Umrah adalah perjalanan menuju rumah Allah, tapi lebih dari itu, ia adalah perjalanan pulang ke dalam hati yang penuh kerinduan. Banyak jamaah yang tak kuasa menahan air mata saat pertama kali melihat Ka’bah. Di momen sakral itulah, rasa syukur memuncak dan bersujud menjadi bahasa yang paling jujur. Artikel ini akan mengangkat kisah nyata para jamaah yang menyambut Ka’bah dengan sujud syukur, serta pesan mendalam dari Ustadz Adi Hidayat (UAH) tentang pentingnya menghidupkan syukur dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari.
1. Kisah Jamaah yang Bersujud Syukur saat Melihat Ka’bah Pertama Kali
Banyak di antara kita bermimpi bertahun-tahun untuk bisa sampai ke Tanah Suci. Namun tidak semua orang bisa menyampaikan mimpinya menjadi nyata. Ketika akhirnya seorang jamaah menapakkan kaki di Masjidil Haram dan menyaksikan Ka’bah berdiri megah di hadapannya, tak sedikit yang langsung tersungkur dalam sujud. Bukan karena diminta, bukan karena diajarkan, tapi karena hatinya tak mampu lagi menampung rasa syukur yang meluap.
Salah satu jamaah, seorang ibu paruh baya dari desa kecil di Indonesia, menangis tak henti sambil bersujud ketika pertama kali melihat Ka’bah. Ia bercerita bahwa selama lebih dari 20 tahun, ia menabung dari hasil berjualan gorengan untuk berangkat umrah. “Saya pikir, saya hanya akan bisa melihat Ka’bah dari televisi. Tapi hari ini, saya bersujud di hadapannya. Bagaimana saya tidak bersyukur?” tuturnya dengan mata basah.
Sujud syukur ini menjadi simbol bahwa perjalanan ke Baitullah bukan sekadar ritual, tapi sebuah pertemuan antara hamba dan Tuhannya. Ia bukan sekadar formalitas ibadah, melainkan ekspresi hati yang sadar bahwa semua ini adalah karunia yang tak ternilai.
Dan momen sujud di depan Ka’bah sering kali menjadi titik balik kehidupan. Di sanalah banyak hati dilembutkan, doa-doa dilontarkan, dan tekad baru dilahirkan.
2. Pesan UAH tentang Pentingnya Mensyukuri Setiap Nikmat
Dalam banyak kajian dan bimbingan umrah, Ustadz Adi Hidayat selalu menekankan satu hal: jangan sampai kita menjadi hamba yang lupa bersyukur. Beliau mengingatkan bahwa keberangkatan umrah bukan karena kita mampu, tapi karena kita diundang. Maka, orang yang diundang oleh Allah sudah sepantasnya datang dengan penuh syukur, bukan sekadar bangga atau sibuk dokumentasi.
UAH juga mengingatkan bahwa rasa syukur yang benar tidak berhenti di lisan. Ia harus tumbuh di hati, terpancar di wajah, dan diwujudkan dalam amal. Bahkan sekadar mampu melangkah, tidak tersesat, dan punya tenaga untuk thawaf, itu pun patut disyukuri. Karena banyak orang yang ingin, tapi belum diberi jalan.
Dalam salah satu momen tausiyah di Masjidil Haram, UAH berkata, “Jangan tunggu nikmat besar baru bersyukur. Bisa datang ke sini tanpa utang pun, itu sudah nikmat besar.” Kalimat ini menusuk hati banyak jamaah. Mereka yang sebelumnya hanya mengucap “Alhamdulillah” sebagai rutinitas, kini mulai memaknainya sebagai perasaan terdalam.
Syukur adalah kunci untuk membuka pintu kebaikan lainnya. Dan umrah adalah tempat terbaik untuk belajar mensyukuri setiap hal—besar atau kecil, terlihat atau tersembunyi.
3. Sujud Syukur sebagai Ekspresi Hati yang Bersih dan Bahagia
Sujud syukur adalah bentuk ibadah yang sangat personal. Ia lahir dari hati yang sadar bahwa tak ada satu pun nikmat datang tanpa izin-Nya. Dan ketika seseorang benar-benar merasa dekat dengan Allah, maka tubuhnya pun akan ikut merunduk—tanpa disuruh, tanpa naskah.
Di tengah lautan manusia yang beribadah, pemandangan jamaah yang bersujud di depan Ka’bah sering kali menyentuh hati orang-orang di sekitarnya. Ada yang meneteskan air mata tanpa tahu siapa yang sujud itu. Karena rasa syukur adalah bahasa hati yang universal, menyatukan manusia dalam ketundukan dan harapan yang sama.
Sujud syukur juga menjadi detoks bagi jiwa yang selama ini penat oleh dunia. Di tanah kelahiran Islam, tempat turunnya wahyu pertama, hati yang penuh syukur akan terasa ringan, lapang, dan penuh semangat untuk memulai hidup baru yang lebih baik.
Saat seseorang bersujud bukan karena dilihat orang, tapi karena Allah, itulah momen ketika ruhnya sedang berada dalam keadaan paling jujur.
4. Hubungan antara Syukur, Keberkahan, dan Istikamah
Syukur bukan hanya ucapan, tapi fondasi spiritual yang membawa keberkahan. Ketika seseorang bersyukur, Allah menjanjikan penambahan nikmat sebagaimana dalam QS. Ibrahim:7, “Jika kamu bersyukur, maka Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” Namun penambahan itu bukan hanya harta, bisa jadi berupa ketenangan hati, kekuatan iman, atau keluasan rezeki.
UAH menjelaskan bahwa syukur yang istiqamah akan membuat seseorang semakin stabil dalam ibadah. Karena ia sadar bahwa segala sesuatu bukan miliknya, tetapi titipan yang harus dijaga dengan baik. Orang yang bersyukur juga akan lebih lapang menerima ujian, karena ia tahu bahwa setiap keadaan adalah bentuk kasih sayang Allah.
Dalam konteks umrah, rasa syukur akan menuntun jamaah untuk tidak sekadar menyelesaikan rukun, tapi juga memperbaiki kualitas ibadah. Orang yang bersyukur tidak akan terburu-buru saat thawaf, ia akan menikmati setiap langkahnya sambil mengingat dosa-dosanya.
Syukur yang dijaga selepas pulang ke tanah air akan menjaga semangat ibadah agar tetap menyala. Maka umrah tidak akan menjadi kenangan kosong, tapi jadi titik tolak perubahan menuju istiqamah.
5. Jamaah yang Mengaku Hidupnya Berubah karena Rasa Syukur
Banyak kisah inspiratif lahir dari mereka yang menghidupkan syukur di Tanah Suci. Seorang pengusaha dari Bandung mengaku bahwa setelah pulang umrah dan berlatih bersyukur setiap hari, usahanya justru berkembang meski ia mengurangi jam kerja untuk lebih banyak beribadah.
Ada juga seorang guru honorer yang merasa hidupnya “pas-pasan” tapi tetap bisa umrah. Setelah pulang, ia merasa lebih damai, lebih ringan menjalani hidup, dan lebih semangat mengajar anak-anak. Katanya, “Syukur mengubah cara pandang saya terhadap hidup. Saya tak lagi sibuk mengeluh, tapi fokus pada apa yang saya punya.”
Syukur mengajarkan untuk tidak membandingkan hidup dengan orang lain, tapi mengapresiasi setiap langkah yang sudah ditempuh. Umrah memberi pelajaran ini dengan sangat dalam, karena setiap detik di sana terasa terlalu mahal jika diisi dengan keluhan.
Orang yang bersyukur akan melihat hidup dengan lebih jernih. Ia tidak menunggu kaya untuk bahagia, tapi memilih untuk bahagia karena merasa cukup.
6. UAH: “Yang Bersyukur Akan Ditambah, Bukan Hanya Hartanya”
Sebagai penutup, UAH menyampaikan pesan yang menyentuh: “Yang bersyukur akan ditambah, bukan hanya hartanya. Tapi juga ketenangan, kebaikan, dan kedekatan dengan Allah.” Ini adalah janji Allah yang telah dibuktikan oleh banyak jamaah yang benar-benar mengamalkan syukur sebagai gaya hidup.
Dengan umrah, kita bukan hanya diajak menyaksikan keagungan Ka’bah, tapi juga belajar untuk tunduk dan bersyukur. Momen bersujud di depan Ka’bah hanyalah permulaan. Yang lebih penting adalah bagaimana kita membawa rasa syukur itu ke dalam kehidupan sehari-hari.
UAH mengingatkan bahwa syukur adalah kunci transformasi. Ia tidak mengubah dunia luar, tapi mengubah dunia dalam diri kita. Dan ketika hati sudah dipenuhi syukur, maka hidup akan terasa ringan meski tantangan tak berkurang.
Puluhan ribu jamaah telah membuktikan bahwa umrah mengubah hidup mereka. Tapi mereka yang paling merasakan perubahan adalah mereka yang membawa pulang rasa syukur sebagai oleh-oleh paling berharga.
1 Komentar
Vella Taqiyyah
October 9, 2025 pukul 7:10 amMasya allah