Perkembangan teknologi kamera ponsel dan media sosial membuat aktivitas dokumentasi menjadi hal yang nyaris tak terpisahkan dalam setiap perjalanan, termasuk saat ibadah umrah dan haji. Banyak jamaah yang terdorong untuk mengabadikan momen spiritual di Tanah Suci sebagai kenang-kenangan atau untuk dibagikan ke media sosial. Namun, di balik itu, ada adab dan etika yang perlu diperhatikan agar aktivitas dokumentasi tidak mengurangi kekhusyukan ibadah dan tidak menyimpang dari nilai-nilai kesopanan serta syariat. Artikel ini mengulas secara mendalam bagaimana etika mengambil gambar dan video di Tanah Suci agar tetap berpahala dan tidak menjadi sebab turunnya nilai ibadah seseorang.
Larangan dan Batasan dalam Dokumentasi Ibadah
Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan sejumlah batasan dalam hal pengambilan foto dan video, terutama di area-area tertentu seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Raudhah, dan makam Rasulullah ﷺ. Di tempat-tempat ini, pengambilan gambar secara terang-terangan atau menggunakan alat profesional tanpa izin dapat dianggap sebagai pelanggaran. Bahkan, petugas keamanan tidak segan untuk menegur jamaah yang merekam ibadah dengan mengganggu ketertiban atau membuat kerumunan.
Larangan ini bukan tanpa alasan. Tujuannya adalah menjaga kesucian tempat ibadah serta melindungi hak jamaah lain yang ingin beribadah dengan tenang. Banyak orang yang merasa terganggu saat sedang khusyuk berdoa, lalu tiba-tiba ada kamera yang diarahkan ke arah mereka, bahkan tanpa izin.
Selain larangan dari pihak otoritas, Islam sendiri memberikan batasan dalam hal mengekspresikan ibadah secara berlebihan di depan umum. Dokumentasi yang melibatkan adegan menangis, berdoa panjang sambil direkam, atau bergaya dramatis di depan Ka’bah rentan menimbulkan riyaa (pamer ibadah), yang sangat dilarang dalam Islam.
Maka, sebelum mengambil gambar atau video, penting bagi setiap jamaah untuk memastikan bahwa tindakannya tidak melanggar peraturan, tidak mengganggu orang lain, dan tidak menjadi sebab hilangnya kekhusyukan ibadah.
Menjaga Khusyuk dan Menghindari Riyaa
Ibadah di Tanah Suci adalah kesempatan langka dan mulia yang seharusnya dijalani dengan penuh kekhusyukan dan keikhlasan. Mengambil gambar atau video saat sedang berdoa, tawaf, atau sujud dengan maksud untuk menunjukkan kesalehan di media sosial berisiko besar merusak niat yang murni. Allah tidak menilai ibadah dari tampilan luarnya, melainkan dari keikhlasan hati dan ketundukan jiwa.
Riyaa—beribadah agar dilihat orang lain—adalah penyakit hati yang sangat halus dan sulit disadari. Seseorang mungkin menganggap dokumentasinya sebagai kenang-kenangan pribadi, tetapi jika dalam hatinya ada dorongan untuk mendapatkan pujian atau pengakuan, maka nilai ibadah tersebut bisa rusak.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riyaa.” (HR. Ahmad). Riyaa bisa datang dalam bentuk ingin dilihat khusyuk, ingin dianggap taat, atau ingin eksis di media sosial.
Untuk menjaga kekhusyukan, jamaah sebaiknya menahan diri dari aktivitas foto-foto selama ibadah utama berlangsung. Fokuskan diri pada hubungan dengan Allah, bukan pada bagaimana tampilan ibadah kita di depan kamera. Setelah selesai ibadah, barulah jika memang perlu, dokumentasi bisa dilakukan secara singkat dan sederhana.
Etika Memotret Tanpa Mengganggu Jamaah Lain
Jika tetap ingin mengabadikan momen tertentu di Tanah Suci, ada beberapa etika penting yang harus dijaga. Pertama, hindari mengambil gambar di area yang sedang digunakan untuk ibadah berjamaah atau di tengah kerumunan yang padat. Jangan berdiri atau berhenti mendadak hanya untuk mengambil foto karena bisa menyebabkan gangguan dan kemacetan jamaah lain.
Kedua, jangan pernah mengambil foto orang lain tanpa izin, apalagi ketika mereka sedang beribadah. Hal ini bukan hanya melanggar etika, tetapi juga melanggar hak privasi. Beberapa jamaah merasa tidak nyaman jika wajah mereka muncul di unggahan orang asing di media sosial.
Ketiga, gunakan perangkat dengan mode senyap dan matikan lampu flash. Penggunaan flash di dalam masjid atau di malam hari dapat mengganggu kenyamanan orang-orang yang sedang shalat atau membaca Al-Qur’an.
Keempat, jika ingin mengambil gambar bersama rombongan sebagai kenang-kenangan, lakukan setelah shalat atau ibadah selesai dan cari lokasi yang tidak mengganggu arus jamaah lain, seperti di halaman luar masjid atau di area hotel.
Dokumentasi sebaiknya dilakukan dengan niat positif dan tetap dalam koridor sopan santun, bukan untuk gaya hidup atau pamer kekhusyukan.
Fokus pada Ibadah, Bukan Eksistensi Diri
Media sosial sering kali menjadi dorongan kuat bagi sebagian jamaah untuk memamerkan momen-momen mereka di Tanah Suci. Namun, jika perhatian lebih banyak tercurah pada pengambilan gambar daripada kekhusyukan ibadah, maka kita perlu bertanya kembali: untuk siapa sebenarnya ibadah ini dilakukan?
Fokus utama umrah dan haji adalah ibadah, bukan pencitraan. Tujuan utama datang ke Makkah dan Madinah adalah memenuhi panggilan Allah, bukan memenuhi ekspektasi pengikut di media sosial. Bahkan jika dokumentasi dilakukan dengan tujuan dakwah, harus tetap dibatasi dan dilakukan dengan adab yang tinggi.
Salah satu tanda keikhlasan adalah saat kita bisa menikmati ibadah dengan tenang, tanpa merasa perlu membagikannya kepada siapa pun. Biarlah hubungan antara kita dan Allah menjadi sesuatu yang personal dan sakral, bukan konsumsi publik.
Apalagi Tanah Suci bukan tempat wisata biasa. Setiap langkah yang kita ambil di sana dicatat oleh malaikat, dan setiap perbuatan memiliki nilai ibadah jika dilakukan dengan benar. Maka sayang sekali jika kesempatan luar biasa ini justru dikotori oleh niat ingin tampil.
Niatkan Dokumentasi untuk Edukasi, Bukan Pamer
Jika seseorang ingin mengabadikan momen umrah atau hajinya untuk tujuan edukatif, seperti berbagi pengalaman, memberi tips kepada calon jamaah, atau memotivasi orang lain untuk beribadah, maka hal itu diperbolehkan selama niatnya tetap bersih dan caranya beradab.
Konten edukatif sebaiknya tidak menampilkan adegan-adegan ibadah yang sangat pribadi atau berlebihan dalam narasi emosional. Cukup bagikan informasi yang relevan seperti prosedur masuk masjid, tips menghindari kerumunan, atau jadwal terbaik untuk tawaf.
Jika konten tersebut disusun dengan penuh tanggung jawab, tidak menampilkan wajah orang lain tanpa izin, dan tidak menyelipkan unsur pamer, maka hal ini bisa menjadi amal jariyah. Banyak calon jamaah yang merasa terbantu dengan informasi visual dari mereka yang sudah lebih dahulu berangkat ke Tanah Suci.
Namun, jangan lupa untuk tetap berdoa agar dokumentasi yang kita buat tidak menjadi sebab timbulnya riyaa atau ujub di dalam hati. Sematkan niat lillahi ta’ala dalam setiap rekaman, dan biarkan hasilnya menjadi manfaat, bukan kebanggaan.
Penutup
Mengambil gambar dan video di Tanah Suci bukanlah hal yang sepenuhnya dilarang, namun harus dilakukan dengan etika, adab, dan niat yang benar. Hindari dokumentasi berlebihan yang mengganggu kekhusyukan ibadah dan jamaah lain. Jangan sampai aktivitas yang tampaknya sederhana justru mengurangi nilai spiritual dari perjalanan suci ini. Jadikan setiap langkah dan detik di Tanah Haram sebagai ladang ibadah yang murni, penuh keikhlasan, dan jauh dari pencitraan. Karena hakikatnya, Allah-lah yang menjadi tujuan utama dalam setiap ibadah kita.