lumrah, mengingat asal-usul mereka yang beragam. Sebagai sesama Muslim, kita harus menghormati perbedaan tersebut dan tidak terjebak dalam perdebatan yang memancing emosi.

Misalnya, perbedaan dalam bacaan doa, posisi tangan saat shalat, atau jumlah putaran tawaf bisa jadi berbeda antara satu jamaah dengan lainnya. Jangan menjadikannya bahan perdebatan, karena masing-masing memiliki landasan ilmiah dari ulama yang mereka ikuti.

Perdebatan yang tidak perlu hanya akan membuang energi spiritual dan bisa mengganggu kenyamanan ibadah. Jika ada pertanyaan atau kebingungan, lebih baik bertanya dengan rendah hati kepada muthawwif atau pembimbing, bukan berdebat.

5. Mengutamakan Bahasa yang Santun dan Lembut

Bahasa mencerminkan isi hati. Saat berada di Tanah Suci, usahakan untuk selalu berbicara dengan bahasa yang santun, penuh adab, dan lembut kepada siapa pun. Baik kepada sesama jamaah, petugas, penjual, hingga petugas hotel atau kebersihan.

Gunakan kata-kata yang sopan, hindari nada tinggi atau kasar, apalagi saat sedang lelah atau menghadapi kendala. Justru di saat-saat seperti itulah kualitas adab kita diuji. Kata-kata yang baik akan menjadi amal kebaikan, sementara ucapan buruk bisa mencederai nilai ibadah.

Dengan membiasakan tutur kata yang baik selama umrah, insya Allah kita akan membawa kebiasaan tersebut pulang ke tanah air dan menjadi pribadi yang lebih lembut dan disukai orang lain.