Setiap ibadah dalam Islam sejatinya berpijak pada petunjuk wahyu. Terlebih umrah, yang merupakan perjalanan spiritual menuju pusat tauhid: Baitullah. Ustadz Adi Hidayat (UAH) dalam banyak bimbingan umrah selalu menekankan pentingnya menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya perjalanan. Sebelum jamaah berangkat, UAH memilih lima ayat Al-Qur’an untuk direnungkan—ayat-ayat yang bukan hanya memberi pemahaman, tapi juga kekuatan dalam menghadapi dinamika ibadah. Artikel ini mengulas kelima ayat tersebut beserta makna, refleksi, dan aplikasinya, agar umrah menjadi perjalanan yang benar-benar terarah dan penuh makna.
1. UAH Memilih Lima Ayat untuk Diresapi Jamaah Sebelum Berangkat
Sebelum keberangkatan, UAH membagikan lima ayat yang dianggap mewakili kebutuhan ruhani jamaah dalam menunaikan ibadah umrah. Ayat-ayat ini tidak hanya sebagai pengingat, tetapi juga sebagai sumber kekuatan batin di tengah keterbatasan fisik dan ujian selama perjalanan.
Kelima ayat tersebut adalah:
- QS. Al-Baqarah: 197 – tentang pentingnya menjaga takwa saat berhaji dan umrah.
- QS. Al-Hajj: 32 – tentang memuliakan syiar Allah.
- QS. At-Taubah: 103 – tentang pensucian diri melalui pengorbanan.
- QS. Al-Insyirah: 5-6 – tentang harapan setelah kesulitan.
- QS. Al-Ankabut: 69 – tentang ganjaran bagi orang yang berjihad di jalan Allah.
UAH menjelaskan, “Ayat-ayat ini bukan sekadar dibaca, tapi harus menjadi napas dalam setiap langkah umrah.” Karena itu, beliau mendorong jamaah untuk mulai membacanya jauh-jauh hari dan membawa makna-maknanya dalam hati.
2. Setiap Ayat Dibahas Maknanya dan Aplikasinya dalam Umrah
Dalam setiap manasik, UAH tidak hanya membacakan ayat, tapi juga mengurai makna dan aplikasinya secara praktis. Misalnya, QS. Al-Baqarah: 197 yang menyebutkan larangan rafats (ucapan kotor), fusuq (maksiat), dan jidal (perdebatan) selama ibadah. Ini menjadi panduan adab dasar jamaah selama berada di Tanah Suci.
Ayat lainnya, QS. Al-Hajj: 32, mengajak untuk memuliakan syiar Allah, termasuk Ka’bah, ihram, waktu-waktu mustajab, dan adab masjid. Sedangkan QS. At-Taubah: 103 mengingatkan bahwa harta dan diri yang dikorbankan dalam perjalanan ini adalah bentuk pembersihan jiwa.
UAH sering memberi contoh konkret: menjaga lisan dalam antrean, menahan amarah saat kelelahan, atau tetap berdzikir saat tersesat. Semua itu adalah bentuk pengamalan nyata dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka pelajari.
3. Hubungan Ayat-Ayat Tersebut dengan Niat, Sabar, dan Syukur
Kelima ayat yang dipilih oleh UAH bukan tanpa alasan. Setiap ayat beririsan dengan tiga nilai utama yang sangat penting dalam umrah: niat, sabar, dan syukur. Niat adalah fondasi awal, sabar adalah penguat di tengah perjalanan, dan syukur adalah bentuk penerimaan terhadap hasil dari ibadah.
Contohnya, QS. Al-Insyirah: 5-6 mengajarkan bahwa setelah kesulitan, akan ada kemudahan. Ini sangat relevan saat jamaah menghadapi tantangan fisik seperti kelelahan, cuaca panas, atau kendala teknis selama ibadah.
Sementara QS. Al-Ankabut: 69 memberikan harapan: bahwa siapa pun yang bersungguh-sungguh, Allah akan membimbing jalannya. Ini menjadi energi besar bagi mereka yang awalnya ragu, takut, atau merasa tidak mampu, bahwa keikhlasan akan dibalas dengan pertolongan-Nya.
UAH menegaskan bahwa ayat-ayat ini bukan hanya untuk dipahami, tapi untuk ditanamkan agar menjadi pegangan saat iman mulai melemah.
4. Refleksi Jamaah Terhadap Ayat yang Paling Menyentuh
Setelah dibimbing merenungi kelima ayat tersebut, banyak jamaah yang membagikan refleksi pribadi mereka. Seorang ibu mengaku sangat tersentuh dengan ayat “fa inna ma’al ‘usri yusra” (QS. Al-Insyirah), karena perjalanan umrahnya sempat tertunda bertahun-tahun akibat keterbatasan biaya.
Seorang pemuda lain mengatakan bahwa ayat QS. At-Taubah: 103 membuatnya sadar betapa pentingnya membersihkan hati dari kebanggaan dunia. Ia mengatakan, “Saya ke sini bukan untuk pamer, tapi untuk bersih-bersih diri.”
Refleksi ini menjadi bukti bahwa tadabbur sebelum umrah bisa memperdalam pengalaman ibadah. Bukan hanya tubuh yang berjalan, tapi hati pun ikut tersentuh dan terarah. Setiap ayat menjadi cermin, dan setiap kata Allah menjadi pelita dalam hati yang sedang mencari jalan pulang.
5. Panduan UAH agar Jamaah Membaca dan Mentadabburi Tiap Hari
UAH memberikan tips praktis agar jamaah bisa membaca dan mentadabburi ayat-ayat ini secara konsisten. Beliau menyarankan membuat jadwal harian untuk membaca satu ayat setiap pagi, lalu merenungkannya sejenak sebelum beraktivitas.
“Tidak perlu banyak, tapi harus berulang. Ayat yang sama bisa menguatkanmu hari ini dan menyelamatkanmu besok,” ujar UAH. Ia juga mendorong jamaah untuk menuliskan refleksi harian di buku catatan kecil—apa pelajaran dari ayat itu dan bagaimana menerapkannya hari ini.
Langkah ini tidak hanya memperkaya perjalanan ibadah, tetapi juga menjadi bekal ketika pulang nanti. Karena Al-Qur’an tidak berhenti di Tanah Suci. Ia harus terus hidup di rumah, di tempat kerja, dan dalam setiap keputusan hidup.
6. Al-Qur’an Sebagai Penuntun Selama dan Setelah Ibadah
UAH mengakhiri bimbingan ayat ini dengan satu pesan penting: “Jangan tinggalkan Al-Qur’an setelah pulang.” Umrah adalah titik balik, dan Al-Qur’an adalah kompasnya. Jika selama perjalanan Al-Qur’an menjadi penuntun, maka setelah pulang ia harus menjadi cahaya harian.
Beliau mengingatkan bahwa banyak orang berubah saat di Makkah dan Madinah, tapi kembali ke kebiasaan lama setelah kembali. Itu terjadi karena Al-Qur’an hanya dibaca sesekali, bukan dijadikan pendamping tetap.
Maka, umrah yang mabrur bukan hanya tentang sahnya ibadah, tapi tentang istiqamah setelah pulang. Dan istiqamah hanya mungkin jika Al-Qur’an terus hidup di dalam hati.