Tanah Suci bukan hanya tempat suci secara fisik, tetapi juga tempat disucikan dari segala dosa dan kekotoran hati, termasuk dosa lisan. Selama menunaikan ibadah haji dan umrah, setiap gerak-gerik dan ucapan seorang muslim berada dalam pengawasan langsung Allah SWT. Menjaga lisan selama di Tanah Suci bukan sekadar anjuran, melainkan syarat untuk meraih kemabruran. Ketika lidah digunakan untuk berkata baik, maka ibadah menjadi semakin bernilai dan hati lebih mudah tersucikan.
1. Pentingnya Menjaga Lisan dalam Ibadah Haji dan Umrah
Menjaga lisan adalah salah satu aspek penting dalam kesempurnaan ibadah haji dan umrah. Allah SWT berfirman, “(Barang siapa yang mengerjakan haji) maka tidak boleh rafats (ucapan kotor), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji…” (QS. Al-Baqarah: 197). Ayat ini menegaskan bahwa lisan yang tidak terjaga dapat mencederai kemuliaan ibadah yang dilakukan.
Di Tanah Suci, setiap kata memiliki bobot yang berat. Lisan yang dibiarkan mengumbar kemarahan, keluhan, atau bahkan sekadar kata-kata tidak berguna dapat mengurangi nilai ibadah di sisi Allah. Karena itu, para ulama mengingatkan pentingnya menahan diri dari berbicara kecuali yang baik dan bermanfaat.
Ibadah haji dan umrah adalah momen penyucian diri secara total, dan lisan adalah bagian yang paling sulit dikendalikan. Namun, justru di situlah letak ujian dan peluang pahala besar. Semakin mampu seseorang menjaga lisannya, semakin tinggi pula tingkat kedewasaan spiritualnya.
Dengan niat yang lurus dan kesadaran penuh, menjaga lisan akan mengantarkan seseorang pada pengalaman ibadah yang khusyuk, tenang, dan penuh makna.
2. Larangan Berkata Kasar, Ghibah, dan Sia-Sia
Di antara larangan terbesar selama beribadah di Tanah Suci adalah berkata kasar, melakukan ghibah (menggunjing), serta mengucapkan hal-hal yang sia-sia. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan jahat, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya (puasa).” (HR. Bukhari). Hadis ini menggambarkan betapa pentingnya kualitas ucapan dalam ibadah apa pun, termasuk haji dan umrah.
Banyak jamaah tergelincir dalam ghibah secara tidak sadar, terutama saat sedang mengantri, mengalami kelelahan, atau merasa tidak nyaman. Situasi seperti ini menuntut kontrol diri dan pengendalian emosi yang kuat. Mengingatkan sesama jamaah dengan cara yang lembut juga menjadi bentuk kepedulian terhadap kesempurnaan ibadah mereka.
Selain ghibah, kata-kata kasar atau mengumpat dalam keadaan marah bisa merusak ketenangan hati. Hal ini tidak sejalan dengan semangat haji dan umrah yang mengajarkan sabar, tawakal, dan tadharru’ (merendahkan diri di hadapan Allah).
Sementara itu, membuang waktu dengan percakapan sia-sia juga merugikan. Lebih baik waktu tersebut digunakan untuk berdzikir, berdoa, atau merenungi ayat-ayat Allah di tengah keagungan Baitullah.
3. Mengganti Ucapan Negatif dengan Zikir dan Doa
Salah satu cara terbaik untuk menjaga lisan adalah mengalihkannya kepada zikir dan doa. Ketika lisan dipenuhi dengan kalimat thayyibah seperti subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar, dan la ilaha illallah, maka peluang tergelincir ke dalam dosa ucapan akan semakin kecil.
Zikir tidak hanya melindungi lisan, tapi juga menenangkan hati dan memperkuat hubungan ruhani dengan Allah. Dalam suasana spiritual seperti di Masjidil Haram atau saat thawaf, dzikir menjadi iringan yang menyatu dengan setiap langkah ibadah.
Selain itu, memperbanyak doa dalam berbagai momen juga sangat dianjurkan. Misalnya saat berjalan menuju masjid, menunggu waktu shalat, atau setelah selesai sa’i. Ucapan yang penuh harapan kepada Allah akan menghidupkan hati dan menumbuhkan keikhlasan dalam ibadah.
Jika merasa emosi atau frustrasi, latihlah diri untuk melafalkan istighfar atau membaca shalawat. Ini bukan hanya meredakan gejolak hati, tapi juga mengubah suasana batin menjadi lebih tenang dan penuh rahmat.
4. Dampak Perkataan Terhadap Kualitas Ibadah
Ucapan yang keluar dari lisan secara langsung mencerminkan isi hati. Lisan yang terjaga akan membentuk jiwa yang tenang dan ibadah yang lebih berkualitas. Sebaliknya, lisan yang dibiarkan bebas mengumbar kata-kata negatif bisa mengeraskan hati dan menghilangkan kekhusyukan dalam ibadah.
Perkataan yang buruk bisa menyebabkan permusuhan, rasa tidak nyaman antarjamaah, bahkan bisa memancing pertengkaran di tengah suasana yang seharusnya sakral. Ini tentu sangat bertentangan dengan esensi ibadah haji dan umrah yang menekankan ukhuwah dan kedamaian.
Ketika seseorang mampu menahan ucapan yang buruk di tengah kelelahan dan keramaian, maka ia telah mencapai satu tingkat kesabaran yang tinggi. Itulah salah satu ciri kemabruran ibadah.
Karena itu, penting untuk senantiasa introspeksi dan menjaga lisan sebagai bagian dari pengawalan ibadah, agar tidak sia-sia di mata Allah meskipun secara fisik telah melewati semua rukun dan wajib haji.
5. Meneladani Lisan Rasulullah SAW dalam Setiap Ucapan
Rasulullah ﷺ adalah teladan sempurna dalam menjaga lisan. Beliau tidak pernah mengucapkan kata yang menyakitkan hati, bahkan kepada musuh sekalipun. Ucapan beliau penuh hikmah, kelembutan, dan mengajak pada kebaikan. Dalam hadis, beliau bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai tamu Allah di Tanah Suci, meneladani lisan Rasulullah adalah bentuk cinta kita kepada beliau. Kita bisa memulai dari membiasakan mengucapkan salam, memperbanyak doa dan shalawat, serta menghindari perdebatan yang tidak perlu.
Rasulullah juga dikenal senantiasa memaafkan dan tidak membalas keburukan dengan keburukan. Dalam konteks ibadah haji dan umrah, teladan ini sangat relevan untuk diterapkan, terutama saat kita menghadapi situasi tidak nyaman dari sesama jamaah.
Dengan meneladani akhlak dan ucapan Rasul, ibadah kita menjadi lebih bermakna, dan semangat dakwah pun terwujud dalam tindakan nyata melalui lisan yang membawa ketenangan dan kasih sayang.
Penutup
Menjaga lisan selama berada di Tanah Suci bukan hanya bagian dari etika, tetapi inti dari penyempurna ibadah haji dan umrah. Dengan menahan diri dari kata-kata buruk, memperbanyak zikir dan doa, serta meneladani ucapan Rasulullah ﷺ, kita membentuk karakter mukmin sejati. Jangan biarkan ibadah yang berat dan mahal ini rusak karena ucapan yang tak terkendali. Gunakan lisan untuk mendekatkan diri pada Allah dan menyebarkan kedamaian selama perjalanan spiritual yang penuh berkah ini.