Setiap muslim yang tiba di depan Ka’bah pasti membawa harapan dan doa-doa yang telah lama disimpan di dalam hati. Di tengah jutaan permintaan yang terucap, ada satu momen yang tak terlupakan bagi jamaah umrah: ketika Ustadz Adi Hidayat (UAH) berdiri di hadapan Ka’bah, memimpin doa dengan hati yang khusyuk. Tidak banyak, namun tiga hal utama selalu menjadi isi doanya—sesuatu yang sederhana, namun mendalam: ampunan, petunjuk, dan keberkahan. Artikel ini mengajak pembaca menyelami makna dari tiga permohonan ini dan bagaimana ia bisa menjadi inspirasi dalam menyusun doa pribadi selama berada di Tanah Suci.

 

1. Momen UAH Berdiri di Hadapan Ka’bah Memimpin Doa Bersama

Dalam suasana hening di pelataran Ka’bah, ribuan jamaah berdiri menghadap kiblat. Di tengah kerumunan, sosok UAH berdiri, tangan terangkat, mata terpejam, dan suara doanya menyatu dengan isak haru para jamaah. Momen ini bukan hanya tentang seorang ustadz yang memimpin doa, tetapi tentang seorang guru yang membimbing hati jamaah untuk memahami makna perjumpaan sejati antara hamba dan Rabb-nya.

Doa dipanjatkan dalam bahasa Arab dan Indonesia, namun rasa yang mengalir tak terbatas oleh kata. Jamaah yang mendengar pun larut dalam kekhusyukan. Ada yang menangis diam-diam, ada yang menggenggam tangan pasangannya, ada pula yang bersimpuh sambil memeluk dirinya sendiri seakan ingin menenangkan gejolak dalam dada.

UAH tak menggunakan kalimat-kalimat panjang atau rumit. Setiap katanya terasa tepat sasaran, menyentuh sisi terdalam dari jiwa yang rindu kepada ampunan dan kasih Allah. Inilah kekuatan doa di hadapan Ka’bah: bukan seberapa indah bahasanya, tapi seberapa tulus dan rendah hati ia terucap.

Doa bersama ini menjadi pengalaman spiritual tak terlupakan bagi banyak jamaah. Mereka merasa benar-benar “diantar” untuk mengadu kepada Allah, dan itu menjadi bekal rohani yang mereka bawa pulang.

 

2. Tiga Hal Utama yang Selalu Beliau Panjatkan: Ampunan, Petunjuk, Keberkahan

Ketika banyak orang sibuk meminta dunia, UAH mengajarkan bahwa ada tiga hal yang seharusnya menjadi prioritas setiap doa: ampunan, petunjuk, dan keberkahan. Ketiganya bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga, umat, dan generasi setelahnya.

Pertama, ampunan adalah dasar dari segala kebaikan. Seorang hamba yang diampuni akan memulai segalanya dengan hati yang bersih dan lapang. Dalam doanya, UAH sering memohon agar dosa-dosa disembunyikan dari manusia, tapi diampuni oleh Allah. Ini menunjukkan bahwa kehormatan kita di dunia bukan karena tak punya dosa, tapi karena Allah masih menutupi aib kita.

Kedua, petunjuk (hidayah). Tanpa petunjuk, seseorang bisa tersesat bahkan dalam ibadah. UAH memohon agar setiap langkah jamaah selalu dipandu menuju jalan yang diridhai. Petunjuk ini mencakup arah hidup, ketetapan iman, dan kemampuan memilih yang benar di tengah banyaknya pilihan dunia.

Ketiga, keberkahan. UAH mengingatkan bahwa bukan jumlah yang penting, tapi keberkahan. Sedikit yang berkah lebih baik dari banyak yang membuat lalai. Maka, beliau selalu meminta agar hidup jamaah dipenuhi keberkahan—baik dalam waktu, harta, usia, maupun keluarga.

Tiga permintaan ini adalah dasar dari kehidupan yang tenang dan bermakna. Dan menariknya, semuanya tak bisa dibeli oleh dunia.

 

3. Makna Setiap Poin Doa dan Dampaknya bagi Jamaah

Setiap kali UAH menyebutkan tiga permintaan itu, jamaah mulai menyadari bahwa selama ini mungkin terlalu banyak berdoa untuk urusan dunia semata. Ampunan, petunjuk, dan keberkahan terasa sederhana, namun justru itulah yang paling dibutuhkan dalam hidup yang sementara ini.

Ampunan membuka jalan perubahan. Seorang jamaah pernah berkata bahwa setelah mendengar doa UAH, ia merasa seperti baru sadar bahwa selama ini dirinya membawa beban yang tak pernah ia akui di hadapan Allah. Dan ketika ia bersimpuh memohon ampunan, hatinya menjadi lebih ringan.

Petunjuk menjadi pelita dalam hidup. Banyak jamaah yang merasa galau dalam mengambil keputusan—baik dalam pekerjaan, rumah tangga, atau masa depan. Mendengar doa agar selalu diberi hidayah, mereka merasa lebih yakin dan tenang menjalani hidup selepas umrah.

Keberkahan adalah harapan yang luas. Seorang ibu bercerita bahwa ia dahulu hanya berdoa agar anaknya sukses. Tapi setelah mendengar doa UAH, ia mengganti doanya: bukan lagi sekadar sukses, tapi anak yang diberi keberkahan ilmu dan amal.

Makna tiga doa ini benar-benar meresap dalam batin jamaah. Mereka pulang dari umrah bukan hanya membawa oleh-oleh, tapi membawa sudut pandang baru dalam menyusun harapan kepada Allah.

 

4. Reaksi Jamaah yang Larut dalam Haru dan Tangis

Momen doa UAH di depan Ka’bah bukan sekadar ritual, tapi pengalaman spiritual yang menggetarkan. Banyak jamaah yang tak sanggup menahan tangis. Bahkan beberapa di antaranya sampai tersungkur sujud, memeluk sajadah, atau hanya diam dengan air mata yang tak henti mengalir.

Seorang bapak paruh baya mengaku bahwa selama hidupnya, ia jarang menangis. Tapi ketika mendengar doa UAH, ia merasa seperti sedang diadili oleh hatinya sendiri. Air mata itu bukan karena sedih, tapi karena merasa dicintai dan disambut oleh Allah setelah lama menjauh.

Ada juga sepasang suami-istri yang memutuskan berdamai dan saling meminta maaf setelah momen doa bersama itu. Mereka menyadari bahwa selama ini terlalu sibuk meminta perubahan pada pasangan, tapi lupa meminta ampun dan petunjuk untuk diri sendiri.

Reaksi-reaksi ini menjadi bukti bahwa doa yang tulus mampu membuka gerbang taubat dan cinta yang dalam. Dan Ka’bah, sebagai rumah Allah, benar-benar menjadi saksi bagaimana hamba kembali pulang dalam pelukan Rabb-nya.

 

5. Pesan UAH: “Mintalah yang Tak Bisa Dibeli Dunia”

UAH sering mengingatkan jamaah bahwa Allah Maha Kaya, tapi kita sering datang meminta hal yang bisa dicari sendiri di dunia. Dalam satu momen ia berkata, “Kalau kalian sudah di sini, mintalah yang dunia tak bisa beri. Mintalah ketenangan. Mintalah akhir yang husnul khatimah. Mintalah ampun yang menyelamatkan.”

Pesan ini begitu kuat, karena menyentuh pada hakikat ibadah: bahwa manusia harus kembali menjadi hamba. UAH ingin menanamkan kesadaran bahwa meski kita hidup di tengah dunia yang materialistik, hati harus tetap terhubung dengan akhirat.

Beliau juga menekankan bahwa doa terbaik bukan yang panjang, tapi yang berasal dari kedalaman hati. Maka, tak perlu takut kehabisan kata. Cukup hadirkan diri di hadapan Allah, dan ucapkan, “Ya Rabb, Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang aku butuhkan.”

Doa yang benar akan meninggalkan bekas dalam hidup. Ia menumbuhkan kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan bahwa apa pun jawaban Allah, pasti yang terbaik.

 

6. Inspirasi Menyusun Doa Pribadi selama Umrah

Momen umrah adalah kesempatan langka. Maka, siapkan doa dengan hati, bukan hanya daftar keinginan. UAH mengajarkan bahwa menyusun doa itu seperti menyusun cita-cita akhirat. Mulailah dengan memohon ampun, lanjutkan dengan permintaan agar hati tetap di jalan yang benar, lalu tutuplah dengan permohonan kebaikan bagi orang tua, pasangan, anak-anak, dan umat.

Sebaiknya doa tidak hanya berfokus pada dunia. Sisipkan juga doa agar selalu istiqamah, tidak berpaling dari kebaikan, dan diberi teman hidup yang salih, ilmu yang bermanfaat, serta umur yang berkah. Mintalah ketetapan iman, dan kekuatan untuk menutup hidup dalam keadaan husnul khatimah.

Jamaah juga disarankan menulis doa-doa khusus di buku saku, agar saat berada di Multazam atau saat tahajud di Masjidil Haram, mereka bisa membacanya dengan khusyuk dan terarah. Karena doa yang terencana lebih mudah dijaga dan dikhidmati.

Dan yang terpenting, jangan lupa mendoakan orang lain. Karena sering kali, doa yang paling ikhlas adalah doa yang kita panjatkan untuk kebahagiaan orang lain.