Umrah adalah ibadah yang mulia dan penuh keutamaan. Setiap langkahnya, mulai dari ihram hingga tahallul, mengandung nilai spiritual yang dalam. Namun, penting untuk dipahami bahwa tidak semua orang yang menunaikan umrah otomatis mendapatkan pahala yang utuh. Ada perilaku-perilaku tertentu yang, walau tampak sepele, dapat mengurangi bahkan membatalkan pahala umrah. Oleh karena itu, menjaga ibadah ini tetap bersih dari hal-hal yang merusak adalah tanggung jawab setiap Muslim. Artikel ini akan membahas secara rinci sikap-sikap yang dapat membatalkan pahala umrah, serta bagaimana cara menjaganya agar tetap bernilai tinggi di sisi Allah SWT.
Perilaku yang Membatalkan atau Mengurangi Pahala Umrah
Tidak semua pelanggaran saat umrah membatalkan ibadah secara syariat, namun banyak yang bisa menghapus atau mengurangi pahala yang seharusnya diperoleh. Perilaku seperti marah, mencaci, menyakiti sesama jamaah, berbicara sia-sia, hingga menjelekkan orang lain adalah contoh nyata dari perbuatan yang bisa mengurangi nilai ibadah. Allah tidak hanya melihat bentuk ibadah kita, tetapi juga sikap dan niat selama menjalaninya.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan haji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat kefasikan, maka ia kembali seperti bayi yang baru lahir.” (HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun hadis ini merujuk pada haji, maknanya juga berlaku untuk umrah. Kesucian lisan dan perilaku menjadi syarat mutlak agar pahala ibadah tidak tergerus.
Hal lain yang sering terjadi adalah tergesa-gesa dalam menjalankan manasik, tidak menjaga kekhusyukan, atau menjadikan ibadah sebagai rutinitas fisik tanpa hadirnya hati. Ini membuat umrah menjadi sekadar “formalitas” yang kehilangan nilai spiritualnya. Oleh sebab itu, menjaga kehadiran hati dalam setiap tahapan umrah adalah bagian dari menjaga pahalanya.
Jamaah juga harus berhati-hati dengan sikap menzhalimi orang lain. Menyerobot antrean thawaf, mendorong orang tua, atau memaksakan diri masuk ke Raudhah atau Hijir Ismail tanpa adab adalah perilaku yang bisa membatalkan pahala, meskipun tidak membatalkan ibadah itu secara fiqih. Islam sangat menekankan akhlak dan tata krama dalam setiap amal saleh.
Menghindari Niat Duniawi dan Riyaa
Niat merupakan kunci utama diterimanya setiap ibadah. Jika niat sudah ternodai oleh kepentingan duniawi seperti ingin dilihat, dipuji, atau diakui oleh orang lain, maka nilai ibadah bisa rusak. Termasuk dalam umrah, sebagian orang tergoda untuk memperlihatkan momen ibadah di media sosial dengan tujuan pencitraan, bukan untuk syiar. Inilah yang disebut dengan riyaa, dan riyaa termasuk syirik kecil yang sangat berbahaya.
Allah SWT berfirman dalam hadis Qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa beramal dengan niat untuk-Ku dan selain-Ku, maka Aku tinggalkan ia dan sekutunya.” (HR. Muslim). Ini menjadi peringatan keras bahwa ibadah yang diniatkan untuk dunia tidak akan diterima oleh Allah.
Riyaa tidak hanya muncul dalam bentuk foto atau video, tapi juga bisa dalam ucapan: seperti menceritakan panjang lebar ibadah umrah kepada orang lain agar dikagumi. Padahal, amal yang tersembunyi lebih dicintai Allah. Ketika seseorang mampu menyembunyikan amalnya, ia telah menjaga keikhlasannya dan itu adalah bentuk kemuliaan iman.
Menghindari riyaa memerlukan latihan jiwa. Seorang Muslim harus sering bermuhasabah dan memperbaiki niat setiap kali ingin beramal. Jadikan umrah sebagai kesempatan untuk menyendiri bersama Allah, memperbanyak doa, zikir, dan menyadari bahwa perjalanan ini adalah momen suci untuk membersihkan diri, bukan untuk konsumsi publik.
Menjaga Perkataan dan Pandangan
Lisan dan pandangan merupakan dua anggota tubuh yang harus dijaga selama ibadah umrah. Banyak jamaah yang lalai dalam hal ini, padahal keduanya bisa menjadi pintu dosa yang besar. Menggunjing, berdebat keras, mencela petugas, atau mengomentari jamaah lain adalah contoh kebiasaan buruk yang sangat mudah dilakukan, namun dapat merusak pahala ibadah.
Begitu pula dengan pandangan. Dalam kondisi ramai seperti di Masjidil Haram atau saat thawaf, menjaga pandangan dari hal yang haram menjadi tantangan besar. Namun di sinilah ujian itu hadir. Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30). Ini menunjukkan pentingnya pengendalian diri, bahkan dalam ibadah yang terbuka seperti umrah.
Perkataan yang baik dan pandangan yang terjaga akan membantu menjaga suasana hati tetap tenang dan khusyuk. Ucapan yang mengandung doa, zikir, atau kata-kata penyemangat kepada sesama jamaah justru akan menguatkan nilai ibadah. Bahkan senyum dan ucapan salam pun termasuk amal saleh.
Sebaliknya, satu ucapan buruk bisa memicu emosi dan menyebabkan ibadah kehilangan ruhnya. Oleh karena itu, para jamaah harus menyadari bahwa menjaga lisan dan pandangan adalah bagian penting dari menjaga kesucian dan keberkahan umrah.
Kesabaran terhadap Ujian selama Perjalanan
Perjalanan umrah tidak selalu mudah. Rasa lelah, perubahan cuaca, antrean panjang, bahkan insiden kecil seperti kehilangan barang atau kesalahpahaman dengan sesama jamaah bisa menjadi ujian. Namun, di situlah letak nilai ibadahnya. Allah menguji kesabaran hamba-Nya agar ia bisa meraih derajat yang lebih tinggi di sisi-Nya.
Sabar tidak berarti pasif atau menyerah, melainkan kemampuan menahan diri dari keluhan, kemarahan, dan tindakan buruk saat menghadapi kesulitan. Dalam konteks umrah, sabar berarti menerima kondisi apa adanya dan tetap menjaga ibadah dengan ikhlas serta penuh rasa syukur.
Banyak orang kehilangan pahala besar karena tidak bisa menahan emosinya saat menghadapi keterlambatan, fasilitas yang kurang nyaman, atau kesalahan pihak travel. Padahal, semua itu adalah bagian dari ujian. Orang yang sabar akan mendapatkan pahala bukan hanya dari umrah itu sendiri, tetapi juga dari setiap detik perjuangannya menahan diri.
Sabar juga diperlukan saat menghadapi keramaian dan sempitnya tempat ibadah. Jika tidak bisa masuk ke tempat yang diinginkan, atau harus menunggu lama, tetaplah bersabar. Allah Maha Melihat perjuangan dan niat hamba-Nya. Ibadah bukan soal lokasi fisik, tetapi soal hati yang tetap lurus dalam menyembah-Nya.
Memperbaiki Kesalahan dengan Tobat dan Istighfar
Manusia bukan makhluk sempurna. Dalam ibadah pun, kesalahan dan kelalaian sangat mungkin terjadi. Namun Islam memberikan jalan untuk memperbaiki semuanya: yaitu dengan tobat dan istighfar. Bahkan Rasulullah SAW, yang maksum dari dosa, tetap beristighfar lebih dari 70 kali dalam sehari.
Selama menjalankan umrah, sangat penting untuk memperbanyak istighfar, terutama saat menyadari kesalahan yang dilakukan—baik yang disadari maupun tidak. Istighfar adalah bentuk pengakuan diri yang rendah hati kepada Allah, bahwa kita tidak sempurna dan butuh ampunan-Nya. Ini akan menjaga kesucian pahala dan memperbaiki kekurangan dalam ibadah.
Tobat juga harus disertai tekad untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Seorang Muslim sejati akan belajar dari kekeliruannya, dan menjadikan setiap kekeliruan sebagai jalan menuju perbaikan diri. Saat tobat dilakukan dengan ikhlas, maka Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima.
Maka, jangan biarkan ibadah yang telah melelahkan fisik dan memakan biaya besar itu menjadi sia-sia karena kelalaian yang tidak diperbaiki. Jadikan istighfar sebagai penutup setiap tahapan ibadah umrah agar semua kekurangan terhapus, dan pahala tetap terjaga utuh.
Kesimpulan
Menjaga pahala umrah bukan hanya soal mengikuti rukun dan syarat secara teknis, tetapi juga menjaga hati, niat, dan perilaku selama menjalaninya. Menjauhi riyaa, mengendalikan lisan dan pandangan, bersabar terhadap ujian, serta memperbanyak istighfar adalah cara-cara agar ibadah ini tetap murni dan diterima oleh Allah SWT. Umrah bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan ruhani yang akan mengubah hidup seorang Muslim jika dijalankan dengan kesadaran penuh dan niat yang tulus. Maka, jangan sia-siakan kesempatan berharga ini hanya karena kelalaian yang bisa dihindari.