Bagi sebagian orang, umrah mungkin dianggap sebagai puncak pencapaian spiritual: sebuah capaian hidup yang patut disyukuri. Namun Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan perspektif yang lebih dalam dan membumi. Menurut beliau, umrah bukanlah akhir perjalanan, tapi justru awal dari kehidupan baru. Setiap langkah di Tanah Suci seharusnya mengarah pada perubahan diri yang nyata—baik secara ibadah, akhlak, maupun hubungan dengan sesama. Artikel ini mengajak kita merenungkan kembali, apakah ibadah yang telah kita jalani hanya menjadi kenangan, atau benar-benar mengubah arah hidup.
1. Umrah Bukan Puncak, Melainkan Pintu Menuju Hidup yang Baru
Dalam setiap pembekalan dan tausiyahnya, UAH selalu mengingatkan bahwa umrah bukanlah titik akhir. Justru, ia adalah pintu pembuka untuk memperbaiki hidup secara menyeluruh. Kita mungkin merasa bahwa telah sampai pada puncak spiritual saat berada di hadapan Ka’bah, tetapi menurut beliau, justru dari titik itulah perjuangan sesungguhnya dimulai.
“Ketika kamu kembali dari umrah, kamu bukan lagi orang yang sama. Karena jika hatimu benar-benar tersentuh, maka cara hidupmu pun harus berubah,” tegas UAH. Banyak jamaah yang terharu saat mendengar kalimat ini, karena mereka sadar bahwa Ka’bah telah memanggil mereka bukan untuk sekadar berkunjung, tetapi untuk mengubah diri.
Setiap tangisan saat berdoa, setiap langkah thawaf, setiap detik di Multazam adalah janji antara seorang hamba dengan Tuhannya. Maka, sepulangnya dari Tanah Suci, janji itu harus ditunaikan dalam bentuk amal nyata.’
2. UAH Menekankan Umrah Sebagai Momentum Pembaruan Diri
UAH sering kali menyebut bahwa ibadah umrah adalah momentum hijrah—berpindah dari kelalaian menuju kesadaran, dari kesibukan dunia menuju kekhusyukan kepada Allah. Bagi beliau, umrah bukan tentang menambah koleksi foto suci, tapi tentang membentuk pribadi yang lebih taat, jujur, dan bersih dari dosa.
Ia mengajak setiap jamaah untuk menjadikan umrah sebagai titik evaluasi dan komitmen pembaruan. Tidak harus langsung menjadi sempurna, tapi harus mulai berubah. “Jika saat thawaf kamu menangis, lalu pulang masih sering melalaikan shalat, maka tangisan itu belum jadi perubahan,” ujar UAH dengan penuh ketegasan.
Momentum yang tercipta di Masjidil Haram dan Nabawi harus dijaga dengan amal yang terus meningkat. Seperti sebuah benih yang ditanam, hasilnya bukan dilihat di Tanah Suci, tetapi saat ia tumbuh subur di kehidupan setelahnya.
3. Evaluasi: Apa yang Sudah Berubah Selama di Tanah Suci?
Salah satu kunci agar umrah menjadi titik balik kehidupan adalah melakukan evaluasi diri secara jujur. Apa yang berubah selama beberapa hari di Tanah Suci? Apakah shalat lebih tepat waktu? Apakah lisan lebih terjaga? Apakah hati lebih lembut?
UAH menyarankan agar setiap jamaah membuat catatan pribadi—bukan untuk dibagikan, tapi untuk diri sendiri. Tuliskan hal-hal yang membuat hati tersentuh selama umrah: momen menangis saat sujud, saat berdzikir di Raudhah, atau saat melihat Ka’bah untuk pertama kali. Lalu, dari situ buatlah daftar perubahan yang ingin dipertahankan setelah pulang.
“Kalau kamu bisa sabar di tengah keramaian Masjidil Haram, maka kamu juga bisa sabar menghadapi tetanggamu di rumah,” ucap UAH. Kalimat ini menegaskan bahwa spiritualitas yang sejati adalah yang mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Cara Mempertahankan Semangat Spiritual Setelah Pulang
Tantangan terbesar setelah umrah adalah bagaimana mempertahankan ruh ibadah saat kembali ke rutinitas dunia. Banyak orang yang mengalami spiritual shock—merasa semangat di Tanah Suci, lalu melemah begitu kembali ke tanah air.
UAH memberikan beberapa tips agar semangat spiritual tetap terjaga:
- Tetap jaga waktu shalat, dan usahakan berjamaah di masjid
- Perbanyak dzikir dan membaca Al-Qur’an walau hanya beberapa ayat
- Bergabung dengan komunitas pengajian untuk menjaga lingkungan yang mendukung
- Selalu ingat kembali momen-momen umrah, dan jadikan sebagai motivasi untuk terus dekat kepada Allah
Yang terpenting, menurut UAH, adalah menjadikan rasa rindu kepada Baitullah sebagai bahan bakar untuk istiqamah. Karena siapa yang merindukan Ka’bah dengan hati yang bersih, akan terus dijaga oleh Allah hingga dipanggil kembali.
5. Umrah Sebagai Sarana Memperbaiki Hubungan dengan Allah dan Manusia
Umrah bukan hanya tentang memperbaiki hubungan dengan Allah, tetapi juga tentang memperbaiki hubungan dengan sesama. Banyak jamaah yang menyadari selama umrah bahwa sikap egois, keras hati, dan kelalaian sosial harus ditinggalkan.
“Kalau kamu bisa menunduk di hadapan Ka’bah, maka tunduk jugalah di hadapan orang tuamu,” pesan UAH dalam salah satu sesi motivasi. Ini menunjukkan bahwa kesalehan ritual harus beriringan dengan kesalehan sosial.
Sepulang dari umrah, perbaikilah cara bicara kepada pasangan, perhatian kepada anak, dan akhlak terhadap tetangga. Itulah cara paling nyata untuk menunjukkan bahwa umrah bukan hanya perjalanan rohani, tapi pembenahan diri yang berdampak luas.
6. Pesan Penutup UAH untuk Jamaah agar Istiqamah
Sebagai penutup, UAH selalu menyampaikan pesan yang menyentuh namun kuat: “Istiqamah itu lebih berat dari umrah, tapi lebih utama di sisi Allah.” Ini menjadi peringatan sekaligus motivasi, bahwa mempertahankan perubahan lebih penting dari sekadar mengalaminya sekali.
Beliau menyarankan agar jamaah menetapkan satu target perbaikan setiap bulan—baik dari sisi ibadah, akhlak, maupun kontribusi sosial. Jangan terburu-buru menjadi sempurna, tapi jangan juga berhenti berbenah.
Akhirnya, umrah akan menjadi benar-benar mabrur jika jamaah pulang sebagai pribadi yang berbeda, bukan hanya dari penampilan, tapi dari niat, sikap, dan pilihan hidup. Umrah bukan akhir, melainkan langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju ridha Allah.
1 Komentar
Vella Taqiyyah
September 17, 2025 pukul 6:55 amMasya allah