Umrah adalah panggilan hati, bukan sekadar perjalanan fisik. Di antara ribuan jamaah yang menunaikan ibadah ke Tanah Suci, ada satu kisah yang menggugah: seorang jamaah difabel yang tetap teguh dan semangat menunaikan setiap rukun umrah. Ditemani bimbingan langsung dari Ustadz Adi Hidayat (UAH), kisah ini menjadi bukti nyata bahwa bukan tubuh yang menentukan kekuatan ibadah, tetapi hati yang dipenuhi iman dan keikhlasan. Mari kita renungi semangat luar biasa yang membakar jiwa dari perjalanan spiritual ini.

 

Kisah Nyata Seorang Jamaah Difabel yang Berjuang Menjalani Umrah

Adalah seorang pria paruh baya dengan keterbatasan fisik di kaki kirinya, yang sejak kecil harus menggunakan kursi roda untuk aktivitas sehari-hari. Namun, keterbatasan itu tak pernah mengurangi niatnya untuk menunaikan umrah. Selama bertahun-tahun, ia menabung dari hasil berdagang kecil-kecilan di kampung halamannya.

Ketika kesempatan itu tiba, ia mendaftar bersama rombongan UAH. Meski dokter sempat menyarankan untuk menunda karena kondisi kakinya yang rapuh, ia justru menjawab,

“Kalau Allah yang memanggil, siapa aku untuk menolak?”

Keberangkatannya bukan hanya perjuangan fisik, tetapi juga perjalanan batin menuju cinta sejati kepada Sang Pencipta.

 

UAH Membimbing dan Menyemangati Langsung Sepanjang Ibadah

UAH dikenal sebagai pembimbing yang memperhatikan semua jamaah tanpa terkecuali. Ketika mengetahui ada jamaah difabel, beliau langsung memastikan bahwa fasilitas dan tim siap mendukung ibadahnya. Namun, lebih dari itu, UAH sendiri mendampingi sang jamaah dalam beberapa momen penting seperti thawaf dan sai.

Saat thawaf pertama, UAH mendorong kursi roda sang jamaah sambil membacakan doa-doa penuh makna. Beberapa jamaah melihat pemandangan itu dan tak kuasa menahan tangis.

“Jangan lihat kursinya, lihat semangatnya,” ucap UAH.

Dalam sai yang cukup menguras energi, sang jamaah meminta untuk berhenti sejenak lalu berkata,

“Saya ingin mencoba berdiri walau sebentar. Saya ingin punya jejak sendiri di Tanah Suci ini.”

Dan dengan penuh haru, ia berdiri meski hanya beberapa langkah, menjadi saksi bahwa cinta kepada Allah bisa melampaui batas tubuh.

 

Keteladanan Luar Biasa dari Kesabaran dan Keteguhan Hatinya

Tak pernah ada keluhan dari bibirnya, bahkan saat suhu mencapai lebih dari 40°C. Setiap kali ada jamaah lain menawari bantuan, ia hanya menjawab:

“Saya tidak ingin merepotkan, saya hanya ingin disayang Allah.”

Kesabarannya menjadi inspirasi nyata. Bahkan dalam kondisi keterbatasan, ia tak pernah meminta prioritas atau kemudahan khusus. Ia lebih sering diam, banyak berdzikir, dan menatap Ka’bah dengan mata berkaca-kaca.

UAH mengatakan dalam salah satu tausiyah,

“Ia datang dengan tubuh terbatas, tapi hatinya sangat luas. Itulah hamba yang datang bukan karena mampu, tapi karena dipanggil dengan cinta.”

 

Reaksi Jamaah Lain yang Terinspirasi oleh Perjuangan Ini

Banyak jamaah yang mengaku malu dan tersentuh oleh perjuangan sang difabel. Seorang pemuda yang awalnya sering mengeluh karena kelelahan fisik justru menangis setelah melihat betapa sabarnya pria tersebut menjalani ibadah tanpa keluh.

Seorang ibu juga bercerita bahwa setelah menyaksikan momen thawaf sang difabel, ia memutuskan untuk tidak lagi mengeluh tentang kakinya yang pegal atau antrean panjang. Semangat dan keikhlasan pria itu menjalar menjadi kekuatan spiritual kolektif bagi seluruh rombongan.

Bahkan, beberapa jamaah meminta foto bersama bukan karena ketenaran, tapi karena ingin menyimpan semangat orang yang mereka anggap sebagai “pahlawan iman dalam diam.”

 

Pelajaran Besar tentang Keikhlasan dan Ketundukan

Kisah ini mengajarkan kita bahwa ibadah bukan tentang fisik, tetapi tentang kesungguhan hati. Dalam keterbatasannya, sang jamaah menunjukkan bahwa keikhlasan bisa menjadi bahan bakar yang tak akan habis selama kita benar-benar berserah kepada Allah.

“Saya tidak tahu apakah ini umrah pertama dan terakhir saya. Tapi saya tidak mau sia-siakan. Saya ingin Allah tahu saya datang dengan cinta.”

Kisah ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa banyak yang tubuhnya sehat, tapi hatinya berat melangkah ke rumah Allah. Sementara ada yang tubuhnya terbatas, tapi hatinya terbang bebas menghadap-Nya.

\

UAH: “Bukan Tubuhmu, Tapi Hatimu yang Dipanggil Allah”

UAH mengakhiri kisah ini dengan sebuah pernyataan yang sangat dalam:

“Banyak yang berpikir Allah hanya memanggil mereka yang sehat dan kuat. Padahal, Allah memanggil hati yang rindu, bukan tubuh yang sempurna. Karena Ka’bah bukan tempat lomba fisik, tapi tempat kembali bagi hati yang ingin pulang.”

Kalimat ini membekas dalam hati para jamaah. Mereka mulai menyadari bahwa umrah bukan soal seberapa kuat tubuh kita menahan panas, tetapi seberapa dalam hati kita siap untuk berubah.