1. Fenomena Vlog dan Foto Ibadah di Makkah

Perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah cara banyak orang memaknai ibadah, termasuk ketika berada di Tanah Suci. Tak sedikit jamaah haji maupun umrah yang terdorong untuk mendokumentasikan setiap momen mereka melalui vlog, foto, atau siaran langsung. Tujuannya bisa beragam: dari sekadar berbagi kebahagiaan, menginspirasi orang lain, hingga menciptakan kenangan pribadi. Fenomena ini telah menjadi bagian dari tren kontemporer ibadah, terutama di kalangan generasi muda yang terbiasa mengabadikan momen secara digital.

 

Namun, praktik ini juga memunculkan pertanyaan penting: “Sejauh mana dokumentasi ibadah tersebut selaras dengan nilai-nilai keikhlasan dan kekhusyukan?” Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah tempat suci yang menuntut adab tinggi dan kekhidmatan. Maka, segala bentuk dokumentasi harus dilihat dari kaca mata syar’i dan etika Islami, bukan semata-mata gaya hidup media sosial.

 

2. Niat yang Lurus dalam Berbagi Momen Spiritual

Islam sangat menekankan pentingnya niat dalam setiap amal. Niat merupakan inti dari ibadah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks sosial media, seseorang yang mengunggah foto atau video ibadah harus terlebih dahulu bertanya pada diri sendiri: “apakah tujuannya untuk menginspirasi, berbagi kebaikan, atau sekadar mencari pengakuan dan pujian?”

 

Jika niatnya benar, maka aktivitas berbagi dapat menjadi sarana dakwah yang efektif. Namun jika niatnya menyimpang, maka amal tersebut bisa kehilangan nilai di sisi Allah. Oleh karena itu, perlu adanya muhasabah diri dan menjaga hati dari kecenderungan riya atau ujub saat mengunggah konten spiritual di platform digital.

 

3. Batasan Etika dalam Mendokumentasikan Ibadah

Meski dokumentasi ibadah bukan sesuatu yang haram, ada batasan-batasan etika yang harus diperhatikan. Pertama, jangan sampai dokumentasi tersebut mengganggu kekhusyukan ibadah orang lain. Kedua, hindari mengambil gambar di waktu-waktu yang tidak tepat, seperti saat orang sedang sujud atau berdoa dengan khusyuk. Ketiga, perhatikan aurat dan privasi orang lain yang mungkin terekam dalam dokumentasi.

 

Selain itu, menggunakan alat dokumentasi seperti kamera, tripod, atau ponsel di area yang padat jamaah bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan bahaya. Sebaiknya pilih waktu dan tempat yang tenang, dan pastikan kegiatan tersebut tidak menjadi ajang pamer. Mengabadikan ibadah memang boleh, tapi tetap harus didasari dengan akhlak dan kesadaran akan kesucian tempat tersebut.

 

4. Bahaya Riya dan Hilangnya Keikhlasan

Salah satu risiko utama dalam memamerkan ibadah di media sosial adalah riya, yakni beribadah untuk dilihat orang lain. Riya bisa menjadikan amal yang seharusnya bernilai tinggi menjadi sia-sia di hadapan Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya.” (HR. Ahmad).

 

Di era digital, bentuk riya bisa muncul dalam bentuk konten spiritual yang dibumbui dengan gaya berlebihan, caption penuh pujian diri, atau ekspresi yang tidak menggambarkan ketawadhuan. Hal ini secara perlahan dapat merusak hati dan menumbuhkan rasa bangga yang tidak proporsional. Maka penting bagi jamaah untuk menjaga keikhlasan dan selalu mengingat bahwa ibadah adalah hubungan antara hamba dan Rabb-nya, bukan konsumsi publik.

 

5. Hukum Mengabadikan Ibadah menurut Ulama

Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengabadikan ibadah dengan kamera. Mayoritas membolehkan dengan syarat tidak mengganggu ibadah, tidak mengandung unsur riya, dan tidak melanggar privasi orang lain. Syekh Shalih al-Fauzan, misalnya, menegaskan bahwa foto atau video dalam konteks ibadah tidak menjadi masalah selama bertujuan untuk kebaikan dan tidak menimbulkan fitnah.

 

Namun, sebagian ulama menekankan kehati-hatian karena kekhawatiran niat yang berubah. Mereka menyarankan agar dokumentasi tidak dilakukan secara berlebihan, apalagi jika dilakukan saat ibadah inti seperti thawaf, sa’i, atau sujud. Untuk lebih aman, umat Islam dianjurkan mengutamakan kekhusyukan dan menahan diri dari dokumentasi yang berlebihan, kecuali jika benar-benar diperlukan untuk edukasi atau dakwah.

 

6. Bijak Menggunakan Teknologi untuk Dakwah

Media sosial bukanlah musuh, melainkan alat yang bisa digunakan untuk kebaikan jika bijak mengelolanya. Dengan niat yang benar, dokumentasi perjalanan ibadah dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. Foto atau video yang menampilkan suasana haru, doa yang tulus, atau pemandangan indah di Tanah Suci bisa membangkitkan semangat berhaji atau umrah bagi orang lain.

 

Namun, bijak berarti tahu kapan harus berhenti, kapan harus membagikan, dan kapan harus menyimpannya untuk diri sendiri. Ada nilai ibadah yang tidak bisa ditransmisikan melalui gambar, karena hanya bisa dirasakan langsung oleh hati yang hadir. Oleh karena itu, hendaknya teknologi digunakan sebagai alat bantu, bukan pengganti makna dari ibadah itu sendiri.