Ibadah haji dan umrah merupakan rukun dan sunnah agung dalam Islam yang telah diperintahkan langsung oleh Allah ﷻ dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Keduanya bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan spiritual yang penuh makna. Banyak hadits sahih yang mendorong umat Islam untuk menunaikan ibadah ini, terutama ketika seseorang telah memiliki kemampuan.

 

Artikel ini akan membahas hadits-hadits pilihan dari Shahih At-Targhib wa At-Tarhib yang menekankan anjuran berhaji dan berumrah, keutamaannya, serta ancaman bagi yang sengaja menunda meski sudah mampu. Dengan pemahaman mendalam terhadap hadits-hadits ini, semoga tumbuh motivasi untuk segera memenuhi panggilan Allah ke Baitullah.

 

 

1. Kandungan Hadits 1094–1101 dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib

Kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib karya Syaikh Al-Albani merupakan kompilasi hadits-hadits yang memotivasi (targhib) dan memperingatkan (tarhib) umat Islam agar taat kepada syariat. Dalam bab tentang haji dan umrah, terdapat beberapa hadits penting yang diberi nomor 1094 hingga 1101. Hadits-hadits ini bukan hanya mendorong umat untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, tetapi juga mengandung janji pahala besar serta peringatan keras bagi yang mengabaikan kewajiban ini.

 

Beberapa hadits menekankan bahwa haji dan umrah merupakan penghapus dosa. Misalnya, disebutkan bahwa antara satu umrah ke umrah lainnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antara keduanya. Hadits lain menggambarkan keutamaan haji mabrur sebagai jalan menuju surga. Dalam hadits 1095, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa haji yang mabrur tidak ada balasannya selain surga.

 

Adapun dalam hadits 1100, Rasulullah ﷺ memperingatkan dengan tegas bahwa siapa saja yang memiliki kemampuan untuk berhaji namun tidak melakukannya hingga wafat, maka ia bisa mati dalam keadaan seperti Yahudi atau Nasrani—yakni bukan dalam Islam yang sempurna. Ini menunjukkan betapa besar dosa menunda-nunda ibadah wajib tersebut.
Dari delapan hadits ini, tampak bahwa haji dan umrah bukan hanya ritual tahunan, melainkan ibadah yang sangat ditekankan dalam Islam dan penuh nilai pembentukan diri, pengampunan, serta tanggung jawab moral dan spiritual.

 

 

2. Dorongan Nabi ﷺ bagi yang Mampu Berhaji

Nabi Muhammad ﷺ memberikan dorongan kuat kepada umat Islam untuk berhaji jika mereka telah memiliki kemampuan. Dalam banyak riwayat, beliau menyebutkan bahwa haji adalah kewajiban bagi yang mampu secara finansial, fisik, dan aman dalam perjalanan. Bahkan, haji disebut sebagai rukun Islam kelima, menandakan posisinya yang sangat penting dalam struktur keimanan seorang Muslim.

 

Dorongan Nabi ﷺ ini tidak hanya berupa perintah, tetapi juga penggambaran keutamaan dan pahala besar bagi pelakunya. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa “Barangsiapa berhaji dan tidak berkata keji atau berbuat kefasikan, maka ia kembali seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.” Ini menggambarkan bahwa haji bisa menjadi titik balik kehidupan, awal dari lembaran baru yang bersih dari dosa.

 

Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa tidak menunda haji jika sudah mampu adalah bentuk ketakwaan. Menunda dengan alasan duniawi bisa menjadi pertanda lemahnya iman atau lebih cintanya seseorang kepada dunia daripada perintah Allah. Bahkan dalam hadits-hadits tertentu, Nabi ﷺ mengancam orang-orang yang menunda haji dengan hukuman akhirat yang berat.

 

Dari sini, kita belajar bahwa dorongan Nabi bukan semata kata-kata, tetapi juga bersumber dari kasih sayang beliau kepada umatnya agar selamat dari murka Allah dan memperoleh derajat yang tinggi di sisi-Nya.

 

 

3. Keutamaan Umrah sebagai Penghapus Dosa

Salah satu manfaat spiritual dari umrah adalah sebagai sarana penghapus dosa. Dalam hadits yang sangat masyhur, Rasulullah ﷺ bersabda: “Umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya selama dosa itu bukan dosa besar.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang mau bersungguh-sungguh dalam ibadah.

 

Keutamaan ini menjadi penyemangat bagi banyak Muslim untuk menunaikan umrah, terutama jika belum memiliki kemampuan untuk berhaji. Umrah lebih ringan dari segi biaya dan waktu, namun tetap mengandung nilai spiritual yang tinggi. Ia menjadi ajang evaluasi diri, permohonan ampun, dan kesempatan memperbaharui komitmen kepada Allah ﷻ.
Dalam konteks ini, umrah juga memiliki nilai tarbiyah (pembinaan), terutama ketika seseorang melaksanakannya dengan penuh kesungguhan. Umrah bukan sekadar perjalanan religi, tapi juga momen tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Oleh sebab itu, banyak jamaah mengaku merasakan perubahan batin yang mendalam usai umrah.

 

Maka, sangat disayangkan jika ada yang meremehkan ibadah ini atau hanya menjadikannya ajang jalan-jalan belaka. Keutamaan umrah sebagai penghapus dosa harus dimaknai secara mendalam agar kita tidak menyia-nyiakan kesempatan spiritual yang langka ini.

 

 

4. Janji Surga bagi Haji Mabrur

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” Pernyataan ini sangat kuat dan menegaskan posisi agung dari ibadah haji di sisi Allah ﷻ. Haji mabrur adalah haji yang dilakukan dengan ikhlas, sesuai tuntunan, serta tidak diiringi maksiat atau riya.

 

Surga adalah impian tertinggi setiap Muslim. Maka, ibadah haji menjadi salah satu jalan terpendek menuju cita-cita tersebut. Namun, meraih haji mabrur tentu tidak mudah. Ia menuntut ketulusan, kesabaran, serta adab dan akhlak selama berada di tanah suci. Banyak yang berhaji, tapi belum tentu mabrur.

 

Janji surga ini menjadi daya dorong utama bagi kaum Muslimin untuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakan rukun Islam kelima ini. Selain itu, haji mabrur juga memiliki dampak pasca-ibadah yang signifikan: seseorang akan menjadi lebih sabar, tawadhu, dan terikat dengan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya.

 

Dengan mengetahui keutamaan ini, hendaknya kita tidak sekadar mengejar gelar “haji”, tetapi juga berusaha meraih keberkahan dan kemabruran dalam ibadah tersebut, agar tidak hanya mendapat pujian manusia, tetapi juga ridha Allah ﷻ.

 

 

5. Bahaya Menunda Ibadah saat Sudah Mampu

Salah satu hadits paling menggetarkan dalam bab ini adalah peringatan Nabi ﷺ terhadap mereka yang sudah mampu berhaji namun sengaja menunda-nunda. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani, disebutkan bahwa siapa yang mampu berhaji namun tidak melakukannya hingga wafat, maka ia akan mati seperti Yahudi atau Nasrani.

 

Ini menunjukkan bahwa menunda haji tanpa uzur syar’i bisa menjadi dosa besar. Banyak orang menunda karena alasan duniawi, seperti, menunggu teman, ingin bepergian bersama keluarga, belum siap mental, atau mengejar kemapanan materi terlebih dahulu. Padahal, kemampuan sudah dimiliki.

 

Bahaya dari sikap ini bukan hanya kehilangan pahala, tetapi juga masuk dalam ancaman murka Allah. Dalam banyak kisah, orang yang menunda berhaji lalu wafat sebelum sempat menunaikannya, kerap meninggalkan penyesalan bagi keluarga yang ditinggalkan.

 

Oleh karena itu, penting untuk segera merespons seruan Allah jika telah mampu. Jangan tunda-tunda, sebab kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Lebih baik berangkat dengan kesiapan seadanya, daripada menyesal sepanjang usia karena telah menyia-nyiakan panggilan Ilahi.

 

 

6. Spirit Hadits sebagai Penyemangat Ibadah

Hadits-hadits yang disebutkan di atas bukan sekadar kumpulan teks keagamaan, tetapi juga merupakan motivator spiritual yang sangat kuat. Spirit yang terkandung dalam hadits-hadits ini adalah semangat taat, ikhlas, dan segera melaksanakan perintah Allah tanpa menunda. Hadits-hadits ini mendorong kita untuk menjadikan haji dan umrah sebagai prioritas dalam hidup, bukan hanya mimpi yang terus ditunda.

 

Selain itu, hadits-hadits ini memberi perspektif bahwa haji dan umrah bukan hanya untuk orang tua atau pensiunan. Ia adalah ibadah yang bisa dilakukan siapa saja yang memiliki kesiapan. Banyak anak muda yang menyesal karena menunda, padahal saat muda tenaga dan niat lebih kuat untuk menyempurnakan ibadah ini.

 

Spirit ini juga mengajak kita untuk berfokus pada kualitas ibadah, bukan hanya pada status sosial pasca-haji. Mabrur lebih penting daripada gelar. Pengampunan dosa lebih utama daripada sekadar foto-foto perjalanan. Hadits-hadits ini memberikan panduan agar kita tidak salah arah dalam niat dan praktik ibadah.

 

Semoga semangat dari hadits-hadits ini bisa menular ke dalam keseharian kita, menguatkan iman, serta mengajak orang sekitar untuk segera memenuhi panggilan Allah. Sungguh, haji dan umrah bukan sekadar ibadah, tetapi juga sebuah pengalaman transformasi diri menuju ridha-Nya.