Ka’bah bukan hanya kiblat salat umat Islam, tapi juga tempat terkabulnya doa-doa tulus dari hati yang paling dalam. Tidak sedikit jamaah yang menangis di sana, memohon bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga, negeri, dan umat. Dalam satu momen yang menggetarkan jiwa, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memimpin doa khusus di depan Ka’bah untuk bangsa Indonesia. Bukan doa biasa, melainkan doa nasionalis yang lahir dari hati seorang mukmin sejati. Artikel ini akan mengisahkan detik-detik penuh haru tersebut, isi doanya, hingga pesan spiritual yang dapat menjadi inspirasi bagi kita semua.

 

Momen Khusus UAH Memimpin Doa untuk Bangsa Indonesia

Di sela rangkaian umrah bersama jamaah, Ustadz Adi Hidayat mengambil momen khusus untuk memimpin doa bagi tanah air tercinta. Tepat di depan Ka’bah, dengan wajah tertunduk khusyuk dan suara bergetar, beliau mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mulai melantunkan doa dalam bahasa Arab dan Indonesia. Jamaah yang mengelilingi beliau pun turut mengangkat tangan, menyatu dalam harapan yang sama: agar Indonesia dijaga dan diberkahi oleh Allah.

Momen tersebut terjadi setelah salat berjamaah di Masjidil Haram. Jamaah dari berbagai daerah Indonesia berkumpul, menyimak setiap kata yang keluar dari lisan UAH. Dalam suasana hening dan penuh ketundukan, doa-doa itu seolah membelah langit, menjadi untaian permohonan yang menggetarkan hati. Tidak sedikit yang merekamnya, tapi lebih banyak lagi yang hanya mampu menunduk dan menangis.

 

Isi Doa: Persatuan, Keberkahan, dan Kebangkitan Umat

Doa yang dipanjatkan UAH bukan sekadar bentuk nasionalisme, melainkan wujud cinta yang dalam kepada negeri. Ia memohon kepada Allah agar Indonesia dijaga dari perpecahan, dijauhkan dari fitnah, dan disatukan dalam iman serta ukhuwah. Ia juga memohon agar bangsa ini diberi keberkahan dalam ekonomi, pendidikan, dan kepemimpinan.

“Ya Allah, satukan hati bangsa kami dalam iman kepada-Mu. Jauhkan kami dari permusuhan, jadikan pemimpin kami orang-orang yang takut kepada-Mu, dan limpahkan rahmat-Mu kepada negeri ini,” ucap beliau. Beliau juga mendoakan kebangkitan umat Islam dari Indonesia, agar menjadi bangsa yang memberi manfaat bagi dunia. Doa ini menjadi simbol harapan besar terhadap masa depan bangsa dari perspektif iman dan spiritualitas.

 

Jamaah Menangis Bersama dalam Suasana Syahdu

Tak sedikit jamaah yang meneteskan air mata ketika mendengar doa UAH. Beberapa bahkan terisak, menyadari betapa jarangnya kita mengingat bangsa dalam doa-doa pribadi. Suasana menjadi sangat syahdu—Ka’bah, doa, dan air mata menyatu dalam satu momen yang tidak terlupakan. Banyak jamaah yang kemudian ikut menyuarakan “Aamiin” dengan suara gemetar.

Mereka sadar bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk memperbaiki diri secara pribadi, tapi juga untuk membawa pulang semangat membangun negeri. Momen ini menjadi titik balik bagi sebagian jamaah, bahwa umrah bukan hanya untuk meraih pahala pribadi, tapi juga untuk mendekatkan doa-doa kita kepada Allah demi kebaikan bersama. Tangisan itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang muncul dari kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan cinta tanah air.

 

Refleksi tentang Pentingnya Mendoakan Negeri

UAH mengajak seluruh jamaah untuk tidak melupakan negeri dalam setiap doa. Dalam sebuah refleksi setelah doa, beliau menyampaikan, “Bagaimana mungkin kita berharap Indonesia menjadi negara yang diberkahi, jika kita sendiri tidak pernah memohonkan keberkahan itu?” Kalimat ini menampar kesadaran banyak orang. Terkadang kita sibuk meminta rezeki, kesehatan, dan perlindungan untuk diri sendiri, namun lupa bahwa negeri ini adalah ladang tempat kita menanam semua itu.

Beliau mengingatkan bahwa mendoakan negeri adalah bagian dari amanah keimanan. Rasulullah ﷺ sendiri pernah menangis untuk penduduk Thaif, mendoakan kaumnya di Makkah, dan berharap kebaikan bagi umatnya di masa depan. Maka, sudah sepantasnya kita yang hidup di Indonesia juga menjadikan doa untuk negeri sebagai rutinitas dalam ibadah harian kita.

 

UAH: “Jangan Egois, Doakan Juga untuk Saudaramu”

Dalam penutup doanya, UAH menyampaikan pesan tajam: “Jangan egois dalam berdoa. Di sekitar kita banyak orang yang lebih membutuhkan doa. Doakan saudaramu, doakan umatmu, doakan negerimu.” Pesan ini bukan hanya menyentuh logika, tapi menggugah nurani. Seorang mukmin yang sejati bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga membawa beban dan harapan umat dalam setiap sujudnya.

Doa yang luas dan mencakup banyak orang akan menjadi bukti kasih sayang dan kepedulian sejati. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, malaikat akan mengaminkan doa kita untuk orang lain dan mendoakan kita dengan doa yang sama. Maka siapa yang tulus mendoakan bangsa, insyaAllah akan dibalas dengan keberkahan hidup di negeri yang lebih baik.

 

Doa Nasionalis yang Lahir dari Hati Mukmin Sejati

Doa UAH bukan sekadar formalitas, tapi doa nasionalis yang tumbuh dari tauhid dan cinta kepada negeri. Ini adalah bentuk nyata dari cinta tanah air yang dibingkai dengan iman. Bukan dalam bentuk slogan kosong atau kritik tak berdasar, tapi dalam bentuk tangisan dan harapan di tempat paling mustajab di muka bumi.

Doa tersebut menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa mencintai Indonesia adalah bagian dari ibadah, jika didasari keimanan. Dari Ka’bah, suara hati itu melangit. Harapannya sederhana: semoga Indonesia diberi pemimpin adil, rakyat yang bersyukur, serta masa depan yang gemilang. Dan semoga setiap kita menjadi bagian dari doa yang dikabulkan itu—bukan hanya penerima, tapi juga pelaku perubahan yang diminta dalam doa.