Setiap jamaah umrah atau haji memiliki harapan besar untuk mendapatkan keberkahan ibadah di Tanah Suci. Namun, tidak sedikit yang tergelincir dalam kesalahan tanpa disadari—mulai dari riya’, mengganggu kenyamanan jamaah lain, hingga kehilangan fokus karena terlalu sibuk dengan hal-hal duniawi. Ustadz Adi Hidayat (UAH) dalam beberapa kesempatan memberikan tiga peringatan penting bagi jamaah: jangan riya’, jangan gaduh, dan jangan lalai. Artikel ini mengulas peringatan tersebut secara mendalam disertai dengan solusi dan refleksi, agar ibadah di Tanah Suci menjadi pengalaman spiritual yang benar-benar bermakna.

 

Jangan Riya’: Bahaya Pamer Ibadah Secara Terang-Terangan

Peringatan pertama dari UAH adalah tentang bahaya riya’, yakni memperlihatkan ibadah agar dipuji orang lain. Di era digital, tak sedikit jamaah yang sibuk merekam thawaf, memotret doa di Multazam, atau membuat konten saat menangis di depan Ka’bah. Padahal, semua itu bisa mengurangi bahkan menghapus nilai ikhlas yang seharusnya menjadi inti ibadah.

UAH menegaskan, “Ibadah di Tanah Suci itu bukan untuk ditonton orang, tapi untuk dilihat oleh Allah.” Bila tujuan ibadah bergeser menjadi konten, maka ruhnya akan hilang. Riya’ adalah penyakit hati yang bisa merusak amal tanpa terasa. Maka, penting bagi setiap jamaah untuk bertanya pada diri sendiri: “Apakah aku ingin dilihat Allah, atau disukai followers?”

 

Jangan Gaduh: Menjaga Ketenteraman dan Kenyamanan Sesama

Tanah Suci adalah tempat yang dijaga kehormatannya. UAH mengingatkan bahwa gaduh, bicara keras, tertawa berlebihan, atau bersikap tidak tertib bisa mengganggu kekhusyukan ibadah dan melukai kenyamanan jamaah lain. Sayangnya, banyak yang lupa bahwa Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bukan tempat wisata biasa, melainkan rumah Allah yang perlu dihormati dalam diam dan adab.

Beberapa jamaah kadang berteriak memanggil rombongan, membuka obrolan keras di tempat shalat, atau bahkan merekam video dengan suara yang mengganggu. Semua ini bukan hanya mengganggu orang lain, tapi juga menurunkan nilai ibadah sendiri. Kata UAH, “Kalau tidak bisa menenangkan suasana, setidaknya jangan ikut membuatnya gaduh.” Maka, jadilah jamaah yang membawa ketenangan, bukan kebisingan.

 

Jangan Lalai: Fokus pada Ibadah, Bukan Belanja atau Dokumentasi

Peringatan ketiga adalah tentang kelalaian, terutama karena tergoda belanja dan sibuk mendokumentasikan setiap momen. UAH menyayangkan banyak jamaah yang lebih antusias mencari kurma, parfum, atau oleh-oleh, daripada mencari pahala di masjid. Bahkan ada yang lupa waktu salat karena sibuk berburu diskon di toko sekitar Masjidil Haram.

Selain itu, terlalu fokus pada dokumentasi membuat jamaah kehilangan kehadiran hati dalam ibadah. “Foto-foto boleh, tapi jangan sampai fotonya lebih banyak dari doanya,” ujar UAH. Waktu di Tanah Suci terlalu singkat jika dihabiskan untuk dunia. Maka fokuslah pada ibadah: shalat berjamaah, dzikir, membaca Al-Qur’an, dan memperbanyak doa. Itulah hakikat keberangkatan kita ke sana.

 

UAH: “Tanah Suci Bukan Panggung Sosial Media”

UAH menegaskan bahwa Tanah Suci bukan tempat membangun citra, tapi tempat menghancurkan ego dan menyucikan hati. Banyak yang ingin tampil seolah-olah religius di Instagram, tapi hatinya masih penuh kebisingan dan tujuan duniawi. Ia berkata tegas, “Tanah Suci bukan panggung sosial media.”

Apa yang dibawa dari sana bukan konten viral, tapi ruh dan nilai taqwa. Jika pulang dari umrah atau haji hanya membawa ribuan foto tanpa perubahan dalam diri, maka ada yang perlu dipertanyakan. Tanah Suci adalah tempat untuk membangun kedekatan dengan Allah, bukan menambah like dan komentar.

 

Tips Menjaga Niat dan Adab Selama Beribadah

Agar terhindar dari riya’, gaduh, dan lalai, UAH memberikan beberapa tips penting:
Pertama, perbarui niat setiap hari selama di Tanah Suci. Sebelum keluar dari hotel, niatkan untuk mencari ridha Allah, bukan pengalaman duniawi. Kedua, batasi penggunaan HP, gunakan hanya untuk hal penting dan darurat. Ketiga, perbanyak waktu sendiri untuk muhasabah, tidak harus terus bersama rombongan. Keempat, jaga lisan dan mata dari membicarakan atau melihat hal yang tidak perlu.

Kelima, ingat misi utama umrah: membawa pulang ruh, bukan hanya oleh-oleh. Jika hati menjadi lebih lembut, lisan lebih dijaga, dan ibadah lebih ringan dilakukan setelah pulang, maka umrah itu berhasil. Jadikan Tanah Suci sebagai tempat menghidupkan jiwa, bukan tempat mematikan nilai ikhlas dengan riya’ dan kesibukan dunia.