Umrah merupakan ibadah yang penuh keutamaan dan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun di balik kemuliaannya, ada ujian yang tak kalah berat: menjaga hati agar tetap lurus. Salah satu penyakit hati yang sangat halus namun berbahaya adalah riyaa, yaitu melakukan ibadah karena ingin dipuji manusia. Ketika hati mulai condong untuk pamer amal, maka keikhlasan pun tergerus, dan nilai ibadah bisa sirna di hadapan Allah. Oleh karena itu, penting bagi setiap jamaah umrah untuk memahami bahaya riyaa, mengenali tandanya, dan berusaha sekuat mungkin meluruskannya agar ibadah tetap murni karena Allah semata. Artikel ini akan membahas panduan lengkap menjaga hati dari riyaa selama menunaikan umrah.
1. Apa Itu Riyaa dan Mengapa Harus Diwaspadai?
Riyaa berasal dari kata ra’a (melihat), yaitu keinginan untuk dilihat dan dikagumi orang lain dalam hal amal ibadah. Dalam Islam, riyaa termasuk syirik kecil yang sangat berbahaya karena merusak keikhlasan. Rasulullah SAW bersabda:
“Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil: riyaa.” (HR. Ahmad)
Mengapa riyaa begitu berbahaya? Karena ia merusak inti dari ibadah: niat karena Allah. Ibadah tanpa keikhlasan hanya menjadi aktivitas kosong yang tidak memiliki bobot di sisi-Nya. Bahkan amal sebesar gunung bisa berubah tak bernilai jika dilakukan untuk mencari pujian atau pengakuan dari manusia.
Riyaa juga sulit dideteksi karena ia bekerja secara halus di dalam hati. Seseorang mungkin mengira dirinya ikhlas, padahal niatnya sudah bercampur antara ingin beribadah dan ingin dipuji. Keinginan untuk memamerkan status sebagai “orang yang sudah umrah” atau membandingkan amal dengan jamaah lain juga merupakan bentuk riyaa yang tersembunyi.
Karena itulah, penting bagi setiap jamaah untuk mengenali gejala awal riyaa, menjaga niat sejak dari rumah, dan terus melakukan introspeksi selama menjalani ibadah. Perjuangan menjaga hati ini merupakan bagian dari jihad terbesar seorang hamba.
2. Tanda-Tanda Riyaa dalam Perjalanan Ibadah
Meskipun riyaa bersifat batiniah, ada tanda-tanda lahiriah yang bisa menjadi peringatan bagi kita. Salah satunya adalah rasa bangga ketika amal ibadah diketahui orang lain, seperti memposting foto thawaf atau doa di depan Ka’bah hanya untuk mendapat pujian. Media sosial bisa menjadi alat syiar, tapi bisa juga menjadi pintu riyaa jika niat tidak benar-benar lurus.
Tanda lain adalah semangat beribadah yang muncul hanya saat ada orang lain. Misalnya, lebih bersemangat membaca Al-Qur’an ketika dilihat orang, atau bersedekah hanya karena ingin tampak dermawan di depan rombongan. Bila tidak ada orang yang memperhatikan, semangat ibadah pun menurun drastis.
Perasaan ingin menjadi yang paling menonjol di antara jamaah juga termasuk indikasi riyaa. Ketika kita merasa lebih baik karena berdoa lebih lama, menangis lebih khusyuk, atau terlihat lebih religius, maka bisa jadi niat sudah mulai tergelincir. Apalagi jika diiringi keinginan untuk disanjung atau dianggap sebagai panutan.
Salah satu cara mengenali riyaa adalah dengan menilai perubahan hati saat ibadah tidak dilihat orang. Jika kita merasa amal menjadi berat, malas, atau tidak semangat saat tidak ada yang memperhatikan, maka itu tanda bahwa keikhlasan sedang terancam. Jangan abaikan sinyal ini.
3. Menata Hati agar Ibadah Benar-Benar untuk Allah
Menata hati agar ibadah benar-benar hanya untuk Allah memerlukan latihan dan kesadaran yang terus-menerus. Dimulai dari niat sebelum berangkat, tanamkan dalam hati bahwa ibadah umrah adalah bentuk penghambaan kepada Allah, bukan ajang pembuktian atau prestise spiritual.
Sebelum memulai setiap amal, seperti thawaf, sa’i, atau berdoa di Multazam, ulangi niat dalam hati: “Ya Allah, aku lakukan ini hanya karena-Mu, bukan untuk dilihat manusia.” Pengulangan niat bukan sekadar formalitas, tapi cara menjaga orientasi jiwa tetap lurus pada tujuan utama.
Berusaha menyembunyikan amal juga bisa membantu menjaga keikhlasan. Misalnya, hindari terlalu sering memposting aktivitas ibadah di media sosial, atau jika ingin berbagi, niatkan untuk memberi inspirasi, bukan pencitraan. Keikhlasan itu ibarat akar yang tersembunyi, tapi menjadi fondasi kuat dari amal yang berbuah pahala.
Selalu libatkan doa dalam menata hati. Mintalah kepada Allah agar menjaga kita dari niat yang menyimpang. Ketika hati terasa condong kepada pujian, cepatlah istighfar dan minta ampunan. Jangan malu untuk mengakui bahwa hati kita masih lemah, karena justru pengakuan itu adalah langkah awal menuju ikhlas.
4. Cara Meluruskan Niat Saat Timbul Keinginan Pamer
Keinginan pamer bisa muncul kapan saja, bahkan di tengah ibadah. Saat itu terjadi, jangan panik. Yang terpenting adalah segera menyadari dan memperbaikinya. Salah satu cara meluruskan niat adalah dengan menghentikan aktivitas yang menjadi sumber godaan riyaa, lalu merenung sejenak.
Misalnya, ketika timbul keinginan untuk merekam video saat berdoa, hentikan sejenak, tarik napas, dan tanyakan pada diri sendiri: “Untuk siapa sebenarnya aku lakukan ini?” Jika jawabannya bukan karena Allah, segera tinggalkan dan perbaiki orientasi hati.
Bersihkan hati dari keinginan dipuji dengan memperbanyak dzikir dan istighfar. Perbanyak kalimat La ilaha illallah dan Allahumma ajirni minan nifaqi war-riyaa’. Bacaan ini akan menyejukkan hati dan mengingatkan kembali pada tujuan sejati ibadah.
Miliki momen privat dengan Allah yang tidak diketahui siapa pun. Contohnya, menangis dalam doa di malam hari, sedekah diam-diam, atau membaca Al-Qur’an tanpa diumumkan. Amal tersembunyi inilah yang bisa menumbuhkan rasa keikhlasan dalam diri.
5. Doa Memohon Keikhlasan dalam Ibadah Umrah
Doa adalah senjata utama untuk menjaga keikhlasan. Rasulullah SAW sendiri mengajarkan doa yang sangat indah untuk berlindung dari riyaa. Salah satunya:
“Allahumma inni a’udzu bika an usyrika bika wa ana a’lam, wa astaghfiruka lima la a’lam”
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu dengan sesuatu yang aku ketahui, dan aku mohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui.) — HR. Ahmad
Doa ini bisa dibaca setiap selesai shalat, saat thawaf, atau sebelum berdoa di tempat-tempat mustajab. Ulangi dengan penuh harap dan kesadaran, karena hati manusia sangat mudah berbolak-balik.
Selain itu, mintalah agar amal ibadah umrah diterima oleh Allah meskipun kecil, asal ikhlas. Katakan dalam doa:
“Ya Allah, cukupkan aku dengan ridha-Mu, jangan jadikan pujian manusia sebagai tujuanku. Terimalah ibadahku meskipun sedikit, selama ia tulus untuk-Mu semata.”
Berserah diri kepada Allah, dan akui kelemahan hati. Doa yang tulus, apalagi di Tanah Suci, memiliki kekuatan besar untuk menumbuhkan keikhlasan dan menyembuhkan hati dari penyakit riyaa yang merusak.
Kesimpulan
Menjaga hati dari riyaa adalah perjuangan sepanjang ibadah, terutama di Tanah Suci yang penuh ujian dan pujian. Umrah bukan tentang siapa yang paling khusyuk di depan kamera, tetapi siapa yang paling jujur di hadapan Allah. Dengan mengenali tanda-tanda riyaa, menata niat, melatih hati, dan memperbanyak doa, kita bisa menjaga kemurnian ibadah dan meraih ridha-Nya. Keikhlasan adalah inti dari setiap amal, dan Allah hanya menerima ibadah yang benar-benar ditujukan untuk-Nya.