Ibadah haji adalah puncak dari rukun Islam yang diidam-idamkan seluruh Muslim. Namun, tidak semua haji berbuah “mabrur”. Banyak yang berhasil menyelesaikan ritualnya, tapi lupa bahwa haji bukan sekadar rangkaian fiqih dan manasik. Ustadz Adi Hidayat (UAH) berkali-kali mengingatkan dalam tausiyahnya bahwa hakikat haji mabrur adalah perubahan akhlak, bukan sekadar lulus syarat sah. Artikel ini mengulas dengan mendalam bagaimana UAH menempatkan akhlak sebagai ruh dari kemabruran, serta kiat menjaga nilai-nilai mabrur setelah pulang ke tanah air.

 

UAH Mengingatkan Bahwa Mabrur Bukan Hanya Syarat Fiqih

Dalam berbagai bimbingan haji, UAH menekankan bahwa syarat fiqih hanyalah pijakan teknis, bukan puncak capaian. Beliau menyebut bahwa terlalu banyak jamaah yang menganggap selesai seluruh rukun dan wajib haji berarti otomatis mabrur.

“Kalau mabrur itu cukup dengan sah menurut fiqih, maka cukup panggil syariat saja. Tapi Islam adalah jalan ruhani, bukan hanya legalitas,” ujar UAH tegas.

UAH mengajak para jamaah untuk menilai hajinya dari buah yang tampak setelah kembali ke tanah air. Apakah menjadi pribadi yang lebih penyabar, dermawan, dan lembut? Atau justru semakin kaku dan merasa lebih suci dari yang lain?

 

Ciri Orang Mabrur: Akhlaknya Berubah, Bukan Hanya Hafalan Manasik

Mabrur yang sejati bukan tampak di catatan paspor, tapi di akhlak yang diperbarui. UAH menyoroti bahwa banyak jamaah yang hafal seluruh urutan manasik, tapi tetap menyakiti orang lain dengan lisannya. Maka, ukuran mabrur yang paling sahih bukan dari lencana “Haji” di depan nama, tapi bagaimana ia memperlakukan orang di sekitarnya.

UAH sering mengutip hadis Nabi ﷺ:

“Haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari & Muslim)
Namun, beliau menjelaskan bahwa kata “mabrur” berasal dari “birr” yang artinya kebajikan. Artinya, mabrur adalah haji yang melahirkan kebajikan sosial, bukan hanya kebanggaan pribadi.

Ciri-ciri ini bisa dilihat dari perubahan nyata setelah pulang: lebih sopan, lebih empatik, tidak mudah marah, serta lebih taat dalam ibadah harian.

 

Kesalahan Fatal: Merasa Sudah Mabrur Padahal Belum Berubah

UAH menyebut bahwa salah satu kesalahan paling fatal adalah merasa sudah mabrur hanya karena seluruh ritual berjalan lancar. Padahal, jika tidak ada perbaikan akhlak, bisa jadi haji kita hanya menyisakan kelelahan fisik.

“Jangan pulang hanya dengan koper, tapi pulanglah membawa ruh baru,” ucap UAH dalam salah satu ceramahnya.

Beberapa jamaah bahkan jatuh pada sikap sombong spiritual—merasa lebih tinggi karena sudah berhaji, memandang remeh orang lain yang belum mampu. Inilah yang menjadi alarm bahwa mabrur hanya menjadi ilusi, karena tidak diiringi perbaikan sikap.

 

UAH: “Haji Melatihmu Menjadi Lebih Lembut, Bukan Lebih Sombong”

Menurut UAH, tujuan haji adalah latihan menjadi manusia yang lebih lembut dan berserah kepada Allah. Dari thawaf yang penuh kesabaran, sai yang penuh harap, hingga wukuf yang penuh tangis, semua mengajarkan kerendahan hati.

“Kalau kau kembali lebih angkuh, maka semua ritual itu hanya formalitas,” jelas UAH.

Beliau mengingatkan bahwa di Tanah Suci, semua orang sama: tidak ada status, jabatan, atau kekuasaan. Maka, jangan sampai pelajaran spiritual ini hilang begitu saja saat kembali ke kampung halaman. Haji bukan seremonial, tapi pelatihan ruhani untuk menjadi manusia yang penuh welas asih.

 

Kiat Menjaga Akhlak Mabrur Saat Pulang ke Masyarakat

UAH juga memberikan beberapa tips konkret untuk menjaga nilai-nilai mabrur setelah kembali dari Tanah Suci:

  1. Tundukkan hati dan jangan merasa paling suci—karena hanya Allah yang tahu siapa yang diterima.

  2. Jadilah teladan dalam kesabaran, terutama saat menghadapi masalah keluarga dan sosial.

  3. Hidupkan amalan haji seperti salat tepat waktu, zikir, dan sedekah sebagai kebiasaan baru.

  4. Gabung dalam kegiatan sosial dan dakwah, agar semangat ibadah terus terjaga dalam lingkungan.

  5. Terus berdoa agar haji kita diterima, karena mabrur bukan klaim, tapi harapan yang terus diupayakan.

UAH berpesan:

“Jangan pulang jadi orang yang hanya mengulang cerita, tapi jadilah yang menginspirasi orang untuk berubah.”

 

Menjadi Duta Perubahan di Kampung Halaman

Haji sejatinya bukan akhir dari sebuah perjalanan, tetapi awal dari perubahan hidup yang lebih bermakna. Mabrur bukan hanya gelar, tapi amanah. UAH menyerukan agar para jamaah yang telah berhaji menjadi duta perubahan di lingkungan masing-masing.

Mereka seharusnya menjadi sosok yang meneduhkan masjid, menyemangati tetangga untuk shalat, membimbing anak-anak muda dalam kebaikan. Dengan begitu, kemabruran bukan hanya terasa untuk diri sendiri, tapi menular kepada masyarakat.

“Kalau setelah berhaji, masyarakat sekitar ikut berubah karena melihatmu, maka itulah tanda engkau sedang membawa pulang mabrur,” tutup UAH dengan penuh haru.