Tanah Haram, baik di Makkah maupun Madinah, adalah tempat yang sangat mulia dan diberkahi. Setiap amalan baik dilipatgandakan pahalanya, dan sebaliknya, dosa pun menjadi lebih besar nilainya dibandingkan di tempat lain. Oleh karena itu, selain menjaga gerakan dan ritual ibadah, menjaga lisan dan sikap juga menjadi bagian penting yang tidak boleh diabaikan oleh setiap jamaah. Ibadah umrah dan haji bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan hati dan akhlak. Dalam kesibukan ibadah dan kepadatan jamaah, justru di situlah ujian terbesar bagi lisan dan emosi. Artikel ini akan mengulas bagaimana menjaga kata-kata, emosi, dan sikap selama di Tanah Suci agar ibadah kita tetap suci dan bernilai di sisi Allah SWT.

 

Larangan Berkata Kasar atau Menyakiti

Allah SWT memuliakan Tanah Haram dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah utama umat Islam. Karena kemuliaannya, segala bentuk perbuatan buruk—termasuk berkata kasar atau menyakiti orang lain—sangat dilarang dan mengundang dosa besar. Banyak jamaah yang lalai, menganggap perkataan sekadar emosi sesaat, padahal satu ucapan yang melukai bisa membatalkan pahala ibadah yang telah susah payah dilaksanakan.

Kondisi padat, cuaca panas, serta tekanan fisik sering kali membuat orang terpancing emosi. Tak jarang terdengar kata-kata yang kasar, celaan, bahkan umpatan terhadap sesama jamaah karena masalah kecil, seperti tersenggol atau antrean panjang. Hal seperti ini seharusnya dihindari dengan sungguh-sungguh.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka jelas, menjaga lisan adalah bagian dari kesempurnaan iman dan integritas sebagai seorang Muslim, apalagi di tempat sesuci Makkah dan Madinah.

Jangan sampai perjalanan ibadah yang begitu mulia ternoda oleh kata-kata yang menyakitkan. Perhatikan betul adab berbicara, termasuk nada suara, pilihan kata, serta ekspresi wajah. Ingat, lisan yang tajam bisa lebih menyakitkan daripada pukulan.

 

Kekuatan Doa dan Ucapan Baik di Tanah Suci

Jika ucapan buruk sangat dilarang, maka ucapan baik sangat dianjurkan dan bahkan memiliki kekuatan luar biasa di Tanah Suci. Doa, dzikir, istighfar, serta kalimat penuh kebaikan akan menjadi cahaya yang menyertai perjalanan ibadah kita. Di tempat yang mustajab, seperti Multazam, Hijir Ismail, dan Raudhah, setiap lisan memiliki peluang besar untuk diijabah oleh Allah SWT.

Mengucap kebaikan bukan hanya terbatas pada doa, tapi juga berupa salam kepada sesama jamaah, ucapan maaf, terima kasih, serta memberi semangat kepada yang kelelahan. Perkataan yang baik bisa menjadi sebab datangnya keberkahan dan kebahagiaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Bahkan, menyapa petugas dengan senyuman dan sapaan sopan bisa menjadi amal kebaikan yang ringan namun penuh makna. Jangan pernah meremehkan kebaikan kecil, karena bisa jadi itulah yang membuat Allah ridha kepada kita.

Gunakan lisan untuk berdzikir: “Subhanallah”, “Alhamdulillah”, “Allahu Akbar”, dan “La ilaha illallah.” Ucapan ini bukan hanya mendatangkan pahala, tapi juga menenangkan hati dan mengingatkan kita akan kehadiran Allah dalam setiap langkah.

 

Menahan Emosi di Tengah Ujian Kesabaran

Ibadah di Tanah Suci sering kali menjadi ujian mental dan emosi. Kepadatan jamaah, kondisi tubuh yang lelah, perbedaan budaya, serta cuaca ekstrem bisa memicu rasa tidak sabar dan amarah. Namun justru di sinilah nilai ibadah sejati diuji—bukan hanya seberapa banyak kita thawaf, tapi seberapa baik kita menjaga diri dari emosi negatif.

Menahan amarah adalah ibadah tersendiri. Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang jago bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu mengendalikan diri saat marah” (HR. Bukhari dan Muslim). Marah di Tanah Haram bukan hanya menyakitkan orang lain, tetapi juga mencoreng kesucian tempat dan waktu yang penuh berkah.

Salah satu cara terbaik untuk menahan emosi adalah dengan memperbanyak istighfar dan mengingat bahwa kita sedang berada di tempat yang sangat dekat dengan rahmat Allah. Ingat pula bahwa orang yang menyakiti kita tidak akan merugikan kita di sisi Allah jika kita bersabar dan menyerahkan semuanya kepada-Nya.

Jika emosi mulai memuncak, lebih baik diam dan menjauh sejenak. Duduk di sudut masjid, minum air zamzam, atau berdzikir pelan bisa membantu menenangkan diri. Menahan emosi di Tanah Haram bukan kelemahan, tapi kemenangan spiritual.

 

Pahala Menjaga Lisan di Tempat Mulia

Setiap amal ibadah yang dilakukan di Tanah Haram memiliki pahala yang berlipat ganda. Maka menjaga lisan di sana pun bukan hanya kewajiban moral, tapi juga ladang pahala yang luar biasa. Kata-kata yang kita tahan agar tidak menyakiti orang lain bisa menjadi sebab diampuninya dosa-dosa kita yang lalu.

Bahkan diam saat bisa membalas adalah bentuk akhlak mulia yang sangat tinggi nilainya. Sering kali, lebih baik diam daripada berbicara yang sia-sia atau melukai. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Setiap kata yang diucapkan akan dicatat oleh malaikat. Maka bayangkan jika selama berada di Tanah Suci kita berhasil menjaga lisan dari ghibah, menghindari debat kusir, dan memperbanyak dzikir—betapa besar pahala yang akan terkumpul.

Maka jangan sia-siakan kesempatan ini. Jadikan setiap kata yang keluar dari mulut kita sebagai bentuk ibadah dan doa. Tahan lisan dari keluhan, dan ganti dengan ucapan syukur atas setiap nikmat yang telah diberikan Allah selama perjalanan ini.

 

Rasulullah SAW Sebagai Teladan dalam Bertutur

Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam menjaga lisan dan sikap. Beliau tidak pernah berkata kasar, tidak pernah mencela, dan tidak pernah membalas kejahatan dengan keburukan. Bahkan terhadap orang yang menyakitinya, Rasulullah tetap menjawab dengan kelembutan dan doa.

Dalam suasana padat dan beratnya medan dakwah, Nabi ﷺ tetap mampu menjaga tutur kata yang sopan, jujur, dan penuh kasih sayang. Beliau mencontohkan bahwa kekuatan bukan pada volume suara, tapi pada keteguhan hati dalam mengendalikan diri.

Saat kita menapaki jejak Rasul di Tanah Haram, hendaknya kita berusaha meneladani akhlaknya, terutama dalam bertutur. Pilihlah kata-kata yang lembut, hindari debat yang tak perlu, dan selalu jadikan ucapan sebagai cermin kebaikan hati.

Meneladani Nabi berarti menanamkan akhlaknya dalam setiap interaksi kita, baik kepada sesama jamaah, petugas, maupun orang asing. Jika semua jamaah menerapkan akhlak ini, maka suasana ibadah di Tanah Suci akan menjadi lebih damai dan penuh keberkahan.

 

Penutup

Menjaga lisan dan sikap di Tanah Haram adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesempurnaan ibadah. Jangan biarkan ibadah yang telah kita perjuangkan ternoda oleh ucapan buruk atau emosi yang tidak terkendali. Gunakan kesempatan berada di tempat paling suci ini untuk memperbaiki akhlak, memperindah lisan, dan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ. Karena bisa jadi, bukan banyaknya amal fisik yang membuat ibadah kita diterima, tetapi akhlak baik dan lisan yang terjaga di hadapan Allah SWT.