Ibadah umrah bukan sekadar perjalanan religius, melainkan momen transformasi diri yang dimulai dari niat yang tulus. Banyak jamaah yang berangkat ke Tanah Suci membawa semangat besar, tapi belum tentu dengan niat yang tepat. Dalam berbagai momen bimbingannya, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menegaskan bahwa niat adalah pondasi utama—jika salah niat, maka salah arah. Artikel ini mengajak kita merenungi kembali tiga niat yang harus dibenahi agar umrah menjadi ladang pahala, bukan sekadar aktivitas spiritual tanpa makna.
1. UAH Menekankan Pentingnya Niat sebagai Fondasi Utama Ibadah
Niat dalam ibadah adalah penentu nilai amal. UAH selalu mengingatkan bahwa Allah tidak melihat rupa dan tindakan fisik kita, tetapi hati yang tersembunyi di baliknya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Umrah, meskipun dilakukan dengan rukun-rukun yang jelas, akan kehilangan ruhnya jika tidak dilandasi dengan niat yang benar.
UAH menjelaskan bahwa jamaah sering kali terlalu fokus pada teknis ibadah—berapa kali thawaf, di mana harus bertalbiyah, kapan sai dimulai—namun lupa memurnikan niat sebelum semua itu dimulai. Padahal niat adalah awal sekaligus penentu apakah ibadah diterima atau tidak.
Ia juga menekankan bahwa niat tidak cukup hanya di awal keberangkatan, tapi harus dijaga selama perjalanan. “Jangan biarkan hati lelah hanya karena sibuk fisik, tapi kosong dari makna,” tegas UAH dalam sebuah bimbingan sebelum keberangkatan.
2. Niat yang Keliru: Sekadar Pamer, Wisata, atau Sosialita
Sayangnya, dalam era media sosial, umrah terkadang menjadi ajang pamer. Ada yang berangkat umrah untuk sekadar memenuhi konten Instagram, meng-update status dengan foto-foto Masjidil Haram, atau berpenampilan mewah demi tampil anggun di depan Ka’bah. UAH menyebut ini sebagai bentuk “ibadah fisik, tapi hati pelesiran”.
Beberapa jamaah bahkan mengakui bahwa mereka berangkat karena ‘ikut-ikutan teman’ atau agar tampak religius di mata kolega. Umrah pun berubah dari niat ibadah menjadi identitas sosial. Padahal, niat seperti ini membuat ibadah kehilangan substansinya.
UAH mengingatkan bahwa Allah tidak bisa ditipu. “Dia tahu isi hatimu, bahkan sebelum kamu mengucapkan niat,” ujarnya. Maka, jangan sampai perjalanan umrah yang mahal dan berat itu menjadi sia-sia hanya karena niat yang meleset.
3. Niat yang Benar: Taubat, Mendekatkan Diri, dan Memperbaiki Hidup
Niat yang benar dalam umrah adalah untuk bertaubat, memperbaiki hubungan dengan Allah, dan menata ulang hidup dengan lebih bertakwa. Banyak jamaah yang datang ke Tanah Suci dengan membawa beban masa lalu, luka batin, dan keinginan untuk memulai hidup baru.
“Umrah adalah momen menyapu ulang lembaran hati,” ujar UAH. Ia menyarankan agar jamaah meniatkan perjalanan ini sebagai sarana untuk menyucikan jiwa. Bukan hanya sebagai ibadah rutin, tapi sebagai titik balik spiritual.
Beberapa jamaah yang mengikuti arahan ini mengaku hidup mereka berubah. Setelah niat dibersihkan, mereka merasa lebih ringan, lebih tenang, dan ibadah pun lebih khusyuk. Bahkan mereka pulang dengan tekad baru: menjadi hamba yang lebih taat, orang tua yang lebih lembut, dan pekerja yang lebih jujur.
4. Dampak Niat terhadap Kualitas Ibadah dan Hasilnya
Niat bukan hanya mempengaruhi diterima atau tidaknya ibadah, tetapi juga menentukan rasa yang dirasakan selama menjalaninya. Jamaah yang niatnya benar akan merasakan ketenangan, meski fisiknya lelah. Mereka mudah tersentuh saat berdoa, menangis saat thawaf, dan larut dalam dzikir.
Sebaliknya, niat yang salah membuat ibadah terasa hampa. Thawaf jadi seperti berjalan biasa, doa terasa berat, dan waktu di masjid hanya menjadi rutinitas. Maka, niat adalah kunci kualitas pengalaman spiritual selama umrah.
UAH mengingatkan, “Umrah bukan soal capek badan, tapi capek dosa yang ingin dihapus.” Maka, benahi niat bukan hanya untuk ibadah yang diterima, tetapi juga agar kita benar-benar merasakan kehadiran Allah di setiap langkah.
5. Cara Meluruskan Niat Sebelum dan Selama Umrah
Meluruskan niat bisa dimulai dengan merenung dan menyendiri sejenak sebelum berangkat. Tuliskan alasan kenapa ingin umrah. Lalu bawa pertanyaan itu ke dalam doa-doa pribadi. Minta kepada Allah agar diluruskan niat dan dijauhkan dari riya.
Selama umrah, setiap kali merasa lelah atau terganggu oleh godaan dunia, ingatkan diri: “Aku di sini karena Allah.” Bacalah doa pendek: Allahumma aj’al hadzal ‘amala khâlishan li wajhika (Ya Allah, jadikan amal ini murni hanya karena-Mu).
UAH juga menyarankan agar setiap malam, jamaah mengevaluasi niatnya. Tanyakan pada hati: “Hari ini aku ibadah karena apa?” Dengan begitu, hati akan terus terjaga dan langkah akan tetap lurus di jalan Allah.
6. UAH: “Allah Menilai Bukan Kakimu, Tapi Hatimu”
Di penghujung bimbingan umrah, UAH mengingatkan satu kalimat sederhana tapi dalam maknanya: “Allah tidak melihat seberapa jauh kakimu melangkah, tapi seberapa jernih hatimu saat melangkah.”
Kalimat ini menjadi pengingat bahwa Allah tidak tertarik pada seberapa mewah hotel yang ditempati, seberapa dekat lokasi dengan Masjidil Haram, atau seberapa banyak foto yang diambil. Yang Allah lihat adalah kualitas hati, kesungguhan taubat, dan ketulusan niat.
Umrah adalah perjalanan hati, bukan wisata kaki. Maka, sebelum berangkat, benahi niat. Di tengah perjalanan, jaga niat. Dan setelah pulang, buktikan bahwa niat itu benar-benar mengubah hidup.