Setelah seluruh rangkaian ibadah haji selesai dilaksanakan, ada satu amalan terakhir yang menjadi penutup ziarah suci ke Tanah Haram, yaitu Tawaf Wada. Tawaf ini bukan hanya ritual fisik mengelilingi Ka’bah, tetapi menjadi momentum penuh haru: perpisahan dengan Baitullah. Ia merepresentasikan rasa cinta, kerinduan, sekaligus janji dalam hati untuk menjaga keimanan pasca-haji. Artikel ini akan membahas secara lengkap mulai dari hukum, tata cara, hingga hikmah spiritual Tawaf Wada agar jamaah tidak sekadar menjalankannya, tetapi juga menghayatinya dengan penuh makna.

Pengertian dan Hukum Tawaf Wada
Secara bahasa, Wada berarti perpisahan. Maka, Tawaf Wada adalah tawaf yang dilakukan oleh jamaah haji sebagai bentuk salam perpisahan dengan Ka’bah sebelum meninggalkan Mekkah. Ia menjadi penanda berakhirnya seluruh rangkaian ibadah haji.
Menurut jumhur ulama dari mazhab Syafi’i, Hanbali, dan sebagian Maliki, hukum Tawaf Wada adalah wajib bagi setiap jamaah haji yang akan meninggalkan Mekkah. Bila tidak dilaksanakan tanpa uzur syar’i, maka wajib menggantinya dengan dam (penyembelihan kambing).
Namun, mazhab Hanafi berpendapat bahwa Tawaf Wada hukumnya sunnah muakkadah. Meski demikian, karena ini termasuk sunnah Nabi ﷺ yang sangat ditekankan, maka para jamaah dianjurkan tetap menunaikannya dengan niat ikhlas dan penuh kecintaan kepada Baitullah.
Tawaf ini hanya dilakukan dalam haji, bukan umrah. Dalam umrah, penutupnya adalah tahallul. Oleh sebab itu, penting bagi jamaah untuk tidak salah niat dan waktu dalam pelaksanaannya, serta menghindari langsung pergi meninggalkan Mekkah tanpa tawaf ini.

Tata Cara Melaksanakan Tawaf Perpisahan
Tawaf Wada dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran, sebagaimana tawaf-tawaf lainnya. Dimulai dari garis sejajar Hajar Aswad dan dilakukan searah jarum jam (ke kiri Ka’bah). Setiap putaran disertai doa, dzikir, dan ketenangan hati.
Tidak ada rukun atau niat khusus yang membedakan tawaf ini dengan tawaf sunnah biasa. Namun, yang membedakannya adalah niat dalam hati bahwa ini adalah tawaf perpisahan (tawaf al-wada’). Tidak dianjurkan untuk melakukan sa’i setelah tawaf ini.
Jamaah dianjurkan untuk berwudhu sebelum memulai tawaf, memakai pakaian yang bersih dan sopan, serta menjaga adab di area Masjidil Haram. Jika memungkinkan, pria boleh melakukan raml (berjalan cepat) pada tiga putaran pertama.
Setelah selesai tujuh putaran, jamaah shalat sunnah dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim (jika memungkinkan), lalu meminum air zamzam dan berdoa. Setelah itu, jamaah diperbolehkan keluar dari Masjidil Haram dan meninggalkan Mekkah.
Perlu dicatat, Tawaf Wada harus menjadi ibadah terakhir. Jika setelahnya jamaah berbelanja atau melakukan aktivitas duniawi lain yang tidak penting, maka sebaiknya tawaf tersebut diulang kembali agar tidak kehilangan nilai spiritualnya.

Dalil-dalil Tentang Kewajiban Tawaf Wada
Kewajiban Tawaf Wada memiliki landasan dari hadits-hadits shahih. Salah satunya dari riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu:
“Manusia diperintahkan agar menjadikan akhir urusannya (di Mekkah) dengan tawaf di Ka’bah, kecuali wanita haid.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mewajibkan para jamaah untuk melaksanakan tawaf sebelum meninggalkan Mekkah, sebagai penutup ibadah haji. Larangan hanya diberikan kepada wanita haid, sebagai bentuk rahmat dan kemudahan dalam syariat.
Selain itu, Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa siapa yang meninggalkan Tawaf Wada tanpa uzur, maka ia berdosa dan wajib membayar dam, meski hajinya tetap sah. Ini menjadi peringatan penting bagi jamaah agar tidak meremehkannya.
Kesepakatan ulama fikih juga menyatakan bahwa Tawaf Wada berbeda dari tawaf sunnah atau tawaf umrah. Ia memiliki waktu dan fungsi khusus sebagai penghormatan terakhir kepada Baitullah, yang menjadikan pelaksanaannya penuh kesan spiritual mendalam.

Kondisi Jamaah yang Mendapat Keringanan
Islam adalah agama yang penuh rahmat dan tidak membebani umatnya melebihi kemampuannya. Maka, dalam praktiknya, ada beberapa kondisi yang mendapatkan keringanan (rukhshah) dalam pelaksanaan Tawaf Wada.
Pertama, wanita yang sedang haid atau nifas tidak wajib melaksanakan Tawaf Wada. Rasulullah ﷺ tidak memaksakan mereka melakukannya dan membolehkan mereka langsung pulang. Bahkan, jika wanita tersebut memaksa tawaf dalam keadaan haid, maka hukumnya tidak sah dan dilarang.
Kedua, jamaah yang mengalami sakit berat, lemah, atau tidak memungkinkan secara medis untuk melakukan tawaf juga diberikan keringanan. Dalam kondisi darurat, jika tidak memungkinkan diwakilkan dan tetap ingin meninggalkan Mekkah, maka cukup dengan membayar dam.
Ketiga, anak kecil atau orang yang belum baligh, meskipun ikut dalam rombongan haji, tidak diwajibkan melakukan Tawaf Wada. Namun, jika dilakukan, tetap mendapat pahala dan keutamaan.
Keringanan ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menekankan formalitas ibadah, tetapi juga memperhatikan kondisi fisik dan psikologis umatnya. Namun demikian, bagi yang mampu, tetap diutamakan untuk menunaikan Tawaf Wada dengan sempurna.

Hikmah di Balik Tawaf Wada sebagai Penutup
Tawaf Wada mengandung pesan yang mendalam bagi jiwa seorang hamba. Ia menjadi simbol perpisahan fisik dari Baitullah, tetapi sekaligus perpanjangan ikatan batin yang tak pernah putus. Setiap langkah dalam tawaf ini seolah berkata: “Ya Allah, Engkau tetap di hatiku meski aku jauh dari rumah-Mu.”
Rasa haru dan sedih sering menyelimuti jamaah saat melaksanakan tawaf ini. Banyak yang menangis, berdoa dengan penuh harap, dan memohon agar bisa kembali lagi suatu saat. Inilah bukti bahwa Tawaf Wada bukan sekadar kewajiban, tetapi ekspresi cinta.
Secara spiritual, tawaf ini juga melatih kita untuk membawa semangat ibadah haji ke dalam kehidupan nyata setelah kembali ke tanah air. Ia menjadi titik awal untuk memulai hidup baru yang lebih taat, sabar, dan istiqamah dalam kebaikan.
Tawaf Wada adalah pengingat bahwa setiap pertemuan pasti berakhir, dan setiap ibadah memiliki batas waktu. Tapi ikatan dengan Allah tak pernah selesai. Maka, tinggalkan Baitullah dengan hati yang ringan, tapi jiwa yang penuh syukur dan tekad untuk menjaga kemabruran.

Tips Menjaga Khusyuk dalam Tawaf Terakhir
Menjaga kekhusyukan dalam Tawaf Wada sangat penting agar maknanya tidak sekadar ritual perpisahan. Beberapa tips berikut dapat membantu jamaah lebih fokus dan hadir secara batiniah dalam tawaf terakhir ini:
Persiapkan mental dan hati sebelum tawaf. Ingatlah bahwa ini adalah tawaf terakhir selama perjalanan haji. Bayangkan bahwa Anda sedang berpamitan langsung kepada Allah.

Hindari terlalu sibuk mengambil foto atau video. Fokuslah pada dzikir, doa, dan momen spiritual. Kamera hati lebih penting dari kamera digital.

Gunakan doa-doa pilihan yang menyentuh hati, baik dari sunnah maupun personal. Doakan keluarga, negeri, dan umat Islam secara umum. Jangan sia-siakan waktu mustajab.

Datanglah ke Masjidil Haram dalam keadaan tenang dan tidak terburu-buru. Pilih waktu yang tidak terlalu padat jika memungkinkan, agar bisa berjalan lebih khusyuk.

Jangan tergesa-gesa meninggalkan Ka’bah setelah tawaf. Ambil beberapa detik terakhir untuk menatapnya, ucapkan salam, dan mohon izin pulang dengan hati yang ikhlas.

Kekhusyukan akan mengubah tawaf perpisahan ini menjadi momen yang akan terus hidup dalam ingatan dan hati hingga akhir hayat. Bagi banyak jamaah, inilah momen paling emosional sepanjang haji.

Penutup: Tawaf Wada, Doa untuk Kembali Lagi
Tawaf Wada bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari komitmen baru untuk menjalani hidup yang lebih baik pasca-haji. Ia adalah perpisahan yang sarat cinta, harapan, dan janji tak terucap. Maka, tunaikanlah dengan sepenuh hati dan khusyuk, jadikan ia momentum untuk mengikat kembali tali ruhani dengan Allah, dan mintalah kepada-Nya: “Ya Allah, izinkan aku kembali ke rumah-Mu ini, lagi dan lagi.”