Fenomena ini kerap terjadi di tengah umat Islam: rajin salat, aktif di pengajian, hafal banyak doa, tapi tetap saja sulit meninggalkan maksiat. Bahkan ada yang beribadah rutin, namun lisannya tajam, akhlaknya buruk, dan matanya tak terjaga. Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang salah? Dalam berbagai ceramah dan kajian, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyampaikan jawaban tegas dan dalam secara spiritual. Artikel ini mengurai penyebab fenomena tersebut dan menyuguhkan solusi reflektif-islami untuk memperbaiki kualitas ibadah dan membersihkan jiwa dari kemaksiatan.
Fenomena Umat yang Rajin Ibadah Tapi Gagal Meninggalkan Maksiat
Tak sedikit orang yang tampak shalih secara lahir: rutin hadir di masjid, rajin bersedekah, bahkan hafal beberapa surat Al-Qur’an. Namun di sisi lain, ia masih suka menggunjing, bermaksiat diam-diam, atau bahkan berlaku curang dalam bisnis. Kondisi ini membingungkan, karena ibadah seharusnya menjauhkan dari maksiat, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
UAH menyebut kondisi ini sebagai ibadah yang belum sampai ke hati. Artinya, ibadah yang dilakukan masih sebatas rutinitas fisik, belum sampai pada perenungan makna dan pengaruh spiritual yang mendalam. Maka, ibadahnya tidak menjadi filter atau benteng dari dosa.
UAH: “Bisa Jadi, Ibadahnya Belum Menyentuh Hati”
Dalam sebuah kajian, UAH menjelaskan:
“Kalau salatnya masih rajin tapi maksiat jalan terus, bisa jadi salatnya belum menyentuh hati. Belum sampai pada level tadabbur, khusyuk, dan rasa tunduk pada Allah.”
Beliau menggarisbawahi bahwa banyak orang mengerjakan ibadah, tapi tidak sadar dengan siapa ia sedang berhadapan. Akibatnya, ibadah itu tidak menghadirkan rasa malu, rasa takut, dan rasa cinta yang sejati kepada Allah. Padahal, ketika hati terlibat penuh dalam ibadah, maka dosa terasa menjijikkan dan menjauh dari maksiat menjadi kebutuhan ruhani.
UAH menyarankan agar setiap ibadah dievaluasi: apakah hanya untuk menggugurkan kewajiban, atau sebagai pertemuan penuh cinta dengan Allah? Karena ruh ibadah yang sejati adalah hadirnya hati, bukan sekadar gerak tubuh.
Tiga Penyebab Utama Ibadah yang Tidak Berdampak
Menurut UAH, ada tiga sebab utama mengapa ibadah yang rutin tidak berdampak signifikan pada perilaku:
- Niat yang belum ikhlas – Ibadah hanya dijadikan formalitas atau status sosial, bukan sarana mendekat pada Allah.
- Kurang ilmu dalam pelaksanaan – Banyak yang ibadah tanpa memahami maknanya, sehingga tidak menghadirkan kekhusyukan.
- Tidak ada evaluasi setelah ibadah – Salat selesai, tapi tidak merenung: “Apa yang saya ucapkan tadi dalam doa? Apa pelajaran dari surat yang saya baca?”
Ketiganya menyebabkan ibadah menjadi kegiatan kosong dari ruh, sehingga maksiat tetap terasa “biasa” dan dosa tidak menimbulkan rasa bersalah yang dalam.
Koreksi Niat dan Cara Agar Ibadah Jadi Benteng Maksiat
UAH memberikan solusi spiritual yang dimulai dari perbaikan niat dan pendekatan hati dalam beribadah. Pertama, sebelum salat, ucapkan dalam hati: “Saya akan berdiri di hadapan Allah.” Hadirkan rasa bahwa ini bukan sekadar salat lima waktu, tapi pertemuan pribadi dengan Sang Pencipta.
Kedua, perdalam makna bacaan salat dan doa. Pelajari tafsir surat Al-Fatihah, hayati makna sujud, resapi istighfar. Ketiga, lakukan evaluasi kecil setiap selesai ibadah: apakah saya semakin takut berbuat dosa? Apakah saya makin sabar dan jujur hari ini?
Ibadah yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan menjadi tameng kuat dari maksiat. UAH menyebut ini sebagai “ibadah dengan ruh,” bukan ibadah yang kering dan kosong.
Contoh Kasus Nyata dan Solusi Spiritual ala UAH
UAH pernah menceritakan seorang jamaah yang rajin umrah setiap tahun, namun masih suka menyakiti hati istri dan tidak jujur dalam bisnis. Setelah berdialog, UAH menasihatinya:
“Engkau pergi ke Baitullah, tapi belum pernah benar-benar hadir di hadapan Allah.”
Setelah itu, sang jamaah mulai memperbaiki niat, memperdalam pemahaman ibadah, dan mulai menangis dalam salat. Perlahan, akhlaknya berubah, dan ia sendiri mengakui, “Ternyata selama ini saya hanya menjalankan ibadah, tapi tidak pernah menyelaminya.”
Solusi spiritual UAH bukanlah jalan instan, tapi perjalanan panjang menuju penghayatan. Ia menekankan bahwa perubahan tidak dimulai dari aktivitas luar, tapi dari pertemuan batin dengan Allah lewat ibadah.
Langkah Hijrah Dimulai dari Kualitas Ibadah, Bukan Kuantitas
Banyak yang ingin hijrah, tapi salah jalan. Terlalu fokus menambah jumlah ibadah, tanpa memperdalam kualitasnya. UAH mengingatkan bahwa Allah tidak menilai banyaknya ibadah, tapi kualitas dan dampaknya.
“Yang Allah nilai bukan banyaknya rakaat, tapi apakah salat itu menahanmu dari berbuat dosa.”
Maka, langkah hijrah sejati adalah dengan meningkatkan keikhlasan dan penghayatan dalam ibadah. Dari situlah akan muncul kekuatan spiritual yang mampu membentengi dari maksiat. Jangan mulai hijrah dari penampilan, tapi dari perubahan dalam berinteraksi dengan Allah.
1 Komentar
Vella Taqiyyah
October 6, 2025 pukul 9:19 amMasya allah