Setiap ibadah besar dalam Islam memiliki fondasi dalam Al-Qur’an dan teladan dari sunnah Rasulullah ﷺ. Demikian pula haji, yang bukan sekadar perjalanan fisik ke Baitullah, melainkan perjalanan spiritual menuju pemurnian tauhid dan penghambaan sejati. Dalam satu kesempatan khutbah Jumat di Tanah Suci, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyampaikan pesan mendalam tentang rahasia haji dalam perspektif Al-Qur’an dan sunnah. Khutbah ini tidak hanya memperluas pemahaman jamaah, tetapi juga menghidupkan ruh ibadah di tengah pelaksanaan ritual. Artikel ini akan merangkum isi khutbah tersebut secara komprehensif dan penuh hikmah.
Kutipan-Kutipan Utama dari Khutbah Jumat UAH di Tanah Suci
Khutbah UAH di Tanah Suci dihadiri ribuan jamaah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam khutbahnya, UAH menekankan bahwa haji bukan sekadar menunaikan rukun, tetapi misi tauhid. Beliau mengutip QS. Al-Hajj: 27-28 yang menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyeru manusia menunaikan haji,
“Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji…”
UAH menyampaikan, “Haji adalah panggilan. Jika engkau datang, berarti Allah sudah izinkan kau menjadi tamu-Nya. Maka jangan sekadar hadir, tapi resapilah maknanya.” Beliau juga menekankan pentingnya memahami lafaz talbiyah sebagai ikrar tauhid dan penghambaan total—bukan hanya bacaan rutin yang dihafal tanpa penghayatan.
Haji dalam Al-Qur’an: Makna Perjalanan Menuju Tauhid Sejati
Dalam khutbahnya, UAH mengurai bahwa haji adalah manifestasi nyata dari jalan tauhid. Di dalam QS. Al-Baqarah: 196-200, Allah tidak hanya menjelaskan teknis ibadah haji, tetapi menekankan adab dan ruhnya. Misalnya, larangan berkata kotor, bermaksiat, atau berbantah-bantahan selama haji bukan sekadar aturan sosial—melainkan pelatihan jiwa yang mengarah pada ketundukan kepada Allah.
Haji bukan dimulai dari ihram, tapi dari niat yang tulus. Dan puncaknya bukan sekadar wukuf atau thawaf, tapi penyucian jiwa dan penegasan kembali kalimat “Laa ilaaha illallah.” Haji adalah proses detoksifikasi ruhani, membersihkan semua ego, dosa, dan kemelekatan dunia, lalu menghadap Allah sebagai hamba sejati.\
Sunnah Nabi yang Sering Dilupakan dalam Berhaji
UAH mengingatkan bahwa dalam pelaksanaan haji, banyak sunnah Nabi ﷺ yang sering ditinggalkan karena kurangnya pemahaman atau terburu-buru mengejar rukun. Di antaranya:
- Berdoa dengan tenang saat wukuf, bukan sibuk mengambil foto
- Menghindari keluhan dan memperbanyak istighfar
- Memperhatikan adab sesama jamaah, termasuk tidak mendorong atau menyerobot
Beliau mengutip hadis dari Imam Muslim: “Ambillah manasik kalian dariku.” Yang berarti, setiap detil gerak dan niat Nabi adalah sumber pedoman dalam haji. Namun saat ini, banyak jamaah hanya mengejar sah secara hukum, tapi melupakan kesempurnaan secara ruhani. UAH menyebut ini sebagai “ritual tanpa ruh,” yang perlu dikoreksi dengan ilmu dan keikhlasan.
UAH: “Ritual Itu Penting, Tapi Ruh Ibadah Lebih Utama”
Salah satu pernyataan paling mengena dari UAH dalam khutbah tersebut adalah:
“Ritual itu penting, tapi ruh ibadah lebih utama.”
UAH menjelaskan bahwa Allah tidak hanya melihat gerakan tubuh, tapi juga hati yang tunduk. Thawaf bisa dilakukan siapa saja, tapi apakah setiap langkahnya menghadirkan cinta kepada Allah? Sa’i bisa dilakukan siapa pun, tapi apakah setiap tapaknya mengandung doa dan pengharapan?
Ia menekankan bahwa ruh ibadah adalah kesadaran bahwa semua dilakukan karena Allah, bukan demi foto, status, atau prestise sosial. “Banyak yang hajinya selesai, tapi hatinya belum pulang,” tegas beliau. Maka, yang harus dibawa pulang bukan hanya sertifikat haji, tapi perubahan hati dan ketundukan sejati.
Tafsir Ayat dan Hadis yang Dijelaskan UAH dalam Khutbah
UAH menafsirkan QS. Al-Baqarah: 197 secara detail:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Maka barangsiapa yang menetapkan niat dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq, dan jidal…”
Menurut beliau, ayat ini bukan hanya etika saat haji, tapi parameter kualitas haji. Jika selama haji seseorang masih suka berkata kotor, berbuat dosa, dan suka berdebat, maka ia belum menyentuh makna haji yang sesungguhnya.
UAH juga menukil hadis Nabi ﷺ:
“Barangsiapa berhaji dan tidak berkata keji serta tidak berbuat fasik, maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Beliau menekankan, inilah standar tertinggi dari haji: kembali suci dan membangun hidup baru setelahnya. Maka, jamaah harus fokus pada penghayatan, bukan hanya pelaksanaan.
Refleksi dan Catatan Penting bagi Para Jamaah Haji
Sebagai penutup khutbah, UAH mengajak jamaah untuk merefleksikan: Apakah haji kita benar-benar telah menyentuh jiwa? Apakah kita merasa lebih dekat dengan Allah, lebih tunduk, lebih ringan berbuat baik? Jika belum, maka waktunya memperbaiki niat dan mengejar keikhlasan, meski ibadah telah usai.
Beliau juga menyampaikan bahwa haji bukan puncak spiritualitas, tapi awal tanggung jawab sebagai hamba. Setelah haji, harus lahir pribadi baru: lebih jujur, lebih adil, lebih sabar, dan lebih dekat kepada Allah. Haji adalah janji kepada Allah yang akan diuji setibanya di tanah air.