Umrah adalah ibadah yang sarat makna dan transformasi, bukan hanya tentang menapaki dua tanah suci, tetapi juga menyentuh kedalaman hati. Namun, sebagaimana setiap perjalanan memiliki akhir, begitu pula dengan umrah. Ketika jamaah bersiap pulang, muncul pertanyaan besar: “Apakah ruh ibadah ini akan terus hidup dalam keseharian?” Artikel ini merekam momen haru di akhir perjalanan umrah bersama Ustadz Adi Hidayat (UAH), saat nasihat-nasihat penutup menjadi bekal abadi bagi para jamaah untuk kembali ke tanah air dengan ruh yang baru.
1. Momen Penutupan Umrah: Suasana Batin yang Campur Aduk
Sore itu, di pelataran Masjidil Haram, langit Makkah mulai memerah. Jamaah berkumpul dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kesedihan dan keharuan. Ada yang menahan tangis, ada yang terus memandangi Ka’bah seolah belum siap berpisah. Waktu yang seakan cepat berlalu meninggalkan jejak mendalam di hati para peziarah.
Bagi banyak jamaah, momen ini menjadi saat yang paling menyayat. Perjalanan yang penuh rintangan, tangis, dan tawa harus berakhir. Namun justru di saat itulah muncul kesadaran bahwa perpisahan dari Tanah Suci bukanlah akhir, melainkan awal dari ujian sebenarnya di rumah sendiri.
UAH mengajak jamaah untuk duduk tenang, merenung sejenak, dan mengingat kembali setiap ibadah yang telah dilalui. “Ambillah satu momen paling bermakna, simpan di hati, dan jadikan itu cahaya saat kalian kembali ke kehidupan nyata,” pesan beliau dengan suara bergetar.
2. UAH Menekankan Pentingnya Menjaga Bekal Spiritual
Dalam nasihatnya, UAH menekankan bahwa bekal paling penting yang harus dibawa pulang bukanlah oleh-oleh, foto-foto, atau kisah perjalanan, melainkan ruh ibadah yang telah dibangun selama umrah. Beliau menyebutnya sebagai “nur ruhani” — cahaya spiritual yang harus dijaga agar tidak redup saat kembali ke tanah kelahiran.
Menurut UAH, banyak orang yang kembali dari umrah dengan semangat besar, namun tanpa arah yang jelas. Maka penting untuk menjaga niat, membangun rutinitas ibadah, dan terus menanamkan rasa syukur. “Kalau Ka’bah tak bisa kalian datangi setiap hari, jadikan rumahmu tempat bersujud dengan cinta yang sama,” ujar beliau.
Bekal spiritual ini menjadi pelindung dari godaan dunia, pelipur dari lelah, dan pengingat bahwa ibadah bukan hanya di Makkah dan Madinah, tapi juga dalam keseharian yang sederhana di tanah air.
3. Tiga Pesan Penting: Istiqamah, Dakwah, dan Syukur
UAH menyampaikan tiga pesan utama yang harus menjadi kompas hidup pasca-umrah:
- Istiqamah: Tetap pada jalan yang lurus, meskipun tidak lagi berada di lingkungan yang kondusif. Bangun kebiasaan salat tepat waktu, baca Al-Qur’an, dan jauhi maksiat yang dulu ditinggalkan.
- Dakwah: Jadikan perubahan diri sebagai inspirasi bagi orang lain. “Kalian tak perlu jadi ustadz, cukup jadi contoh baik bagi keluarga dan tetangga. Itu sudah dakwah,” kata UAH.
- Syukur: Terus mengingat nikmat dipanggil ke Tanah Suci, meski hanya sekali. Tidak semua orang mendapat kesempatan itu, maka bentuk syukur adalah dengan menjaga kualitas ibadah setiap hari.
Ketiga pesan ini bukan hanya teori, tapi fondasi agar ruh umrah terus menyala. UAH juga mengingatkan bahwa yang paling sulit dari perjalanan ibadah adalah mempertahankan hasilnya.
4. Tips agar Ruh Umrah Tetap Hidup Setelah Kembali ke Tanah Air
Banyak jamaah yang merasa kehilangan arah setelah kembali dari Tanah Suci. Untuk itu, UAH memberikan beberapa tips praktis agar ruh umrah tetap hidup:
- Buat rutinitas ibadah harian yang mengingatkan pada suasana di Makkah: qiyamul lail, zikir pagi-sore, membaca Al-Qur’an setiap hari.
- Gabung dalam komunitas positif yang rutin mengadakan kajian atau sharing pasca-umrah.
- Tuliskan pengalaman pribadi selama umrah dalam jurnal atau media sosial, bukan untuk pamer, tapi untuk mengikat makna yang pernah dirasakan.
- Jaga silaturahmi dengan sesama jamaah, karena kebersamaan yang lahir dari ibadah bisa menjadi penguat di tengah tantangan hidup.
Dengan langkah-langkah ini, ruh umrah tidak akan padam, tapi akan tumbuh menjadi karakter hidup yang lebih baik dan lebih dekat kepada Allah.
5. Testimoni Jamaah tentang Perubahan yang Ingin Dijaga
Salah satu jamaah mengatakan, “Saya pulang bukan lagi sebagai saya yang dulu. Hati ini sudah disentuh oleh Ka’bah.” Seorang ibu juga menyatakan bahwa setelah umrah, ia berhenti bergunjing dan lebih sering membaca Al-Qur’an di rumah. Ada pula seorang remaja yang mengaku tidak ingin lagi menunda salat sejak kembali dari umrah.
Perubahan-perubahan kecil ini lahir dari pengalaman batin yang dalam. Umrah tidak hanya membersihkan dosa, tapi juga membentuk ulang kebiasaan. Banyak yang merasa lebih ringan dalam menghadapi masalah karena telah belajar menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Testimoni ini menjadi bukti nyata bahwa umrah bisa mengubah seseorang, asalkan ia benar-benar membiarkan hatinya disentuh oleh pengalaman spiritual yang tulus.
6. UAH: “Pulang Bukan Akhir, Tapi Awal Perjalanan Sejati”
UAH menutup momen perpisahan itu dengan kalimat yang menyentuh seluruh jamaah:
“Jangan kalian kira pulang adalah akhir. Justru inilah awal dari perjalanan sejati. Di Makkah dan Madinah, kalian belajar mencintai Allah. Sekarang waktunya membuktikan cinta itu dalam keseharian.”
Kalimat ini menjadi pengingat bahwa umrah adalah awal, bukan puncak. Umrah harus melahirkan pribadi baru: lebih taat, lebih tenang, lebih sabar, dan lebih bersyukur. Pulang dari Tanah Suci berarti membawa tanggung jawab — tanggung jawab untuk menjaga kemuliaan yang telah diraih.