Umrah dan haji bukan hanya ibadah fisik dan spiritual, melainkan juga momentum besar persaudaraan umat Islam. Di Tanah Suci, perbedaan warna kulit, bahasa, budaya, dan bangsa seolah melebur menjadi satu identitas: hamba Allah. Setiap tahun, jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia bertemu dan beribadah bersama. Momentum ini sangat berharga untuk menumbuhkan rasa ukhuwah islamiyah—persaudaraan sejati yang dibangun di atas iman, kasih sayang, dan saling menghormati. Namun, interaksi lintas budaya bukan tanpa tantangan. Diperlukan kesadaran, etika, dan kebijaksanaan agar perbedaan tak menjadi sumber gesekan, melainkan ladang pahala dan pelajaran.
1. Ibadah yang Menyatukan Umat dari Segala Penjuru
Salah satu keistimewaan ibadah haji dan umrah adalah kemampuannya menyatukan umat dari berbagai bangsa dalam satu ritual yang sama. Di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, kita bisa melihat Muslim dari Asia, Afrika, Timur Tengah, Eropa, bahkan Amerika, semua memakai pakaian serupa, menghadap arah yang sama, dan bertakbir dalam bahasa yang sama: Allahu Akbar.
Pemandangan ini mengajarkan bahwa Islam adalah agama global yang melintasi batas geografis dan etnis. Saat thawaf, sa’i, atau shalat berjamaah, tidak ada pemisahan berdasarkan paspor atau asal negara. Semua bersatu dalam semangat penghambaan kepada Allah.
Persatuan dalam ibadah ini seharusnya menjadi titik tolak untuk membangun interaksi sosial yang harmonis. Jika kita bisa berdampingan di saf yang rapat saat shalat, mengapa kita tidak bisa saling senyum dan membantu di luar ibadah?
2. Adab dan Sikap Terhadap Jamaah Asing
Berinteraksi dengan jamaah dari berbagai negara menuntut kita untuk mengedepankan akhlak mulia. Beberapa di antara mereka tidak memahami bahasa kita, atau memiliki kebiasaan yang berbeda. Dalam situasi seperti ini, penting untuk bersikap sabar, menghargai, dan tidak mudah tersinggung.
Adab dasar seperti mengucapkan salam, tidak mendahului antrean, menundukkan pandangan saat berbicara dengan lawan jenis, dan tidak membentak, sangat penting diterapkan. Bahasa tubuh yang sopan sering kali lebih dimengerti daripada kalimat panjang yang tidak mereka pahami.
Jika kita diminta tolong, tunjukkan kebaikan semampunya. Jika tidak mengerti maksud mereka, cukup beri senyum ramah atau tunjukkan petugas terdekat. Jangan menunjukkan wajah kesal atau menyepelekan mereka hanya karena perbedaan.
3. Belajar Toleransi dan Kesabaran Antarbudaya
Setiap bangsa membawa karakter dan budaya yang berbeda. Ada yang berbicara keras, ada yang lebih diam. Ada yang mengantri rapi, ada pula yang terkesan “mendahului”. Perbedaan ini sering kali memicu kesalahpahaman kecil di antara jamaah.
Namun justru di sinilah kesempatan kita untuk belajar sabar dan toleran. Jangan terburu-buru menilai seseorang buruk hanya karena perilakunya berbeda dari kebiasaan kita. Ingat, tidak semua yang berbeda itu salah—mungkin hanya karena latar belakang yang tidak kita pahami.
Tanah Suci adalah tempat pendidikan akhlak terbaik. Jika kita mampu bersabar dalam kerumunan, memaafkan kekhilafan orang lain, dan tidak memperbesar hal sepele, maka kita telah berhasil menjadikan perjalanan ini sebagai latihan jiwa.
4. Menyebarkan Salam dan Senyum sebagai Ibadah
Salah satu ibadah ringan namun besar pahalanya adalah menyebarkan salam dan senyum. Dalam suasana padat dan melelahkan seperti di Tanah Suci, sering kali orang lupa untuk tersenyum. Padahal, senyum adalah sedekah yang tidak membutuhkan biaya.
Ucapkan “Assalamu’alaikum” kepada jamaah lain meski mereka tidak membalasnya. Beri senyuman kepada orang tua yang kelelahan atau ibu-ibu yang menggendong anaknya. Jangan remehkan kekuatan kebaikan kecil—ia bisa menjadi pembuka hati dan penenang suasana.
Dalam kerumunan besar, salam dan senyum adalah cara halus untuk menyebarkan cinta dan kedamaian. Mereka yang merasakannya mungkin akan melakukan hal serupa kepada orang lain. Itulah rantai kebaikan yang terus tumbuh.
5. Menjadikan Perbedaan Sebagai Rahmat
Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa agar saling mengenal, bukan saling membenci (QS. Al-Hujurat: 13). Maka, perbedaan yang kita lihat di Tanah Suci—dari logat bahasa hingga gaya berpakaian—adalah bagian dari kebesaran ciptaan Allah.
Saat kita melihat Muslim dari Afrika yang shalat dengan semangat, atau jamaah dari Asia Tengah yang khusyuk menangis saat berdoa, kita belajar banyak hal tentang cara orang lain mencintai Allah. Itu memperluas pandangan kita tentang keindahan ibadah.
Alih-alih menjadikan perbedaan sebagai sumber konflik, mari melihatnya sebagai peluang untuk saling belajar dan memperkaya iman. Umrah adalah laboratorium ukhuwah—tempat di mana kita dilatih untuk mencintai saudara seiman tanpa syarat etnis atau kebangsaan.
Penutup
Berinteraksi dengan jamaah dari berbagai negara di Tanah Suci bukan sekadar tantangan logistik, tapi juga ujian akhlak dan ladang pahala. Di situlah ukhuwah islamiyah diuji dan dibuktikan. Dengan menjaga adab, bersikap ramah, dan menghargai perbedaan, kita telah menjalankan salah satu misi penting dari ibadah: menjadi pribadi yang lebih baik dalam hubungan dengan sesama.
Semoga umrah kita tidak hanya meninggalkan kesan spiritual, tapi juga mempererat rasa persaudaraan dalam tubuh umat Islam yang luas. Karena sesungguhnya, umat ini satu tubuh—sakit satu bagian, seluruhnya merasakan.