Umrah merupakan ibadah fisik dan spiritual yang intens. Dalam beberapa hari, jamaah dituntut menjalani aktivitas padat: thawaf, sa’i, ziarah, ibadah malam, dan berbagai amalan sunah. Kondisi ini kerap menimbulkan kelelahan fisik dan mental, apalagi jika tidak dikelola dengan baik. Dalam berbagai kesempatan, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyampaikan tips praktis agar jamaah tidak kelelahan dan tetap menikmati momen umrah secara optimal. Artikel ini menyajikan panduan dari UAH agar ibadah berjalan maksimal tanpa mengorbankan kesehatan dan ketenangan hati.’

 

Pola Ibadah Intens dan Tantangan Kelelahan Jamaah

Bagi sebagian jamaah, umrah pertama menjadi momen yang begitu menggembirakan hingga mereka ingin beribadah sebanyak-banyaknya tanpa henti. Dari salat fardhu di Masjidil Haram, qiyamul lail, zikir harian, hingga ziarah ke tempat bersejarah—semuanya dijalani dengan penuh semangat. Namun tanpa disadari, tubuh dan pikiran bisa mencapai titik lelah.

UAH sering menyampaikan bahwa semangat beribadah harus disertai manajemen energi. Banyak jamaah yang terlalu memforsir diri di awal, namun kelelahan dan jatuh sakit di tengah atau akhir perjalanan. Hal ini justru membuat ibadah tidak optimal dan berpotensi kehilangan momen penting di Tanah Suci.

Tantangan ini umum terjadi, terutama pada jamaah lansia, ibu-ibu, atau mereka yang sebelumnya belum terbiasa dengan aktivitas fisik berat. Cuaca panas, perubahan waktu, dan antrian panjang juga turut menyumbang tekanan mental dan fisik.

Dengan memahami tantangan ini, jamaah bisa menyusun strategi agar semangat tetap tinggi tanpa membahayakan kesehatan. Sebab dalam Islam, menjaga tubuh adalah bagian dari ibadah itu sendiri.

 

Cara Mengatur Waktu Ibadah agar Tetap Kuat dan Fokus

Salah satu kunci utama dari UAH adalah mengatur waktu ibadah dengan cerdas, bukan sekadar banyak tapi berkualitas. Beliau menyarankan agar jamaah fokus pada salat wajib di masjid, lalu meluangkan waktu istirahat di sela-sela aktivitas.

Alih-alih mengejar ibadah sunah secara berlebihan di awal, lebih baik menyusun ritme yang stabil. Misalnya, cukup lakukan salat sunah di hotel jika tubuh mulai letih, atau pilih waktu yang sepi untuk thawaf agar tidak berdesakan dan kelelahan.

UAH juga mengingatkan bahwa niat dan kekhusyukan lebih utama daripada kuantitas. Seorang jamaah yang salat dua rakaat penuh penghayatan, jauh lebih kuat nilainya daripada sepuluh rakaat tanpa fokus karena tubuh lelah.

Dengan mengatur waktu, menghindari jam-jam padat, dan menyesuaikan ibadah dengan kondisi tubuh, jamaah akan lebih mampu menjaga stamina dan menikmati setiap amalan dengan lebih khusyuk.

 

Tips Istirahat, Pola Makan, dan Hidrasi Selama di Tanah Suci

UAH menekankan pentingnya pola makan dan hidrasi sebagai bagian dari ibadah itu sendiri. Beliau menganjurkan agar jamaah makan secukupnya, tidak berlebihan, namun bergizi. Hindari makanan yang terlalu berat menjelang ibadah agar tubuh tidak cepat lemas atau mengantuk.

Minum air putih secara berkala juga sangat dianjurkan. Cuaca panas di Makkah dan Madinah bisa menyebabkan dehidrasi tanpa disadari. UAH menyarankan agar jamaah membawa botol kecil dan mengisi ulang setiap keluar hotel atau dari masjid.

Untuk istirahat, beliau berpesan agar jamaah tidak memaksakan diri untuk terus beraktivitas. “Tidur sebentar dengan niat menjaga tenaga untuk ibadah itu berpahala,” ujar beliau. Power nap 20–30 menit bisa menjadi penyegar yang sangat membantu.

Dengan menjaga pola makan, minum, dan istirahat, jamaah akan lebih siap menjalani ibadah tanpa keluhan kesehatan yang mengganggu. Ini juga menjadi contoh nyata bahwa ibadah yang baik adalah yang seimbang antara ruhani dan jasmani.

 

Pentingnya Manajemen Emosi dan Pikiran Selama Perjalanan

Selain fisik, kelelahan mental juga sering terjadi. Jadwal padat, antrian panjang, atau perbedaan karakter sesama jamaah bisa memicu stres atau emosi. UAH mengingatkan pentingnya menjaga pikiran tetap positif dan hati tetap tenang.

Beliau menganjurkan membaca zikir-zikir pendek, istighfar, atau shalawat saat menunggu atau berjalan. Hal ini akan menjaga fokus hati kepada Allah dan menenangkan pikiran.

UAH juga mengatakan bahwa sikap menerima—ridha—atas kondisi yang tidak sesuai harapan adalah bagian dari ibadah. Misalnya, jika cuaca panas atau hotel jauh, maka itu adalah ladang sabar yang akan dibalas pahala.

Dengan manajemen emosi yang baik, jamaah tidak hanya menjaga diri sendiri, tapi juga menciptakan suasana rombongan yang damai dan saling mendukung. Umrah menjadi lebih ringan jika dijalani dengan jiwa yang lapang.

 

UAH: “Berhenti Sebentar Bukan Berarti Lemah”

Salah satu pesan penting UAH kepada jamaah adalah:

“Berhenti sebentar bukan berarti lemah. Itu berarti tahu kapan harus kuat dan kapan harus menyimpan tenaga.”

Beliau mencontohkan bahwa Rasulullah ﷺ pun beristirahat dalam perjalanan dakwahnya. Bahkan para sahabat tidak terus-menerus berperang atau beribadah ekstrem. Islam mengajarkan tawazun (keseimbangan), termasuk dalam safar dan ibadah.

UAH mengajak jamaah untuk tidak merasa bersalah saat harus beristirahat. Justru istirahat yang benar bisa menjadi bekal untuk ibadah yang lebih khusyuk dan maksimal di waktu berikutnya.

Pesan ini penting terutama bagi jamaah yang merasa “bersalah” karena tidak terus berada di masjid. Padahal, menjaga stamina dan niat tetap lurus adalah bagian dari strategi ibadah yang cerdas dan berpahala.

 

Pesan untuk Jamaah Lansia dan Keluarga yang Mendampingi

Untuk para jamaah lansia, UAH memberikan nasihat khusus: jangan memaksakan diri. Cukup lakukan ibadah sesuai kemampuan, dan jangan merasa rendah diri jika harus menggunakan kursi roda atau alat bantu lainnya. “Allah menilai keikhlasan, bukan kecepatan langkahmu,” tegas beliau.

Kepada keluarga yang mendampingi, UAH berpesan agar memberikan perhatian dan kesabaran ekstra. Mendampingi orang tua umrah bukan beban, melainkan kehormatan. Kesempatan ini bisa menjadi jalan birrul walidain dan pahala luar biasa.

Beliau juga menyarankan agar seluruh rombongan membentuk ekosistem yang suportif: saling bantu, saling kuatkan, dan tidak meninggalkan satu pun jamaah yang kesulitan.

Dengan begitu, umrah bukan hanya menjadi ibadah individu, tetapi pengalaman kolektif yang mendalam secara spiritual dan sosial.