Ibadah haji bukan hanya sekadar rangkaian ritual fisik, melainkan juga simbol perjalanan spiritual yang sarat makna. Salah satu amalan yang penuh nilai simbolik adalah melontar jumrah, yang dilakukan di Mina selama hari-hari tasyriq. Tindakan ini bukan sekadar melempar batu, tetapi merupakan bentuk perlawanan terhadap godaan syaitan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Artikel ini akan membahas secara mendalam sejarah, tata cara, serta hikmah di balik ritual melontar jumrah agar para jamaah haji bisa memahami dan menghayatinya dengan lebih baik.
Sejarah dan Makna Melontar Jumrah
Melontar jumrah memiliki akar sejarah yang kuat dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ketika beliau diperintah oleh Allah untuk menyembelih putranya, Ismail, syaitan berusaha menggoda dan menghalangi ketaatan tersebut. Setiap kali syaitan muncul, Nabi Ibrahim melemparinya dengan batu kecil sebagai bentuk penolakan dan pengusiran.
Inilah yang kemudian menjadi dasar pelaksanaan melontar jumrah dalam ibadah haji. Rasulullah ﷺ menghidupkan kembali sunnah ini sebagai bagian dari manasik haji, dan hingga kini dilestarikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Melontar jumrah bukan hanya kegiatan fisik, tetapi juga simbol pengusiran syaitan dari diri dan kehidupan seorang Muslim.
Setiap lontaran adalah representasi dari tekad dan keteguhan hati seorang hamba untuk menolak bisikan jahat, menjauh dari maksiat, dan memperkuat komitmen dalam ketaatan kepada Allah. Maka, niat dan pemahaman spiritual sangat penting agar ritual ini tidak menjadi aktivitas kosong.
Dengan memahami maknanya, jamaah tidak hanya akan menjalankan sunnah Nabi Ibrahim secara lahiriah, tetapi juga menghidupkan semangat jihad melawan hawa nafsu, godaan dunia, dan bisikan syaitan yang terus menerus mengintai.
Lokasi dan Jenis Jumrah yang Dilontar
Melontar jumrah dilakukan di Mina, di tiga lokasi yang telah ditetapkan, yakni, Jumrah Ula (kecil), Jumrah Wustha (tengah), dan Jumrah Aqabah (besar). Ketiganya merupakan tempat yang diyakini sebagai lokasi kemunculan syaitan dalam kisah Nabi Ibrahim.
Pada tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Nahr), jamaah hanya melempar Jumrah Aqabah sebanyak 7 kali. Sedangkan pada hari-hari tasyriq (11–13 Dzulhijjah), jamaah melontar ketiga jumrah (Ula, Wustha, dan Aqabah), masing-masing sebanyak 7 lemparan, dimulai dari Jumrah Ula hingga Jumrah Aqabah secara berurutan.
Setiap lokasi telah dilengkapi dengan jembatan bertingkat dan sistem keamanan modern oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengatur aliran jamaah dan mencegah penumpukan massa. Namun, tetap penting bagi jamaah untuk memahami rute dan urutan lontaran agar tidak keliru.
Peta dan petunjuk arah biasanya tersedia di lokasi, serta pendamping haji dari setiap negara siap memandu para jamaah. Disiplin dan kebersamaan rombongan sangat penting untuk menghindari tersesat atau melontar di tempat yang salah.
Tata Cara dan Waktu Pelaksanaan Melontar
Tata cara melontar jumrah dimulai dengan mengambil 49 atau 70 batu kecil dari Muzdalifah sebelum tiba di Mina, tergantung berapa hari jamaah melontar. Ukuran batu sekitar biji kacang, tidak tajam dan tidak terlalu besar.
Setiap kali melempar satu batu ke jumrah, jamaah dianjurkan mengucapkan “Allahu Akbar” — sebagai bentuk takbir atas ketaatan dan pembangkangan terhadap syaitan.
Lontaran harus benar-benar masuk ke kolam jumrah atau mengenai tiang jumrah. Jika meleset, tidak dihitung dan harus diulang. Jumlah lontaran tidak boleh kurang dari 7 untuk setiap jumrah, dan harus dilakukan secara berurutan, tidak boleh sekaligus dilemparkan beberapa batu sekaligus.
Waktu pelaksanaan untuk lontar Jumrah Aqabah dimulai sejak matahari terbit pada 10 Dzulhijjah hingga terbenam, dan untuk hari-hari tasyriq, lontar dilakukan setelah zawal (tergelincir matahari) hingga terbenam. Namun, terdapat keringanan bagi jamaah yang uzur untuk melontar pada malam hari.
Hendaknya jamaah menahan diri dari kekerasan atau saling dorong saat melontar. Kesabaran, kedisiplinan, dan pengendalian diri harus dijaga karena ini bagian dari adab ibadah yang mulia.
Kesalahan yang Perlu Dihindari Jamaah
Banyak jamaah yang melakukan kesalahan saat melontar karena kurangnya pemahaman atau tergesa-gesa. Kesalahan umum pertama adalah melontar di tempat yang salah, misalnya tertukar antara Jumrah Ula dan Jumrah Aqabah, atau bahkan melempar ke arah yang tidak sesuai.
Kesalahan kedua adalah tidak memperhatikan jumlah batu yang dilempar. Jamaah sering melemparkan secara asal atau tidak menghitung jumlahnya, padahal setiap jumrah harus dilempar sebanyak 7 kali secara terpisah.
Kesalahan lain adalah tidak membaca takbir saat melempar, atau bahkan melakukan lontaran sambil marah-marah atau berteriak, yang malah menghilangkan nilai spiritual dari ibadah tersebut. Melontar bukan ajang melampiaskan emosi, tetapi momen meneguhkan diri di jalan Allah.
Ada pula yang menganggap pengambilan kerikil harus dari tempat tertentu, padahal menurut sebagian ulama, kerikil boleh diambil dari mana saja selama masih berada di kawasan Muzdalifah dan bersih.
Agar terhindar dari kesalahan, jamaah sebaiknya mengikuti arahan pembimbing ibadah, memperhatikan petunjuk di lokasi, dan melakukan lontar dalam keadaan tenang serta khusyuk.
Doa dan Dzikir Saat Melontar Jumrah
Selain takbir, jamaah disunnahkan memperbanyak doa dan dzikir di antara lontaran atau setelah selesai melontar. Di antara jumrah pertama dan kedua (Ula dan Wustha), Rasulullah ﷺ berdiri lama untuk berdoa. Ini menunjukkan adanya waktu mustajab untuk bermunajat. Beberapa doa yang bisa dibaca antara lain, “Rabbana atina fid-dunya hasanah, wa fil-akhirati hasanah, wa qina ‘adzabannar.” dan “Ya Allah, jauhkan aku dari tipu daya syaitan dan tetapkan aku dalam ketaatan kepada-Mu.”
Meskipun tidak ada doa khusus saat lontaran, jamaah bebas memohon apa saja kepada Allah, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun umat Islam secara umum. Doa dapat dibaca dalam bahasa Arab atau bahasa yang dipahami.
Lontaran ini menjadi momen spiritual yang sangat kuat. Maka, isi waktu dengan memperbanyak istighfar, takbir, dan doa yang penuh harap. Hindari bercanda atau bermain-main karena suasana ini adalah ibadah, bukan sekadar kegiatan simbolik.
Simbol Perlawanan terhadap Godaan Syaitan
Melontar jumrah secara spiritual merepresentasikan perlawanan terhadap godaan syaitan dan hawa nafsu. Setiap lontaran adalah manifestasi nyata dari keputusan seorang Muslim untuk mengusir bisikan buruk dan meneguhkan dirinya di jalan kebenaran.
Syaitan senantiasa hadir dalam kehidupan manusia, bukan hanya di Mina, tetapi dalam berbagai aspek: keluarga, harta, waktu, bahkan ibadah. Melontar jumrah menjadi simbol bahwa seorang hamba siap melawan itu semua dengan iman dan takwa.
Secara historis, Nabi Ibrahim menolak rayuan syaitan yang datang dalam wujud manusia dan melemparnya di tiga tempat berbeda. Inilah yang kita tiru dalam haji, menunjukkan bahwa setiap umat Nabi Muhammad ﷺ pun harus mewarisi semangat penolakan terhadap keburukan.
Maka, pelaksanaan melontar jumrah hendaknya bukan sekadar rutinitas, tetapi refleksi tekad untuk meninggalkan kebiasaan buruk, dosa-dosa, serta membuka lembaran baru dalam hidup yang lebih taat dan bermakna.
Penutup: Menjadikan Lontaran sebagai Ikhtiar Taat
Melontar jumrah adalah rangkaian haji yang sarat simbol dan makna. Ia bukan sekadar batu yang dilempar, tetapi ketegasan iman dalam menolak syaitan dan maksiat. Dengan menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim, umat Islam belajar untuk berani mengambil sikap dalam mempertahankan nilai-nilai ketaatan. Maka, jadikanlah lontaran itu sebagai ikhtiar spiritual, bukan hanya ritual fisik.