Sa’i merupakan salah satu bagian penting dari rangkaian ibadah haji dan umrah. Banyak jamaah yang mengenalnya sebagai kegiatan berjalan kaki antara Bukit Shafa dan Marwah, namun tidak sedikit pula yang belum memahami makna mendalam serta tata cara pelaksanaannya. Sa’i bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan simbol perjuangan, kesabaran, dan pengharapan yang dicontohkan oleh Siti Hajar dalam mencari air untuk anaknya, Nabi Ismail. Oleh karena itu, memahami tata cara dan makna Sa’i akan memberikan nilai spiritual yang lebih dalam bagi setiap jamaah yang mengerjakannya.
Apa Itu Sa’i dan Mengapa Ia Merupakan Rukun Haji dan Umrah
Secara bahasa, Sa’i berarti “berusaha” atau “berlari kecil”. Dalam konteks ibadah, Sa’i adalah rukun yang dilakukan dengan berjalan bolak-balik sebanyak tujuh kali antara Bukit Shafa dan Marwah. Aktivitas ini bukan hanya seremonial, melainkan bentuk penghormatan terhadap perjuangan Siti Hajar ketika mencari air di padang pasir untuk bayinya yang kehausan.
Sa’i memiliki kedudukan sebagai rukun dalam umrah dan haji. Artinya, jika tidak dilaksanakan, maka ibadah tidak sah. Ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ yang menyebutkan bahwa beliau sendiri melakukan Sa’i dan memerintahkan umatnya untuk mengikutinya. Perintah ini diperkuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 158, di mana Allah menyebutkan Shafa dan Marwah sebagai bagian dari syiar-Nya.
Dengan memahami bahwa Sa’i adalah bentuk ibadah yang diperintahkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan. Bukan hanya kewajiban, tetapi juga refleksi perjuangan dalam menghadapi kehidupan.
Tata Cara Melaksanakan Sa’i dengan Benar
Sa’i dimulai setelah jamaah menyelesaikan thawaf dan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, serta meminum air zamzam. Berikut adalah langkah-langkah tata cara Sa’i:
- Niat Sa’i — Dilakukan dalam hati, tanpa lafaz khusus. Cukup dengan menyadari bahwa kita sedang menunaikan Sa’i sebagai bagian dari umrah atau haji.
- Memulai dari Bukit Shafa — Saat berada di Shafa, jamaah menghadap Ka’bah, membaca doa, dan takbir, lalu melanjutkan perjalanan menuju Marwah.
- Perjalanan dari Shafa ke Marwah — Ini dihitung sebagai satu kali. Ketika melewati area berlampu hijau, laki-laki disunnahkan untuk berlari kecil (harwalah).
- Dari Marwah kembali ke Shafa — Ini dihitung sebagai perjalanan kedua. Lakukan hal ini hingga genap tujuh kali, yang akan berakhir di Bukit Marwah.
- Tidak ada shalat khusus saat Sa’i, namun disunnahkan untuk banyak berzikir, berdoa, dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Pastikan untuk tetap tenang, tidak tergesa-gesa, dan menjaga etika serta adab saat berada di antara jamaah lain. Kebersihan hati, kesabaran, dan rasa syukur menjadi nilai utama selama pelaksanaan Sa’i.
Doa yang Dibaca Selama Sa’i
Meskipun tidak ada doa tertentu yang diwajibkan selama Sa’i, Rasulullah SAW biasa membaca zikir dan doa dengan makna mendalam. Di antara doa yang dianjurkan saat berada di atas Bukit Shafa dan Marwah adalah: “Innash-Shafa wal-Marwata min Sya’aairillah…” (QS. Al-Baqarah: 158). Dilanjutkan dengan “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah, lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiitu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadiir…”
Selain itu, jamaah dianjurkan untuk berdoa dengan bahasa sendiri, sesuai kebutuhan dan kondisi hati masing-masing. Momen Sa’i merupakan kesempatan untuk bermunajat secara mendalam, menyampaikan harapan, permohonan ampun, dan syukur atas nikmat Allah.
Doa yang dilantunkan selama Sa’i seharusnya dihayati. Saat kaki melangkah, hati bergetar, dan lisan menyebut nama Allah, itulah bentuk ibadah yang sesungguhnya. Jangan ragu untuk menangis, karena air mata di tanah suci adalah tanda kelembutan hati yang dirindukan Allah.
Keutamaan dan Hikmah dari Sa’i antara Shafa dan Marwah
Sa’i adalah simbol nyata dari kesabaran dan ikhtiar yang penuh keimanan. Bayangkan perjuangan Siti Hajar yang bolak-balik tujuh kali di bawah terik matahari demi mencari air untuk Ismail. Dari situ, lahirlah sumur zamzam, yang menjadi sumber berkah hingga hari ini.
Setiap langkah dalam Sa’i adalah bentuk ibadah dan perenungan. Ia mengajarkan bahwa usaha tidak akan sia-sia jika disertai keimanan dan tawakal. Bahkan dalam situasi terputus harapan sekalipun, Allah mampu memberikan pertolongan dari arah yang tak disangka-sangka. Keutamaan Sa’i juga tampak dari statusnya sebagai rukun ibadah, bukan sekadar sunah. Ibadah ini mengandung nilai spiritual yang tinggi, terutama bagi mereka yang ingin mengambil pelajaran tentang ketekunan, pengorbanan, dan keyakinan.
Bagi jamaah, Sa’i bisa menjadi momen refleksi—meninggalkan dunia sejenak, merenungi perjalanan hidup, dan memperbarui tekad untuk menjadi pribadi yang lebih sabar, gigih, dan bertawakal.
Apa yang Harus Dilakukan jika Sa’i Terlewat atau Tidak Sempurna
Jika seorang jamaah lupa atau melewatkan Sa’i, maka ibadah umrah atau hajinya belum sah, karena Sa’i adalah rukun, bukan sunah. Maka, ia wajib kembali melakukannya sebelum tahallul. Bila tidak memungkinkan karena halangan syar’i seperti sakit berat, maka solusi bisa berupa
Menunjuk wakil untuk melaksanakan Sa’i atas namanya, jika kondisi fisik benar-benar tidak memungkinkan.
Jika masih berada di Tanah Suci, segera menyempurnakan Sa’i sebelum meninggalkan Makkah. Jika telah kembali ke negara asal, maka ia wajib kembali untuk menyempurnakan Sa’i. Jika tidak, hajinya dalam status tidak sah (bagi haji tamattu’ atau umrah).
Bila Sa’i tidak sempurna (misalnya hanya 6 putaran), maka wajib menambah 1 putaran lagi sebelum tahallul. Jangan sampai tertukar antara jumlah putaran dan urutannya, karena kesalahan ini bisa membatalkan ibadah. Maka dari itu, sangat penting bagi jamaah untuk memahami urutan, niat, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan Sa’i. Bimbingan mutawwif, buku panduan, atau bahkan aplikasi haji dapat menjadi bantuan penting selama pelaksanaan ibadah.