Banyak calon jamaah umrah merasa berat bukan karena ibadahnya, tetapi karena anggapan bahwa umrah itu mahal dan identik dengan gaya hidup mewah. Namun, Ustadz Adi Hidayat (UAH) kerap menegaskan bahwa esensi umrah adalah kesucian hati, bukan kemewahan fasilitas. Artikel ini membahas bagaimana UAH memberikan panduan hemat dan bijak dalam mengelola biaya umrah, agar ibadah tetap khusyuk tanpa membebani secara finansial. Sebab, dalam ibadah, yang paling penting adalah keberkahan—bukan penampilan.

 

Perencanaan Dana Umrah Sejak Awal: Realistis dan Proporsional

UAH selalu menekankan bahwa niat ibadah harus dibarengi dengan perencanaan matang. Salah satu langkah awalnya adalah membuat anggaran dana umrah yang realistis dan sesuai kemampuan. Jangan menunda niat hanya karena belum mampu membayar paket paling mahal. Mulailah dari menyisihkan uang secara rutin, meski kecil, namun konsisten.

Membuat tabungan khusus, mengikuti arisan umrah yang syar’i, atau berkonsultasi dengan travel resmi bisa membantu menyusun perencanaan jangka menengah. Hindari mentalitas “nanti kalau sudah kaya baru umrah”, karena yang dicari bukan kemapanan dunia, tetapi kesiapan jiwa. Dengan niat yang lurus dan ikhtiar yang serius, Allah akan bukakan jalan.

 

Pilihan Paket Umrah yang Sesuai Kebutuhan Ibadah, Bukan Gaya Hidup

Di tengah maraknya paket umrah eksklusif dengan hotel bintang lima dan fasilitas mewah, UAH mengingatkan:

“Jangan sampai kamu berangkat untuk gaya, tapi pulang tanpa bekas ibadah.”

Pilihlah paket umrah yang memudahkan ibadah, bukan memanjakan kenyamanan semu. Hotel dekat masjid memang penting, tapi bukan berarti harus yang termewah. Fokus utamanya tetap pada akses ibadah, kenyamanan yang cukup, dan bimbingan spiritual yang jelas.

UAH juga menyarankan agar jamaah memperhatikan isi program: Apakah ada bimbingan manasik? Apakah ada kajian selama di Tanah Suci? Apakah pembimbingnya kompeten? Ini semua lebih penting daripada kamar hotel atau menu buffet.

 

UAH: “Prioritaskan Ruh, Bukan Rupa”

Dalam salah satu ceramahnya, UAH mengingatkan jamaah dengan kalimat yang tegas namun sarat makna:

“Kalau kamu pergi untuk ibadah, maka prioritaskan ruhnya, bukan rupanya.”

Kalimat ini menjadi pegangan bahwa esensi umrah adalah penyucian jiwa. Rupa—seperti foto-foto di Instagram, gaya pakaian, atau kemasan perjalanan—adalah hal sekunder. Sayangnya, banyak yang justru terjebak di situ. Mereka mengukur keberhasilan umrah dari banyaknya dokumentasi, bukan dari perubahan hati.

Dengan prinsip ini, seseorang bisa lebih fokus menyusun bekal ruhani: memperbanyak bacaan Al-Qur’an, memahami rukun-rukun umrah, dan menyiapkan mental untuk ibadah yang penuh makna. Umrah yang diberkahi adalah umrah yang menyentuh hati, bukan hanya memanjakan mata.

 

Tips Mengatur Uang Saku Selama di Tanah Suci

UAH juga memberikan beberapa tips praktis dalam mengelola uang saku umrah, agar tidak boros:

  • Buat anggaran harian, misalnya untuk makan, transportasi ringan, dan oleh-oleh sederhana.

  • Bawa uang dalam pecahan kecil, agar tidak cepat habis karena belanja impulsif.

  • Prioritaskan kebutuhan ibadah, seperti air zamzam, mushaf, atau buku panduan, bukan barang konsumtif.

  • Gunakan tas khusus uang saku, agar tidak mudah tercampur dengan uang utama.

  • Catat pengeluaran ringan setiap malam, agar tetap terkontrol dan tidak kaget saat pulang.

Dengan cara ini, jamaah bisa lebih fokus beribadah tanpa tergoda banyaknya pusat perbelanjaan di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

 

Menghindari Pengeluaran Konsumtif dan Mubazir

Salah satu godaan di Tanah Suci adalah belanja berlebihan. Suvenir, kurma, parfum, dan barang khas Mekkah sering kali membuat jamaah lupa diri. UAH mengingatkan bahwa belanja boleh, tapi jangan sampai menggeser fokus ibadah. Terlebih lagi, berlebihan dalam membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan termasuk dalam perbuatan mubazir.

“Yang Allah catat bukan berapa banyak oleh-oleh yang kau bawa pulang, tapi berapa banyak doa dan istighfar yang kau panjatkan,” ujar UAH.

Ingat bahwa oleh-oleh terbaik dari umrah adalah perubahan akhlak, bukan tas koper penuh barang. Dengan pengelolaan yang bijak, jamaah bisa menahan diri dan tetap menjaga keberkahan perjalanan.

 

Prinsip “Cukup” dalam Ibadah yang Diberkahi

Dalam Islam, prinsip “kifayah” atau cukup adalah bagian dari zuhud yang sehat. Artinya, bukan menolak dunia, tetapi mengambil secukupnya agar hati tetap lapang. UAH menekankan bahwa yang penting dalam umrah adalah kebersihan niat, kekhusyukan ibadah, dan penguatan iman.

Umrah yang diberkahi bukan ditentukan oleh mahalnya paket atau banyaknya belanja, tapi oleh keikhlasan dan dampak spiritualnya setelah pulang. Maka, berangkatlah dengan prinsip “cukup”—cukup untuk nyaman, cukup untuk makan, dan cukup untuk beribadah dengan tenang.