Ziarah ke makam para pendahulu Islam adalah tradisi yang sarat makna spiritual, edukatif, sekaligus reflektif. Bagi umat Islam, menziarahi makam bukan hanya sekadar mengunjungi tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga sebuah ibadah yang mengandung hikmah mendalam: mengingatkan akan kematian, mendoakan para pendahulu, dan mengambil pelajaran dari perjuangan mereka. Rasulullah ﷺ bersabda: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim).
Salah satu tempat ziarah paling agung dalam sejarah Islam adalah Makam Baqi’ di Madinah, sebuah kompleks pemakaman yang telah menjadi saksi bisu perjalanan dakwah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Di sanalah banyak tokoh besar Islam, para syuhada, istri-istri Rasulullah ﷺ, hingga sahabat utama dimakamkan. Maka, berziarah ke Baqi’ bukan sekadar kegiatan ritual, tetapi juga sebuah perjalanan ruhani yang menyambungkan hati umat Islam dengan generasi awal penyebar Islam.
Ustadz Adi Hidayat (UAH), salah satu ulama kontemporer yang sering mendampingi jamaah dalam ziarah Baqi’, kerap menekankan bahwa tujuan utama dari ziarah adalah mengambil hikmah, meneladani perjuangan para sahabat, serta memperkuat kesadaran akan kefanaan dunia. Ziarah bukan untuk meminta pada penghuni kubur, melainkan mendoakan mereka sebagaimana tuntunan Rasulullah ﷺ. Dengan cara itu, ziarah ke Baqi’ dapat menghidupkan kembali semangat Islam dalam diri setiap jamaah.
Artikel ini akan membahas secara runtut: sejarah singkat Baqi’, siapa saja sahabat besar yang dimakamkan di sana, penjelasan UAH tentang adab ziarah, refleksi atas perjuangan para pendahulu, doa-doa khusus yang dianjurkan, serta makna ziarah yang bukan hanya mengenang, tetapi menghidupkan semangat Islam. Dengan begitu, pembaca dapat memahami bahwa ziarah ke Baqi’ bukan sekadar bagian dari perjalanan haji atau umrah, melainkan sebuah madrasah kehidupan yang penuh hikmah.
Sejarah Singkat Kompleks Pemakaman Baqi’ di Madinah
Makam Baqi’ atau yang dikenal dengan Jannatul Baqi’ adalah kompleks pemakaman utama di Madinah yang telah digunakan sejak masa Rasulullah ﷺ. Lokasinya terletak tidak jauh dari Masjid Nabawi, tepat di sebelah timur, sehingga sangat mudah dijangkau jamaah yang sedang berziarah. Nama “Baqi’” sendiri berasal dari kata bahasa Arab al-baqi’, yang berarti kebun yang penuh dengan pohon-pohon kecil. Sebelum dijadikan pemakaman, tempat ini memang berupa lahan terbuka dengan pepohonan.
Sejarah mencatat, jenazah pertama yang dimakamkan di Baqi’ adalah sahabat Nabi ﷺ bernama Utsman bin Mazh’un, seorang muhajirin yang wafat tak lama setelah hijrah ke Madinah. Rasulullah ﷺ sendiri turun tangan dalam proses pemakamannya, dan sejak saat itu Baqi’ dijadikan sebagai pemakaman kaum muslimin. Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ sering berdoa bagi penghuni Baqi’: “Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni tempat kaum mukminin. Sungguh, kami insyaAllah akan menyusul kalian.”
Seiring perjalanan waktu, Baqi’ menjadi tempat dimakamkannya ribuan sahabat, tabi’in, dan orang-orang saleh. Para khalifah, ulama, hingga keluarga Rasulullah ﷺ pun dimakamkan di sana. Karena itu, Baqi’ dianggap sebagai salah satu pemakaman paling mulia di dunia Islam. Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki yang lahir dan wafat di Madinah, pernah berkata: “Tidak ada tempat di bumi setelah Masjid Nabawi yang lebih aku cintai daripada Baqi’, karena di sana bersemayam para sahabat Rasulullah.”
Sayangnya, dalam lintasan sejarah, Baqi’ beberapa kali mengalami penghancuran bangunan-bangunan makam oleh penguasa tertentu yang beraliran ketat dalam memahami tauhid. Meski demikian, kemuliaan Baqi’ tidak pernah pudar, karena nilai utamanya bukan pada bangunan makam, melainkan pada keagungan orang-orang yang dikuburkan di dalamnya. Hingga hari ini, Baqi’ tetap menjadi destinasi ziarah utama bagi jamaah haji dan umrah dari seluruh dunia. Baqi’ tidak hanya menjadi simbol sejarah Islam, tetapi juga cermin keterhubungan antara umat kini dengan generasi awal Islam. Di sana, jamaah bisa merasakan kedekatan dengan sahabat dan keluarga Rasulullah ﷺ, sekaligus menyadari bahwa setiap manusia, sehebat apa pun, akan kembali ke tanah. Firman Allah ﷻ: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.” (QS. Ali Imran: 185).
Ziarah ke Baqi’ mengajarkan kerendahan hati dan kesiapan menghadapi kematian. Banyak jamaah yang tersentuh hatinya ketika menyadari bahwa mereka sedang berdiri di tanah yang menjadi peristirahatan akhir ribuan sahabat. Inilah yang membuat Baqi’ lebih dari sekadar situs sejarah: ia adalah pengingat akhirat yang hidup.
Rasulullah ﷺ sendiri sangat menghormati penghuni Baqi’. Diriwayatkan bahwa beliau sering datang ke Baqi’ di malam hari untuk mendoakan para sahabat yang telah wafat. Aisyah r.a. meriwayatkan: “Rasulullah ﷺ setiap malam giliran beliau di rumahku, beliau keluar pada akhir malam menuju Baqi’, lalu berdoa: ‘Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kita dan yang belakangan. Kami insyaAllah akan menyusul kalian.’” (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan Baqi’ dalam hati Rasulullah ﷺ. Bagi umat Islam, mengikuti jejak Nabi dengan berziarah ke Baqi’ bukan hanya sebuah amalan, melainkan juga bentuk penghormatan terhadap sunnah beliau.
Sahabat Besar yang Dimakamkan di Baqi’: Utsman bin Affan, Istri-istri Nabi, dan Tokoh Penting Lainnya
Salah satu sahabat paling mulia yang dimakamkan di Baqi’ adalah Utsman bin Affan r.a., khalifah ketiga umat Islam. Beliau dikenal dengan julukan Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), karena menikahi dua putri Rasulullah ﷺ secara bergantian: Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Utsman bin Affan r.a. dikenal sebagai sosok yang lembut, dermawan, dan penuh ketakwaan.
Sejarah mencatat, Utsman wafat dalam keadaan syahid setelah dikepung di rumahnya. Beliau tetap teguh memegang prinsip, meski difitnah dan dikhianati oleh sebagian orang. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Baqi’, menjadikan tempat ini saksi bagi pengorbanan seorang khalifah yang dijanjikan surga. Rasulullah ﷺ pernah bersabda tentang beliau: “Setiap Nabi mempunyai sahabat di surga, dan sahabatku di surga adalah Utsman.” (HR. Ahmad).
Bagi jamaah yang berziarah ke Baqi’, mengingat sosok Utsman bin Affan adalah pelajaran tentang kesabaran, keteguhan iman, serta pengorbanan untuk umat.
Selain Utsman bin Affan, di Baqi’ juga dimakamkan banyak istri Rasulullah ﷺ, kecuali Khadijah r.a. (dimakamkan di Makkah) dan Maimunah r.a. (dimakamkan di Sarif). Di antara mereka adalah:
- Aisyah binti Abu Bakar r.a.: Ummul Mukminin yang menjadi sumber lebih dari dua ribu hadits.
- Hafshah binti Umar r.a.: Penjaga mushaf Al-Qur’an pertama setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.
- Ummu Salamah r.a.: Sosok penuh kebijaksanaan yang menjadi rujukan para sahabat.
Keberadaan para istri Nabi di Baqi’ menunjukkan betapa kompleks ini bukan hanya pemakaman biasa, melainkan juga penjaga sejarah peradaban Islam. Ziarah ke makam mereka adalah kesempatan untuk merenungkan peran besar perempuan dalam membangun umat.
Selain Utsman bin Affan dan istri-istri Nabi, banyak sahabat besar lain yang dimakamkan di Baqi’, di antaranya:
- Ibrahim bin Muhammad ﷺ, putra Nabi dari Maria al-Qibthiyyah.
- Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah ﷺ yang mulia.
- Hasan bin Ali r.a., cucu Rasulullah ﷺ yang juga merupakan pemimpin para pemuda di surga.
Ketika jamaah berdiri di Baqi’, mereka sebenarnya sedang berada di hadapan tokoh-tokoh besar yang menjadi pilar Islam. Merekalah yang mengorbankan harta, jiwa, dan tenaga demi tegaknya agama Allah.
Tidak hanya para sahabat, Baqi’ juga menjadi tempat peristirahatan bagi banyak tabi’in (generasi setelah sahabat) dan ulama besar. Di antaranya adalah Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki. Beliau lahir, hidup, dan wafat di Madinah, sehingga dimakamkan di Baqi’. Keberadaan ulama besar di sini semakin menambah aura spiritual pemakaman ini sebagai madrasah keabadian bagi umat.
Ziarah ke Baqi’ bukan sekadar melihat makam, tetapi meneladani kisah hidup para penghuninya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku (sahabat), kemudian yang setelahnya (tabi’in), kemudian yang setelahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, berziarah ke Baqi’ adalah juga berziarah ke tiga generasi terbaik umat ini. Pertanyaan reflektif yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri: “Sudahkah kita benar-benar menghargai perjuangan mereka dengan menjaga agama ini, atau kita justru lalai?” Karena sejatinya, ziarah ke Baqi’ adalah pengingat bahwa Islam yang kita nikmati hari ini adalah buah perjuangan para pendahulu yang dimakamkan di sana.
UAH Menjelaskan Adab Berziarah dan Hikmah dari Baqi’
Ziarah kubur dalam Islam bukan hanya sekadar tradisi, melainkan bagian dari sunnah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda: “Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, namun sekarang berziarahlah, karena ia akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim). Hadits ini menjadi dasar bahwa ziarah kubur adalah sarana pendidikan ruhani. Namun, ziarah harus dilakukan dengan adab yang benar, bukan sekadar formalitas. UAH (Ustadz Adi Hidayat) sering mengingatkan jamaah tentang pentingnya menjaga adab saat berziarah, terutama di tempat mulia seperti Baqi’. Menurut beliau, adab bukan hanya etika lahiriah, tetapi juga sikap batin yang penuh hormat, rendah hati, dan sadar bahwa kita sedang berada di tanah yang penuh keberkahan.
Secara lahiriah, ada beberapa adab yang ditekankan oleh UAH kepada jamaahnya. Pertama, memasuki area Baqi’ dengan hati yang khusyuk, tidak berbicara keras, apalagi bercanda berlebihan. Kedua, tidak berlebihan dalam menampakkan kesedihan. Islam mengajarkan keseimbangan: ziarah bukan untuk meratap, melainkan untuk mendoakan. Ketiga, tidak melakukan hal-hal yang dilarang syariat, seperti meminta-minta langsung kepada penghuni kubur atau meyakini bahwa mereka bisa mengabulkan doa. Rasulullah ﷺ memberikan teladan dengan doa beliau ketika berziarah: “Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni tempat kaum mukminin. Sesungguhnya kami insyaAllah akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi’ al-Gharqad.” (HR. Muslim). Doa ini menjadi pedoman bagi jamaah, bahwa fokus utama ziarah adalah doa dan salam untuk para penghuni kubur.
UAH menekankan bahwa hikmah terbesar dari ziarah ke Baqi’ adalah mengingat kematian dan menyiapkan diri untuk akhirat. Ketika jamaah berdiri di tengah ribuan kuburan sahabat dan ulama, mereka seakan diingatkan bahwa sehebat apa pun manusia, pada akhirnya kembali ke tanah. Allah ﷻ berfirman: “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan balasan dengan sempurna.” (QS. Ali Imran: 185). Ayat ini mengingatkan bahwa Baqi’ bukan sekadar tempat peristirahatan para sahabat, tetapi juga cermin bagi kita semua bahwa kematian pasti datang.
Selain itu, hikmah lain yang ditekankan UAH adalah menumbuhkan rasa syukur dan kerendahan hati. Banyak dari kita bisa berziarah ke Baqi’ karena nikmat Allah semata. Di hadapan kuburan para pejuang Islam, hati akan merasa kecil, menyadari bahwa kita belum sebanding dalam pengorbanan dan perjuangan mereka. Dalam beberapa ceramahnya, UAH sering berkata bahwa ziarah bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk menghidupkan semangat perjuangan Islam dalam diri jamaah. Dengan berziarah ke Baqi’, jamaah diharapkan semakin kuat dalam meneladani iman Utsman bin Affan, kesabaran Hasan bin Ali, atau kecerdasan Aisyah r.a.
Beliau mengingatkan bahwa terlalu banyak orang yang hanya mengambil ziarah sebagai “agenda tur”, padahal nilai sejatinya adalah membangkitkan kesadaran spiritual. UAH menutup dengan pesan sederhana: “Jika ziarah Baqi’ tidak membuat kita semakin dekat dengan Allah, maka kita hanya sekadar lewat tanpa membawa bekal.” Setiap jamaah seharusnya bertanya kepada dirinya sendiri: “Apakah ziarah saya ke Baqi’ hanya sekadar ritual, ataukah ia telah menumbuhkan kesadaran baru dalam hati saya?” Karena sejatinya, ziarah kubur adalah ibadah yang hidup. Ia bukan hanya doa untuk orang yang telah wafat, tetapi juga peringatan bagi yang masih hidup.
Maka, mari kita renungkan pesan UAH: ziarah sejati adalah ketika kita pulang dengan hati yang lebih takut kepada Allah, lebih sayang kepada sesama, dan lebih siap menghadapi akhirat.
Refleksi: Menghargai Perjuangan Para Pendahulu Islam
Ketika seseorang berdiri di Makam Baqi’, ia tidak hanya melihat hamparan tanah dan batu nisan sederhana, tetapi sedang berdiri di atas sejarah peradaban Islam yang megah. Setiap kuburan di sana menyimpan kisah pengorbanan yang tak ternilai. Ada sahabat yang meninggalkan kampung halamannya demi berhijrah, ada yang syahid membela Rasulullah ﷺ, ada pula yang mengorbankan harta dan jiwa demi tegaknya kalimat tauhid.
Allah ﷻ mengabadikan jasa mereka dalam Al-Qur’an: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Taubah: 100). Ayat ini menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah fondasi kokohnya Islam yang kita nikmati hari ini.
Refleksi utama dari ziarah ke Baqi’ adalah bagaimana umat Islam meneladani semangat pendahulu. Kesabaran Utsman bin Affan dalam menghadapi fitnah, keberanian Hasan bin Ali dalam mempertahankan kebenaran, kecerdasan Aisyah r.a. dalam meriwayatkan hadits, serta keteguhan Abbas bin Abdul Muthalib dalam mendampingi Nabi ﷺ — semua adalah pelajaran hidup yang relevan hingga hari ini.
Umat Islam modern sering terjebak pada kesibukan duniawi sehingga melupakan akar sejarahnya. Padahal, memahami jasa para pendahulu akan membuat kita lebih bersyukur dan lebih sadar bahwa setiap kenyamanan beragama hari ini adalah hasil jerih payah generasi sebelumnya.
Menghargai perjuangan para pendahulu bukan sekadar dengan doa, tetapi juga dengan melanjutkan cita-cita mereka: menjaga agama, memperjuangkan kebenaran, dan menebarkan Islam sebagai rahmat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim). Dengan meneladani semangat para sahabat dan ulama yang dimakamkan di Baqi’, seorang muslim sebenarnya sedang mengambil bagian dalam estafet dakwah yang tak pernah terputus.
Rasa syukur karena bisa berziarah ke Baqi’ harus berubah menjadi tanggung jawab: bagaimana kita melanjutkan perjuangan mereka di zaman ini. Jika mereka dahulu berjuang dengan pedang, darah, dan harta, maka umat hari ini bisa berjuang dengan ilmu, dakwah, teknologi, dan amal sosial.
Setiap ziarah ke Baqi’ seharusnya menjadi cermin bagi diri sendiri. Pertanyaannya bukan hanya “siapa yang dimakamkan di sini?”, tetapi juga “apa yang sudah saya lakukan untuk Islam setelah mereka pergi?”. Ziarah tanpa refleksi hanya akan menjadi wisata sejarah, sementara ziarah dengan refleksi akan menjadi penggerak perubahan.
Allah ﷻ mengingatkan dalam QS. Al-Hasyr: 19: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” Ayat ini menegaskan bahwa lupa kepada Allah berarti juga lupa pada identitas dan tanggung jawab sebagai muslim.
Menghargai perjuangan para pendahulu di Baqi’ bukan sekadar mengagumi, tetapi menghidupkan semangat mereka dalam diri kita. Jika mereka bisa berkorban dengan segala keterbatasan, mengapa kita yang hidup di era serba mudah justru lalai? Maka, pulang dari Baqi’ harus membawa pertanyaan reflektif: “Apakah saya sudah menjadi bagian dari penerus perjuangan mereka, atau saya hanya sekadar penonton sejarah?”
Doa-doa Khusus yang Disampaikan untuk Para Syuhada dan Alim
Ketika berziarah ke Baqi’, salah satu amalan utama yang ditekankan adalah mendoakan para penghuni kubur. Rasulullah ﷺ sendiri memberi teladan dalam hal ini. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, disebutkan bahwa setiap kali beliau masuk ke Baqi’, beliau berdoa:
“Assalamu’alaikum, ahlad-diyari minal-mu’minina wal-muslimin, wa inna in syaa Allahu bikum laahiqoon. Nas’alullaha lana wa lakumul ‘aafiyah.”
Artinya: “Semoga keselamatan tercurah atas kalian, wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Sungguh, insyaAllah kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah keselamatan untuk kami dan kalian.”
Doa ini bukan hanya salam penghormatan, tetapi juga pengingat bahwa setiap orang hidup pasti akan menyusul orang-orang yang sudah wafat. Maka, doa ini memiliki dua dimensi: mendoakan mereka yang telah mendahului, sekaligus mengingatkan diri sendiri tentang kepastian kematian.
Baqi’ juga menjadi tempat peristirahatan bagi banyak syuhada, meski sebagian besar syuhada Uhud dimakamkan di Bukit Uhud. Namun, tradisi mendoakan para syuhada tetap dijaga di Baqi’, karena syuhada memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Allah ﷻ berfirman:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169).
Doa yang biasa dipanjatkan untuk para syuhada adalah: “Allahummaghfir lahum, warhamhum, wa ajirhum, wa’fu ‘anhum.” (Ya Allah, ampunilah mereka, rahmatilah mereka, beri mereka ganjaran, dan maafkanlah mereka). Dengan doa ini, jamaah mengakui jasa para syuhada sekaligus memohonkan kebaikan bagi mereka.
Selain sahabat dan syuhada, di Baqi’ juga dimakamkan banyak ulama besar dan orang-orang saleh. UAH sering mengingatkan jamaahnya untuk tidak hanya menyebut doa umum, tetapi juga menghargai jasa keilmuan mereka dengan doa yang lebih personal.
Misalnya: “Allahummaghfir li ulama’ina, wa ja’alna min man yanhajju nahjahum, wa yattabi’u sunnatahum.” (Ya Allah, ampunilah ulama-ulama kami, jadikanlah kami orang-orang yang menempuh jalan mereka, dan mengikuti sunnah mereka).
Doa seperti ini menegaskan bahwa keberadaan ulama adalah penerus warisan kenabian, dan mendoakan mereka berarti juga menjaga kesinambungan ilmu yang telah mereka sebarkan.
Mendoakan ahli kubur adalah amalan yang pahalanya kembali pada dua pihak sekaligus. Pertama, pahala bagi si mayit karena mendapatkan tambahan rahmat dari Allah. Kedua, pahala bagi orang yang berdoa, karena ia telah menjalankan sunnah Nabi ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dengan berdoa di Baqi’, seorang muslim seakan memperpanjang amal para pendahulu, karena doa itu menjadi tambahan kebaikan bagi mereka. Di sisi lain, doa tersebut juga membentuk kesadaran bahwa suatu saat nanti kitalah yang akan membutuhkan doa dari generasi setelah kita.
Pertanyaan reflektif yang perlu diajukan setelah ziarah adalah: “Apakah doa yang saya panjatkan untuk mereka lahir dari hati yang ikhlas, atau sekadar formalitas karena ikut rombongan?” Karena hakikat doa bukan terletak pada panjangnya bacaan, melainkan pada ketulusan hati.
Jika ziarah ke Baqi’ hanya berhenti pada salam formal, maka nilai spiritualnya bisa hilang. Tetapi jika doa benar-benar dihayati, maka ziarah menjadi sarana mempererat ikatan ruhani antara generasi terdahulu dan generasi sekarang. Inilah inti dari doa ziarah: menyambung cinta umat di lintas zaman.
Ziarah Bukan Hanya untuk Mengenang, tapi untuk Menghidupkan
Bagi sebagian jamaah, ziarah sering kali hanya dianggap agenda tambahan dalam perjalanan umrah atau haji. Mereka datang, membaca doa singkat, lalu pulang tanpa membawa pesan yang mendalam. Padahal, hakikat ziarah yang diajarkan Rasulullah ﷺ jauh melampaui itu. Ziarah bukan hanya tentang mengingat siapa yang dimakamkan, melainkan tentang menghidupkan kembali semangat perjuangan dan iman mereka dalam kehidupan kita hari ini. Rasulullah ﷺ bersabda: “Berziarahlah kalian ke kubur, karena ziarah itu mengingatkan kalian akan kematian.” (HR. Muslim). Mengingat kematian bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu menuju kehidupan yang lebih bermakna. Artinya, ziarah harus menjadi katalis perubahan: dari lalai menjadi sadar, dari lemah menjadi kuat, dan dari sekadar mengenang menjadi menghidupkan.
Di Baqi’, setiap nama yang dimakamkan adalah teladan hidup. Jika jamaah hanya datang untuk menyebut nama, lalu pergi tanpa mengambil pelajaran, maka ziarah kehilangan ruhnya. Namun, jika ziarah dilakukan dengan kesadaran, maka kisah Utsman bin Affan tentang kesabaran, perjuangan Hasan bin Ali tentang keberanian, dan kebijaksanaan Aisyah r.a. bisa menjadi energi spiritual yang membentuk kehidupan seorang muslim. UAH sering menekankan bahwa ziarah sejati adalah menyambungkan diri dengan warisan iman generasi terdahulu. Caranya bukan dengan ritual berlebihan, tetapi dengan amal nyata setelah pulang: memperkuat shalat, memperbanyak sedekah, menebar ilmu, dan menjaga akhlak mulia. Dengan begitu, semangat mereka benar-benar hidup dalam kehidupan kita.
Menghidupkan ziarah berarti menjadikannya sebagai ladang amal yang berkelanjutan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani). Ziarah ke Baqi’ harus melahirkan tekad baru untuk menjadi pribadi yang bermanfaat, sebagaimana para penghuni Baqi’ dahulu mengorbankan dirinya untuk umat.
Dengan cara ini, ziarah tidak berhenti pada doa di pemakaman, tetapi berlanjut pada amal yang nyata dalam kehidupan sosial. Setiap sedekah, setiap pengajaran ilmu, setiap kebaikan yang kita lakukan adalah cara menghidupkan semangat para pendahulu yang telah dimakamkan di Baqi’. Pertanyaan reflektif yang harus kita ajukan setelah berziarah adalah: “Apakah saya pulang dari Baqi’ dengan hati yang lebih siap menghadapi kematian dan dengan tekad yang lebih kuat untuk hidup sesuai ajaran Islam?” Jika jawabannya iya, maka ziarah telah berfungsi sebagaimana mestinya.
Ziarah sejati bukan hanya meninggalkan air mata, tetapi meninggalkan api semangat untuk memperbaiki diri. Bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi menghidupkan warisan iman di masa kini dan masa depan. Maka, mari kita renungkan pesan besar ini: ziarah bukan untuk orang yang telah mati, tetapi untuk orang yang masih hidup. Para penghuni Baqi’ telah selesai dengan urusan mereka, sementara kita yang masih hidup diberi kesempatan untuk beramal. Jadikan ziarah ke Baqi’ sebagai momentum kebangkitan spiritual, agar pulang dari Madinah bukan hanya dengan foto dan kenangan, tetapi dengan hati yang hidup, iman yang kuat, dan amal yang berkelanjutan.
1 Komentar
Hany Aabdurrahman Arrifai
September 9, 2025 pukul 2:49 amAlhamdulillah, dapet insight baru dari artikel ini