Kitab Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah salah satu rujukan penting dalam fiqih ibadah yang bersumber langsung dari hadits-hadits Rasulullah ﷺ. Dalam bab haji, penjelasan mengenai miqat, ihram, dan tata cara pelaksanaan haji disusun secara sistematis. Bagi para calon jamaah, memahami rambu-rambu ibadah ini sangat penting agar haji dilakukan sesuai tuntunan Nabi ﷺ dan diterima sebagai ibadah yang sah dan sempurna.
Artikel ini membahas secara ringkas namun padat mengenai praktik haji berdasarkan hadits dalam Bulughul Maram.
Pengertian dan Jenis-jenis Miqat
Miqat adalah batas tempat atau waktu yang ditentukan untuk mulai melaksanakan ihram bagi haji dan umrah. Dalam Bulughul Maram, terdapat hadits-hadits yang menjelaskan lima lokasi miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ untuk orang-orang dari berbagai arah kedatangan menuju Makkah. Lima miqat tersebut adalah:
- Dzul Hulaifah (untuk penduduk Madinah)
- Al-Juhfah (untuk penduduk Syam dan Mesir)
- Yalamlam (untuk penduduk Yaman)
- Qarnul Manazil (untuk penduduk Najd)
- Dzat ‘Irqin (untuk penduduk Irak)
Selain miqat makani (tempat), ada juga miqat zamani (waktu), yaitu bulan-bulan haji: Syawal, Dzulqa’dah, dan awal Dzulhijjah. Seorang muslim tidak boleh melewati miqat makani tanpa ihram jika ingin melaksanakan haji atau umrah. Pelanggaran terhadap aturan ini berdampak pada keabsahan ibadah dan bisa memerlukan dam (denda).
Dengan memahami lokasi miqat, jamaah dapat mempersiapkan diri secara spiritual dan fisik sebelum memulai rangkaian ibadah besar ini.
Tata Cara Memakai Ihram dan Niat
Ihram bukan hanya tentang pakaian, tapi juga kondisi hati yang masuk ke dalam “status sakral”. Bagi laki-laki, ihram adalah dua lembar kain putih tanpa jahitan: satu untuk bagian bawah (izar) dan satu untuk atas (rida’). Sedangkan wanita tetap memakai pakaian yang menutup aurat tanpa penutup wajah dan telapak tangan, serta tidak memakai pakaian mencolok.
Niat ihram dilakukan di miqat, biasanya dengan mengucapkan: ‘Labbaikallahumma hajjan’ jika berniat haji atau ‘Labbaikallahumma ‘umratan‘ jika berniat umrah atau niat haji tamattu’ bagi yang menggabungkan keduanya.
Dalam hadits Bulughul Maram, dijelaskan bahwa Nabi ﷺ memulai ihram dari Dzul Hulaifah dengan niat dan talbiyah. Beliau mencontohkan membaca talbiyah langsung setelah niat, menunjukkan bahwa ini adalah bagian penting dalam memulai ibadah haji.
Setelah niat, jamaah masuk ke kondisi ihram dan diharamkan melakukan beberapa hal seperti mencabut rambut, memotong kuku, memakai wangi-wangian, serta hubungan suami-istri. Oleh karena itu, pemahaman tentang tata cara ihram menjadi sangat vital agar ibadah tidak rusak oleh pelanggaran yang tidak disengaja.
Sunnah-sunnah Ihram yang Dianjurkan
Beberapa amalan sunnah sebelum dan saat ihram dianjurkan untuk dilakukan agar menambah kesempurnaan ibadah. Di antaranya:
- Mandi ihram sebelum mengenakan kain ihram
- Memakai wangi-wangian di badan (bukan pada kain ihram)
- Menyisir rambut dan memotong kuku
- Shalat sunnah sebelum niat (jika waktunya memungkinkan)
- Mengucap talbiyah dengan suara lantang (bagi laki-laki)
- Memperbanyak dzikir dan doa
Dalam salah satu hadits yang terdapat dalam Bulughul Maram, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ memakai wangi-wangian sebelum ihram dan terus tercium aromanya bahkan setelah beliau ihram. Ini menunjukkan bahwa sunnah tersebut dilakukan dengan penuh perhatian.
Melakukan sunnah ihram bukan hanya menambah pahala, tetapi juga menjadi simbol kesiapan ruhani dan mental untuk memasuki kondisi sakral dalam ibadah haji. Sunnah-sunnah ini menunjukkan bahwa syariat Islam sangat memperhatikan kesiapan lahir dan batin dalam setiap amal besar.
Penjelasan Hadits dalam Bulughul Maram Bab Miqat
Kitab Bulughul Maram mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan langsung dengan penetapan miqat, tata cara ihram, serta berbagai larangan dan sunnah terkait ibadah haji. Salah satu hadits penting adalah riwayat Ibnu ‘Abbas tentang Rasulullah ﷺ yang menetapkan lima miqat tersebut, yang menjadi dasar penetapan fiqih haji lintas mazhab.
Hadits lain dalam bab miqat menjelaskan tentang seseorang yang melewati miqat tanpa niat ihram, lalu diperintahkan kembali oleh Rasul ﷺ untuk kembali ke miqat dan memulai ihram. Hal ini menunjukkan pentingnya mengikuti aturan secara tepat.
Penjelasan para ulama atas hadits-hadits ini menunjukkan bahwa batasan syar’i tidak boleh dilanggar. Bahkan Imam Nawawi dan para fuqaha lain menganggap bahwa melanggar miqat tanpa alasan syar’i dapat merusak kesempurnaan haji seseorang.
Maka, belajar dan memahami hadits-hadits dalam Bulughul Maram bukan sekadar teori, tapi landasan kuat dalam menghidupkan sunnah Rasulullah ﷺ saat menunaikan ibadah haji.
Urutan Tata Cara Haji Sejak Ihram hingga Mina
Setelah berniat ihram, jamaah memulai rangkaian haji sesuai jenis hajinya (ifrad, tamattu’, atau qiran). Urutan umum haji tamattu’, yang banyak dilakukan jamaah Indonesia, adalah:
Niat umrah dan ihram dari miqat
- Tawaf dan sa’i, lalu tahallul (menggunting rambut)
- Menunggu hari tarwiyah (8 Dzulhijjah), lalu ihram kembali untuk haji
- Wuquf di Arafah (9 Dzulhijjah), momen puncak haji
- Mabit di Muzdalifah dan Mina
- Melontar jumrah, menyembelih hewan kurban, dan tahallul kedua
- Tawaf Ifadah dan Sa’i haji
- Mabit di Mina dan melontar jumrah pada hari-hari tasyriq
- Tawaf Wada’ sebelum pulang
Setiap tahapan ini memiliki hadits pendukung dalam Bulughul Maram, menjadikan kitab ini sangat relevan sebagai panduan praktis sekaligus landasan fiqih dalam berhaji. Dengan mengikuti urutan sesuai tuntunan Nabi ﷺ, jamaah tidak hanya menjalankan kewajiban, tetapi juga meneladani sunnah dalam bentuk paling nyata.
Hikmah Mematuhi Ketentuan Fiqih dalam Berhaji
Ketika seseorang menunaikan haji dengan mengikuti ketentuan fiqih yang shahih, berarti ia telah menunjukkan bentuk penghambaan sejati kepada Allah. Ketaatan pada miqat, ihram, serta sunnah-sunnah ibadah bukan semata peraturan teknis, tapi bentuk tunduk dan patuh terhadap syariat.
Salah satu hikmah besar dalam pelaksanaan haji adalah menanamkan disiplin dan kesadaran bahwa ibadah tidak boleh dilakukan sembarangan. Segala sesuatu ada waktunya, ada aturannya, dan ada batasannya. Ini mengajarkan kerendahan hati dan penghormatan terhadap wahyu.
Ketaatan ini juga mempererat kesatuan umat, karena seluruh jamaah dari berbagai latar belakang mengikuti urutan yang sama, mengenakan pakaian yang seragam, dan berdzikir kepada Tuhan yang satu.
Dengan mematuhi tuntunan dari hadits-hadits yang sahih, termasuk yang dihimpun dalam Bulughul Maram, seorang muslim menjalankan haji bukan hanya sebagai kewajiban, tapi sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah ﷺ dan kesungguhan dalam menapaki jalan menuju Allah.