Di era digital saat ini, kebiasaan mendokumentasikan berbagai aktivitas kehidupan, termasuk ibadah, menjadi sesuatu yang umum. Banyak jamaah haji dan umrah merasa terdorong untuk mengabadikan momen-momen spiritual mereka di Masjidil Haram. Namun, tempat suci ini bukan sekadar lokasi ibadah biasa—ia memiliki kesakralan dan adab yang wajib dijaga. Mengambil gambar dan video bukan hanya soal teknis, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum, niat, dan penghormatan terhadap jamaah lain. Artikel ini membahas secara mendalam tentang etika, batasan, dan cara yang bijak dalam mendokumentasikan ibadah di Masjidil Haram.

1. Hukum Mengabadikan Momen Ibadah dengan Kamera

 

Secara hukum fikih, mengambil gambar atau video saat berada di Masjidil Haram tidak secara mutlak dilarang, selama tidak melanggar syariat dan adab tempat suci. Ulama kontemporer seperti Syaikh Shalih al-Fauzan menyatakan bahwa pengambilan gambar diperbolehkan selama tidak mengganggu kekhusyukan ibadah atau melanggar batas aurat dan privasi.

Namun, jika dokumentasi dilakukan dengan niat untuk pamer atau mencari popularitas, maka hukumnya bisa berubah menjadi makruh atau bahkan haram karena masuk dalam kategori riya. Islam sangat menjaga kemurnian niat dalam beribadah, dan tindakan yang mencederai keikhlasan akan mengurangi nilai ibadah itu sendiri.

Selain itu, pemerintah Arab Saudi pun telah mengeluarkan peringatan agar jamaah tidak sembarangan mengambil gambar di tempat suci. Mereka menganjurkan agar fokus ibadah diutamakan, dan penggunaan kamera dilakukan dengan sangat terbatas.

Maka, secara hukum, pengambilan gambar harus dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal: tidak melanggar syariat dan tidak mengurangi nilai kekhusyukan tempat. Jika dua hal ini bisa dijaga, maka aktivitas dokumentasi bisa dilakukan secara bijak.

 

2. Adab dalam Mengambil Foto dan Video di Area Suci

Mengambil gambar di Masjidil Haram hendaknya dilakukan dengan menjaga adab dan etika. Salah satu adab utama adalah tidak mengambil gambar di tengah-tengah aktivitas ibadah, seperti saat thawaf, sa’i, atau salat berjamaah. Selain mengganggu diri sendiri, hal ini juga berpotensi mengganggu kekhusyukan jamaah lain.

Gunakan kamera atau ponsel secara diam-diam dan tidak mencolok. Jangan mengangkat tangan tinggi-tinggi atau menggunakan tongkat selfie di kerumunan. Ini bukan hanya tidak sopan, tapi juga bisa membahayakan jamaah lain yang padat berdesakan.

Jangan mengambil gambar orang lain tanpa izin, terutama jika mereka sedang berdoa atau dalam keadaan menangis. Mengabadikan momen seperti ini bisa melukai privasi dan kehormatan spiritual mereka.

Hindari pula mengambil gambar di area yang secara eksplisit memiliki larangan, seperti area dalam Ka’bah, maqam Ibrahim, atau sekitar petugas keamanan. Mengabaikan aturan bisa berujung pada teguran atau bahkan sanksi dari otoritas setempat.

 

3. Menghindari Gangguan kepada Jamaah Lain

Salah satu bentuk pelanggaran etika terbesar saat mengambil gambar di Masjidil Haram adalah mengganggu kekhusyukan jamaah lain. Dalam situasi padat dan penuh semangat ibadah, tindakan mengarahkan kamera ke wajah orang, berjalan sambil merekam video, atau berpose di tengah jalur thawaf adalah hal yang sangat mengganggu.

Jamaah yang terganggu bisa kehilangan konsentrasi atau bahkan tersandung jika ada orang yang berhenti mendadak untuk mengambil foto. Oleh karena itu, dokumentasi sebaiknya dilakukan di luar jalur ibadah aktif, seperti di pelataran atau pinggir masjid.

Gunakan waktu yang tidak padat, seperti pagi hari atau waktu antara salat, untuk mengambil gambar pribadi. Dengan cara ini, Anda bisa menghindari kerumunan dan tetap menjaga kenyamanan bersama.

Ingatlah bahwa ibadah haji dan umrah adalah ibadah kolektif. Setiap jamaah memiliki hak untuk beribadah dengan tenang. Maka, dokumentasi pribadi tidak boleh mengorbankan kenyamanan orang lain yang sama-sama sedang bertamu ke rumah Allah.

 

4. Niat di Balik Dokumentasi Ibadah: Dakwah atau Riya?

Niat adalah pusat dari semua amal. Termasuk dalam hal ini adalah niat ketika mengambil gambar atau video ibadah. Apakah niat kita murni untuk mengenang, berbagi inspirasi, atau sekadar mencari validasi dan pujian dari orang lain?

Jika dokumentasi diniatkan untuk dakwah atau edukasi, misalnya membagikan pengalaman haji untuk memotivasi orang lain, maka itu termasuk amal yang dianjurkan—tentu dengan syarat tidak berlebihan dan menjaga etika.

Namun jika tujuannya adalah pamer (riya), memperlihatkan kemewahan hotel, makanan mewah, atau aktivitas di Tanah Suci demi konten media sosial, maka ini harus dihindari. Sebab, niat seperti ini bisa menghapus pahala ibadah dan menjadikan amal sia-sia di sisi Allah.

Untuk menghindari riya, biasakan menyimpan dokumentasi untuk diri sendiri atau keluarga saja. Jika ingin membagikannya di media sosial, lakukan dengan takaran yang wajar, tanpa berlebihan dalam gaya atau narasi yang terkesan membanggakan diri.

 

5. Alternatif Mengabadikan Momen Tanpa Melanggar Etika

Jika Anda ingin tetap menyimpan kenangan tanpa mengganggu ibadah atau melanggar adab, ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah mengambil gambar setelah ibadah selesai, saat area sudah mulai sepi dan tidak lagi digunakan untuk aktivitas utama.

Alternatif lain adalah dengan membuat catatan harian spiritual. Tuliskan pengalaman, perasaan, dan doa-doa khusus yang dipanjatkan selama berada di Masjidil Haram. Tulisan ini akan menjadi kenangan yang jauh lebih dalam dibandingkan sekadar foto.

Mengambil gambar arsitektur dan suasana masjid dari sudut tertentu juga bisa menjadi pilihan. Anda tetap bisa mengenang momen tanpa melibatkan wajah orang lain atau mengganggu jalur ibadah.

Atau gunakan layanan foto profesional yang disediakan oleh otoritas setempat, jika tersedia, sehingga tidak perlu mengambil gambar sendiri secara sembarangan.

Dengan cara ini, Anda bisa tetap membawa pulang kenangan berharga dari Tanah Suci, tanpa harus mengorbankan nilai ibadah atau kenyamanan orang lain.

 

Penutup

Masjidil Haram adalah tempat yang sangat suci dan penuh keberkahan. Setiap tindakan di sana, termasuk mengambil gambar dan video, harus dilakukan dengan penuh kehormatan dan kesadaran spiritual. Dokumentasi memang penting, namun jangan sampai mengurangi nilai ibadah yang utama. Selalu pertimbangkan hukum, adab, kenyamanan jamaah lain, dan niat pribadi sebelum mengabadikan momen. Dengan menjaga etika, Anda bukan hanya mendapat kenangan yang indah, tetapi juga keberkahan dari Allah SWT atas penghormatan Anda terhadap rumah-Nya.