Selama perjalanan haji dan umrah, pembimbing atau ustadz memiliki peran sangat vital dalam membimbing jamaah memahami dan melaksanakan manasik dengan benar. Bagi sebagian jamaah, ini mungkin menjadi satu-satunya kesempatan belajar langsung dari ulama atau ustadz yang paham fikih haji. Maka, penting bagi setiap jamaah untuk menjaga adab ketika bertanya dan belajar. Etika dalam menuntut ilmu bukan hanya menunjukkan kerendahan hati, tetapi juga menjadi bagian dari keberkahan ilmu itu sendiri. Artikel ini akan membahas secara praktis dan mendalam bagaimana seharusnya jamaah berinteraksi secara santun dengan pembimbing selama proses ibadah.
1. Memilih Waktu yang Tepat untuk Bertanya
Bertanya kepada ustadz pembimbing adalah langkah yang baik dalam menuntut ilmu. Namun, penting untuk memperhatikan waktu dan kondisi saat ingin bertanya. Jangan mengajukan pertanyaan di tengah ustadz sedang makan, beristirahat, atau sedang mendampingi jamaah lain dalam kondisi mendesak.
Waktu ideal untuk bertanya biasanya adalah setelah sesi manasik, selesai shalat berjamaah, atau saat sesi tanya-jawab resmi yang biasanya difasilitasi oleh panitia. Bertanya saat ustadz dalam kondisi santai dan siap berdiskusi akan membuat jawaban yang disampaikan lebih tenang, jelas, dan menyeluruh. Jika pertanyaan bersifat mendesak (seperti masalah ihram, niat thawaf, atau syarat sah ibadah yang sedang dijalankan), sampaikan dengan sopan dan singkat. Jangan memaksakan diskusi panjang yang bisa mengganggu alur kegiatan atau kenyamanan ustadz. Menghargai waktu orang lain, terutama guru agama, adalah bentuk adab dan kecerdasan sosial yang harus dijaga oleh setiap jamaah.
2. Menghormati Ustadz dengan Bahasa Sopan
Adab dalam berbicara adalah cerminan akhlak. Saat bertanya kepada ustadz, gunakan bahasa yang sopan, tenang, dan tidak menyudutkan. Jangan menginterupsi penjelasan ustadz dengan kalimat-kalimat menyela seperti, “Tapi saya pernah dengar yang berbeda,” kecuali jika memang dimaksudkan untuk klarifikasi secara ilmiah.
Panggillah ustadz dengan sebutan yang mulia, seperti “ustadz”, “kyai”, atau sesuai panggilan kehormatan yang berlaku. Hindari memanggil dengan nada tinggi atau bahasa yang terlalu santai seperti berbicara kepada teman sebaya. Islam sangat menekankan penghormatan kepada guru. Imam Malik bahkan tidak berani duduk di depan gurunya kecuali dengan adab yang penuh wibawa. Dalam konteks perjalanan haji, ustadz bukan hanya guru, tapi juga pembimbing spiritual.
Menghormati ustadz tidak hanya menunjukkan kebaikan akhlak kita, tetapi juga membuka pintu keberkahan ilmu yang diajarkan.
3. Mencatat Penjelasan agar Tidak Lupa
Banyak dari penjelasan ustadz selama manasik atau di Tanah Suci sangat penting namun bisa terlupakan jika tidak segera dicatat. Maka, selalu siapkan buku catatan kecil atau gunakan ponsel untuk mencatat poin-poin penting. Dengan mencatat, jamaah akan lebih fokus dan tidak perlu mengulangi pertanyaan yang sama. Ini juga membantu jamaah dalam mengingat panduan ibadah saat berada di lokasi yang berbeda dan tidak bisa langsung bertanya.
Selain itu, mencatat juga menunjukkan sikap serius dalam menuntut ilmu. Ustadz pun akan merasa dihargai saat melihat jamaah benar-benar memperhatikan dan menyimpan apa yang ia sampaikan. Ilmu yang dicatat cenderung lebih melekat dan bisa dibagikan kepada keluarga atau rekan setelah kembali ke tanah air. Dengan begitu, ilmu tersebut tidak hanya berhenti pada diri sendiri.
4. Menghindari Debat Kusir yang Tidak Perlu
Perbedaan pendapat dalam masalah fikih sering kali terjadi dalam perjalanan haji, terutama karena jamaah berasal dari latar belakang organisasi atau mazhab yang berbeda. Namun, bukan berarti jamaah boleh mengangkat suara atau mempersoalkan perbedaan itu secara emosional.
Jangan memperpanjang diskusi jika ustadz sudah memberikan penjelasan berdasarkan dalil atau referensi yang sahih. Jika ada keraguan, simpan untuk ditanyakan dalam suasana ilmiah yang tenang, bukan dalam debat panas yang bisa memicu ketegangan rombongan.
Menghindari debat yang tidak membuahkan manfaat adalah bagian dari adab menuntut ilmu. Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku menjamin sebuah rumah di surga bagi orang yang meninggalkan debat, meskipun ia benar.” (HR. Abu Dawud). Dengan sikap lapang dada dan toleran terhadap perbedaan pandangan, kita menciptakan suasana ibadah yang damai dan penuh ukhuwah.
5. Mengaplikasikan Ilmu yang Sudah Didapat
Ilmu yang dipelajari dari ustadz harus segera diamalkan. Jangan hanya berhenti pada pencatatan atau pemahaman teori, tetapi tunjukkan dalam praktik ibadah. Misalnya, jika ustadz menjelaskan niat sa’i, maka praktekkan sesuai penjelasan tersebut saat tiba waktunya. Ilmu tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah. Menjalankan apa yang telah dipelajari juga membantu kita untuk lebih mengingat dan menguatkan pemahaman.
Jika ada bagian yang masih diragukan atau membingungkan dalam pelaksanaan, baru kemudian ajukan pertanyaan lanjutan, bukan langsung menyalahkan metode ustadz atau memilih versi sendiri. Menghargai ilmu artinya juga menghargai proses belajar dan menghindari sikap merasa sudah paling tahu. Kesungguhan dalam mengamalkan ilmu akan membawa keberkahan dalam ibadah haji atau umrah.
6. Bersyukur atas Kesempatan Belajar Langsung
Tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk belajar langsung kepada ustadz atau pembimbing yang mumpuni dalam fikih haji. Banyak jamaah yang harus mengandalkan buku panduan atau video online. Maka, kesempatan ini harus dimanfaatkan dengan penuh rasa syukur.
Rasa syukur bisa ditunjukkan dengan semangat belajar, menjaga sikap selama sesi bimbingan, serta mendoakan kebaikan untuk ustadz yang telah membimbing dengan sabar.
Mengucapkan terima kasih secara langsung atau dalam bentuk hadiah kecil sebagai bentuk penghargaan juga termasuk sunnah yang dianjurkan. Syukur bukan hanya diucapkan, tapi juga dibuktikan dengan menghormati ilmu dan menjadikannya petunjuk dalam ibadah.
Penutup: Menuntut Ilmu di Tanah Suci adalah Karunia
Menimba ilmu langsung dari ustadz pembimbing saat haji atau umrah adalah anugerah besar yang tidak semua orang bisa alami. Maka, penting bagi jamaah untuk menjaga adab ketika bertanya dan belajar. Dari memilih waktu yang tepat, menjaga tutur kata, hingga menghindari debat yang tidak bermanfaat—semua adalah bentuk penghormatan kepada ilmu dan pembimbingnya. Dengan adab yang baik, ilmu yang diterima pun lebih mudah masuk ke hati dan membentuk ibadah yang lebih khusyuk dan bermakna.