Zaman digital memudahkan siapa saja untuk mendokumentasikan momen berharga, termasuk saat menjalankan ibadah umrah. Namun sayangnya, fenomena ini sering kali melenceng dari esensi spiritualnya. Kamera menyala setiap saat, tangan lebih sibuk menggenggam ponsel daripada membuka mushaf. Melalui banyak ceramah dan bimbingan, Ustadz Adi Hidayat (UAH) terus mengingatkan jamaah agar tidak terjebak menjadikan ibadah sebagai objek konten belaka. Artikel ini mengajak kita untuk merenungi kembali: Apakah perjalanan suci ini masih murni untuk Allah, atau sudah tergelincir menjadi wisata religi?
Fenomena Sibuk Dokumentasi Saat Ibadah
Pemandangan umum di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi hari ini: banyak jamaah yang sibuk mengambil foto, membuat vlog, bahkan melakukan siaran langsung saat thawaf. Tidak sedikit pula yang membawa tripod ke dalam area ibadah. Tujuannya mungkin untuk kenangan, tapi sering kali berujung pada gangguan terhadap kekhusyukan dan konsentrasi ibadah.
Beberapa jamaah bahkan lebih dahulu mencari sudut kamera terbaik dibanding meresapi bacaan doa. Ironisnya, ada yang belum hafal talbiyah, tapi fasih mengatur angle swafoto di depan Ka’bah. Di sinilah niat yang awalnya tulus bisa bergeser, dari ibadah menjadi dokumentasi publik.
Risiko Kehilangan Kekhusyukan dan Niat Ibadah
UAH sering mengingatkan:
“Umrah adalah panggilan Allah, bukan undangan sosial media.”
Keterlaluan dalam dokumentasi dapat membuat seseorang kehilangan ruh ibadah, yaitu menghadirkan hati secara total kepada Allah. Apalagi jika niat mulai bergeser: ingin dilihat orang, ingin eksis, ingin jadi konten inspirasi tapi tak ada ruh penghayatan.
Bahkan secara fikih, mengambil gambar di area suci bukanlah perkara haram, tetapi menjadi makruh jika mengganggu orang lain atau melalaikan diri sendiri dari dzikir dan ibadah.
Saat kita lebih fokus mencari likes daripada rida Allah, saat itulah perlu muhasabah besar. Jangan sampai umrah yang begitu mahal secara materi dan spiritual, justru berbuah riya’ digital.
UAH: “Ambil Gambar Secukupnya, Jangan Jadi Wisata Religi”
Dalam satu sesi pembekalan umrah, UAH menyampaikan:
“Ambil gambar secukupnya. Boleh. Tapi jangan sampai kalian kehilangan yang jauh lebih penting: sakinah hati dan pengampunan dosa.”
Menurut beliau, dokumentasi itu sah-sah saja, asalkan tidak menjadi poros kegiatan utama. UAH menyebut istilah “wisata religi” sebagai bentuk ibadah yang kehilangan nilai rohaninya karena terlalu fokus pada pengalaman visual.
“Kamu ke sana untuk dilihat Allah, bukan untuk dilihat followers.”
Pesan ini menyentil, terutama bagi generasi digital yang mudah terjebak dalam budaya pamer, bahkan dalam ibadah sekalipun.
Menjaga Fokus antara Dunia Digital dan Kesucian Ibadah
Menggunakan kamera di Tanah Suci bukanlah kesalahan besar, tapi kesalahan besar terjadi ketika kamera itu membuat kita lupa sedang bertamu ke rumah Allah.
Bagi jamaah yang membawa ponsel, ada baiknya:
- Mematikan notifikasi selama berada di area ibadah.
- Menyimpan ponsel saat thawaf, sa’i, atau salat.
- Menghindari pose berlebihan atau selfie di tempat-tempat khusyuk.
- Mengingatkan diri: “Allah yang lebih pantas melihatku daripada kamera.”
Keseimbangan ini penting. Dokumentasikan secukupnya, ibadah seutuhnya. Jangan sampai kita pulang dengan ribuan foto tapi kosong secara spiritual.
Tips Bijak Mengatur Dokumentasi agar Tetap Proporsional
UAH memberikan beberapa tips bijak agar dokumentasi tidak mengganggu ibadah:
- Tetapkan waktu khusus untuk foto: misalnya saat pagi hari sebelum salat dhuha atau setelah salat isya.
- Pakai kamera seperlunya, jangan terus di tangan sepanjang hari.
- Gunakan foto sebagai media dakwah, bukan pamer.
- Edit dan unggah setelah pulang, agar ibadah tidak terganggu.
- Fokuskan hati dan lisan untuk dzikir saat berada di lokasi suci.
Ingat, yang paling indah bukan foto dengan latar Ka’bah, tapi jiwa yang pulang membawa ampunan dan ketenangan.
Mengembalikan Ruh Spiritual Umrah yang Hakiki
Tujuan utama umrah adalah mendekat kepada Allah dengan segenap kesungguhan hati. Jangan sampai keindahan visual menutupi kehinaan diri di hadapan Sang Pencipta. Ruh umrah terletak pada air mata tobat, doa yang dalam, dan hati yang hancur karena rindu surga.
UAH menutup dengan pesan tajam:
“Kalau kamu pulang hanya dengan oleh-oleh dan galeri penuh foto, mungkin kamu cuma pelancong. Tapi kalau kamu pulang dengan hati yang berubah, maka itulah jamaah yang diterima Allah.”