Masjidil Haram bukan sekadar bangunan suci, melainkan pusat ibadah umat Islam sedunia yang menyatukan jutaan hati dalam sujud dan thawaf. Namun, di balik semangat ibadah yang membara, tak jarang adab dan ketenangan hati terlupakan. Keramaian dan semangat beribadah kadang membuat sebagian jamaah mengabaikan etika yang sangat dijaga oleh para ulama dan dicontohkan oleh Nabi ﷺ.
Artikel ini mengajak kita meninjau kembali adab-adab penting saat shalat dan thawaf di sekitar Ka’bah, agar ibadah kita tak sekadar sah secara fiqih, tapi juga mulia secara ruhani.
Niat dan Ketenangan Hati Saat Mendekati Ka’bah
Masuk ke Masjidil Haram dan melihat Ka’bah untuk pertama kalinya adalah momen spiritual yang menggetarkan jiwa. Di saat seperti itu, menjaga ketulusan niat menjadi hal utama. Jangan sampai keinginan mengambil foto, live media sosial, atau semangat berlebihan justru merusak kekhusyukan batin.
Rasulullah ﷺ mencontohkan adab penuh ketundukan saat melihat Ka’bah. Ulama menganjurkan untuk berhenti sejenak, menundukkan pandangan, membaca doa, lalu memanjatkan hajat secara diam-diam. Dalam hati, kita perlu menyadari bahwa kita berada di hadapan kiblat dunia, rumah Allah, tempat yang diimpikan jutaan jiwa.
Niat yang ikhlas dan hati yang tenang akan menciptakan ibadah yang lebih bermakna. Sehingga setiap langkah thawaf dan sujud akan menjadi saksi kecintaan kita kepada Allah, bukan sekadar rutinitas fisik.
Larangan Bersikap Kasar atau Tergesa-gesa di Masjidil Haram
Salah satu adab penting yang sering dilupakan adalah menghindari sikap tergesa-gesa dan kasar, khususnya saat memasuki atau bergerak di area Masjidil Haram. Banyak jamaah terdorong oleh keinginan menyentuh Ka’bah, mencapai Rukun Yamani, atau mendekat ke Multazam, hingga tanpa sadar mendorong, menyikut, atau melangkahi jamaah lain. Padahal, Rasulullah ﷺ sangat menjunjung tinggi kelembutan. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam semua perkara.” (HR. Bukhari).
Bahkan dalam situasi padat sekalipun, sikap sabar dan penuh kasih harus dijaga. Masjidil Haram bukan tempat untuk saling berebut atau bersikap egois. Justru inilah tempat di mana kita dilatih untuk mengalah, sabar, dan mengutamakan orang lain dalam ibadah.
Menjaga Shaf dan Adab Ketika Shalat di Tempat Padat
Ketika azan berkumandang di Masjidil Haram, ribuan orang langsung berdiri membentuk shaf—entah di lantai bawah, lantai atas, atau bahkan di jalan sekitar masjid. Dalam situasi padat ini, penting untuk menjaga keteraturan shaf, tidak menyerobot tempat, dan tidak melangkahi pundak orang lain.
Jika tidak mendapat ruang dekat Ka’bah, jangan memaksakan diri. Islam mengajarkan bahwa nilai ibadah bukan hanya pada lokasi, tapi pada kekhusyukan dan adabnya. Bahkan shalat di bagian luar masjid, jika dilakukan dengan ikhlas, lebih baik daripada shalat di dekat Ka’bah tetapi dengan tergesa dan menyakiti orang lain.
Bagi jamaah yang sedang thawaf, hendaknya menghindari lewat di depan orang yang sedang shalat. Jika memungkinkan, ambillah jalan memutar, atau hormati ruang shalat orang lain, karena ini termasuk bagian dari menjaga hak sesama dalam ibadah.
Etika Saat Menyentuh Hajar Aswad dan Multazam
Hajar Aswad dan Multazam adalah dua titik sakral di Ka’bah yang banyak didatangi jamaah dengan semangat spiritual tinggi. Namun, etika dan keselamatan tetap harus dikedepankan. Tidak semua orang bisa menyentuh Hajar Aswad, dan tidak semua harus memaksakan diri.
Dalam hadits, Nabi ﷺ mencium Hajar Aswad ketika memungkinkan. Namun Sayyidina Umar berkata: “Aku tahu engkau hanyalah batu. Kalau aku tidak melihat Nabi menciummu, aku tidak akan menciummu.” Ini menunjukkan bahwa hukum menyentuh Hajar Aswad bukan wajib, dan adab lebih utama daripada ambisi.
Demikian pula di Multazam—berdoalah dengan tenang dan tidak berteriak-teriak. Hargai antrean, beri ruang kepada lansia, dan yakini bahwa Allah Maha Mendengar, meski doa kita hanya lirih dalam hati.
Menahan Emosi Saat Terjadi Kericuhan atau Desakan
Kerumunan manusia di sekitar Ka’bah terkadang menimbulkan gesekan, baik secara fisik maupun emosional. Jamaah yang tersenggol, kehilangan sandal, atau didahului dalam antrian sering kali terpancing marah. Namun, menahan emosi di Baitullah adalah bentuk kemuliaan diri.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.” (HR. Bukhari).
Maka, hadapi kericuhan dengan sabar dan doa. Jangan membalas dengan umpatan atau kekerasan, karena ini justru akan merusak pahala ibadah. Latih diri untuk memaafkan sesama jamaah, karena mereka pun sama lelah dan berjuang menjalankan ibadah. Jika pun terjadi kekeliruan, anggaplah sebagai ujian kesabaran dari Allah.
Menjaga Kekhusyukan di Tengah Lautan Manusia
Meskipun berada di tengah jutaan manusia, kekhusyukan tetap bisa dijaga jika hati fokus pada Allah. Gunakan waktu thawaf untuk berdzikir, membaca doa ma’tsur, atau mengulang hafalan Al-Qur’an. Jangan habiskan energi untuk mengambil video, selfie, atau terus mencari spot terbaik untuk foto.
Kekhusyukan bukan dilihat dari suasana, tapi kondisi batin yang hadir penuh kepada Allah. Bahkan jika tak bisa dekat Ka’bah, berdzikir di lantai atas tetap bisa menjadi ibadah yang penuh keutamaan. Jaga mata, jaga lisan, dan jaga hati. Berada di Baitullah adalah kehormatan besar. Jangan sia-siakan kesempatan ini hanya untuk mengejar dokumentasi atau mengikuti arus keramaian yang kosong dari ruh ibadah.