Masjidil Haram adalah pusat spiritual umat Islam, dan Ka’bah menjadi titik pusat seluruh arah kiblat. Setiap tahun, jutaan umat Muslim datang untuk thawaf dan beribadah di sekitarnya. Namun, di tengah semangat beribadah itu, seringkali etika dilupakan. Saling dorong, berdesakan, bahkan tergesa-gesa, tanpa memikirkan kenyamanan orang lain.

 

Artikel ini hadir untuk mengingatkan bahwa beribadah di sekitar Ka’bah bukan hanya tentang ritual, tapi juga akhlak dan adab.

 

Kesucian Area Ka’bah dan Keutamaannya

Ka’bah bukan sekadar bangunan. Ia adalah rumah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah ﷻ (QS. Ali ‘Imran: 96). Di sekelilingnya, tempat thawaf menjadi area paling suci di muka bumi. Di sinilah doa diangkat, dosa diampuni, dan hati dibersihkan. Para ulama menegaskan bahwa setiap langkah di sekitar Ka’bah dihitung sebagai ibadah, bahkan sekadar memandang Ka’bah pun bernilai pahala.

 

Kesucian tempat ini menuntut kesucian hati, lisan, dan perbuatan. Jamaah yang datang harus hadir dengan penuh tunduk, takut, dan cinta, bukan dengan emosi atau ambisi pribadi. Maka menjaga adab di sekitarnya adalah wujud penghormatan terhadap perintah Allah dan tempat yang dimuliakan-Nya.

 

Larangan Menyenggol atau Mengganggu Jamaah Lain

Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah saling mendorong atau menyenggol jamaah lain, baik saat thawaf maupun hendak mencium Hajar Aswad. Banyak yang tidak sabar menunggu giliran atau tergesa-gesa ingin lebih dekat dengan Ka’bah, padahal Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa mudharat terhadap sesama adalah perbuatan yang dilarang.

 

Mengganggu kekhusyukan orang lain dalam ibadah adalah kesalahan yang perlu dihindari. Ketika seseorang mendorong hanya demi shalat di Hijr Ismail atau mencium Hajar Aswad, niat ibadahnya bisa terganggu oleh perilaku yang justru merusak nilai ukhuwah dan akhlak. Islam menekankan keselamatan dan kenyamanan umat lebih utama dari sekadar keutamaan tempat.

 

Memahami Adab dalam Shalat di Sekitar Ka’bah

Shalat di sekitar Ka’bah memiliki keutamaan yang sangat besar. Satu rakaat di Masjidil Haram setara dengan 100.000 rakaat di masjid biasa. Namun, ini tidak berarti semua tempat bisa dijadikan area shalat, terutama jalur thawaf atau tempat lalu lintas jamaah.

 

Jamaah sebaiknya tidak shalat di jalur thawaf kecuali darurat, dan harus tetap memperhatikan alur pergerakan jamaah. Jangan memaksakan diri shalat di tengah kerumunan yang padat, karena bisa mengganggu thawaf orang lain dan memicu konflik. Pilihlah waktu dan tempat yang lebih tenang, seperti lantai atas atau area samping masjid.

 

Adab lainnya adalah tidak bersandar, tidak menoleh, dan tidak berbicara saat menunggu waktu salat. Hadirkan hati penuh rasa takut dan rindu kepada Allah, karena di sinilah Rasulullah ﷺ dan para sahabat ruku dan sujud.

 

Menjaga Ketenangan di Tempat yang Penuh Keberkahan

Masjidil Haram adalah tempat dzikir, doa, dan kontemplasi. Sayangnya, banyak jamaah yang berbicara keras, menelpon di tempat ibadah, atau membuat keributan saat thawaf atau tadarus. Ini bertentangan dengan semangat suci yang harus dibawa. Allah ﷻ berfirman,

 

Dan siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu adalah tanda ketakwaan hati” (QS. Al-Hajj: 32).

 

Maka menghormati ketenangan di Masjidil Haram adalah bagian dari takwa. Jamaah hendaknya menahan diri dari obrolan yang tidak penting, menjauhi selfie berlebihan, dan fokus pada ibadah. Jika ingin berdiskusi atau berkoordinasi dengan rombongan, sebaiknya dilakukan di area luar atau setelah selesai thawaf dan salat. Ingat bahwa ribuan jamaah sedang bercengkerama dengan Allah di tempat itu, jangan ganggu hubungan suci tersebut dengan suara kita.

 

Etika Berinteraksi dengan Petugas dan Sesama Jamaah

Petugas Masjidil Haram memiliki tugas mulia namun berat: menjaga kenyamanan jutaan orang. Maka penting bagi kita untuk bersikap santun kepada mereka, tidak berdebat atau memaksa saat diminta pindah atau ditegur. Anggaplah mereka sebagai pelayan rumah Allah, bukan penghalang ibadah. Sesama jamaah pun harus saling menolong, memaafkan, dan memahami. Saat didorong, tidak perlu membalas. Saat tersenggol, berusahalah bersabar.

 

Rasulullah ﷺ mengajarkan lewat haditsnya, “Barang siapa menahan amarahnya padahal ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan semua makhluk pada hari kiamat” (HR. Tirmidzi).

 

Senyum, doa dalam hati, atau sekadar memberi jalan kepada orang lain adalah ibadah tersendiri yang sering terabaikan. Di rumah Allah, kita bukan hanya tamu-Nya, tapi juga duta akhlak Islam.

 

Menjadi Pribadi yang Menenangkan di Tengah Keramaian

Tujuan ibadah bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga agar hadir kita menjadi rahmat bagi yang lain. Jamaah yang baik bukan yang paling depan sendiri, tapi yang membawa ketenangan bagi orang di sekitarnya. Dalam keramaian thawaf, dalam hiruk pikuk salat, kita bisa menjadi sosok yang menyejukkan: tidak mendesak, tidak mengeluh, dan selalu tenang. Seperti mata air di padang pasir yang menyegarkan siapa pun yang mendekat.

 

Inilah bentuk nyata dari kematangan spiritual: tidak egois dalam beribadah, tapi memperhatikan kenyamanan orang lain. Di hadapan Ka’bah, bukan hanya ibadah yang dicatat, tetapi juga akhlak dan kehadiran hati.