Mengajak anak umrah kini menjadi tren di kalangan keluarga Muslim. Namun, di balik semangat itu, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan pesan tegas yang layak direnungkan: “Jangan ajak anak umrah kalau belum siap mendidik.” Umrah bukan sekadar perjalanan keluarga atau wisata spiritual, tapi momentum sakral yang membutuhkan kesiapan fisik, mental, dan pemahaman agama. Sayangnya, tak sedikit orang tua yang justru menjadikan momen ibadah ini sebagai ajang rekreasi tanpa arahan jelas kepada anak-anak mereka. Artikel ini akan membahas peringatan UAH, tips edukatif, hingga kisah inspiratif perubahan anak selama di Tanah Suci.

 

UAH Menegaskan Pentingnya Niat Saat Mengajak Anak Ibadah

Dalam beberapa ceramahnya, UAH menyampaikan bahwa niat adalah fondasi utama dalam setiap ibadah, termasuk saat mengajak anak ke Tanah Suci. Jika niatnya hanya untuk pamer, tren, atau sekadar ingin menyenangkan anak dengan perjalanan luar negeri, maka ruh ibadah akan hilang. Umrah bukan seperti pergi ke tempat wisata yang penuh hiburan, melainkan tempat penuh keagungan dan pelatihan spiritual.

Beliau menegaskan, “Jangan ajak anak umrah hanya untuk cerita ke tetangga. Kalau anak belum bisa diarahkan, lebih baik ditunda sampai kita siap mendampingi.” Niat yang salah akan melahirkan pengalaman yang salah pula. Bahkan bisa jadi, anak akan merasa umrah itu membosankan jika tidak diarahkan dengan baik. Maka penting bagi orang tua untuk mengajak anak dengan niat mendidik, bukan hanya menggugurkan keinginan.

 

Bahaya Menjadikan Umrah Sebagai Rekreasi Keluarga

Fenomena umrah keluarga yang terlalu difokuskan pada kenyamanan, belanja, dan dokumentasi dapat menurunkan nilai sakral ibadah. Anak-anak yang belum paham makna umrah bisa melihatnya sebagai liburan mewah. Mereka menjadi bosan saat diajak ke masjid, tapi semangat ketika diajak ke pusat perbelanjaan. Ini tentu berbahaya bagi pembentukan karakter spiritual mereka.

UAH mengingatkan bahwa umrah bukan tempat bermain, tapi tempat pembentukan jiwa. Jika orang tua tidak tegas dalam memberi teladan, maka anak akan belajar bahwa ibadah bisa dilakukan asal-asalan. Maka dari itu, sebelum mengajak anak, pastikan kesiapan edukatifnya. Libatkan mereka dalam manasik, jelaskan kisah Nabi Ibrahim dan Hajar, serta ajak mereka memahami makna doa dan sujud di hadapan Ka’bah.

 

Tips Membimbing Anak agar Paham Makna Ibadah

Mengajak anak umrah bisa menjadi pengalaman luar biasa jika dibarengi dengan pembimbingan spiritual yang tepat. Pertama, ajak anak ikut manasik secara khusus dan terpisah dari orang dewasa. Buatkan narasi yang sederhana tapi menyentuh, seperti mengapa kita thawaf, siapa Nabi yang membangun Ka’bah, dan apa makna sai antara Shafa dan Marwah.

Kedua, selama perjalanan, beri mereka tanggung jawab kecil: membaca doa tertentu, membawa botol zamzam, atau membacakan kisah teladan sebelum tidur. Ketiga, batasi interaksi dengan gadget dan ajak anak menikmati suasana masjid, dzikir, dan ketenangan. UAH pernah berkata, “Umrah bisa jadi sekolah jiwa, asal ada guru dan arahannya.” Maka jadilah guru itu bagi anak-anak kita selama di Tanah Suci.

 

Kisah Anak yang Berubah Sikapnya Selama di Tanah Suci

Dalam satu kisah yang dibagikan UAH, ada seorang anak usia 10 tahun yang awalnya rewel dan malas ikut salat berjamaah. Namun setelah seminggu dibimbing dengan penuh kesabaran oleh ayahnya, anak itu mulai menunjukkan perubahan. Ia hafal beberapa doa, meminta ikut ke masjid lebih awal, dan bahkan menangis saat melihat Ka’bah untuk terakhir kalinya sebelum pulang.

Perubahan itu tidak instan, tapi hadir karena pendekatan hati ke hati. Sang ayah tak pernah memarahi, melainkan mengajak berdialog dan memberi teladan. Kisah ini menjadi contoh bahwa anak bisa berubah di Tanah Suci, jika orang tuanya serius menjadikan umrah sebagai pendidikan, bukan sekadar agenda jalan-jalan.

 

Edukasi Spiritual Sejak Dini yang Tidak Bisa Dibeli

Mengajak anak umrah adalah peluang emas untuk menanamkan nilai-nilai spiritual yang tak bisa dibeli dengan materi. Ketika anak melihat langsung tempat lahirnya Islam, merasakan suasana ibadah berjamaah di Masjidil Haram, dan mencicipi nikmatnya berdoa di Multazam, maka ruh keislaman akan tertanam lebih dalam. Momen ini bisa membekas seumur hidup.

Namun semua itu hanya akan berbuah jika orang tua siap menjadikannya sarana pendidikan, bukan konsumsi media sosial. Edukasi spiritual memerlukan kehadiran, kesabaran, dan keteladanan. Bukan hasil instan, tapi proses jangka panjang. Dan umrah adalah salah satu ruang yang paling efektif untuk memulainya, jika dilakukan dengan niat yang benar.

 

Umrah Bisa Jadi Pendidikan Karakter yang Kuat

UAH menyebut umrah sebagai laboratorium karakter, terutama bagi anak-anak. Di sana anak belajar sabar saat mengantre, disiplin waktu salat, rendah hati saat melihat jutaan umat Islam dari berbagai bangsa, dan menahan diri dari keluhan. Semua nilai ini tidak bisa diajarkan hanya lewat teori di sekolah, tapi harus dialami langsung.

Maka, jika kita siap mendidik, umrah bisa menjadi tonggak penting dalam pembentukan karakter anak. Umrah akan mengajarkan mereka untuk menjadi Muslim sejati—yang taat, sabar, peka, dan cinta rumah Allah. Dan jika pengalaman ini dibingkai dengan baik oleh orang tua, maka anak akan tumbuh dengan kenangan spiritual yang tak tergantikan.