Tanah Suci bukan hanya tempat ibadah fisik, tetapi juga ladang ilmu dan pertemuan ruhani. Di Makkah dan Madinah, jamaah dari berbagai negara memiliki peluang berharga untuk bertemu langsung dengan para ulama besar dunia Islam. Momen ini adalah kesempatan langka, di mana umat Islam bisa menimba ilmu dari orang-orang yang mewarisi warisan para Nabi, yakni para ulama.
Namun, seperti halnya ketika memasuki majelis Rasulullah ﷺ di masa silam, pertemuan dengan ulama menuntut adab tinggi, sikap rendah hati, dan kesiapan ruhani. Artikel ini akan membahas adab-adab yang perlu dijaga ketika bertemu ulama besar di Tanah Suci, serta bagaimana menjadikan ilmu yang diperoleh sebagai bekal hidup sepulang dari ibadah.
Keutamaan Majelis Ilmu Bersama Para Ulama
Majelis ilmu adalah taman surga di dunia. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Bertemu dengan ulama di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, dan mendengarkan langsung tausiyah mereka, adalah kehormatan luar biasa bagi para jamaah.
Ulama bukan sekadar orang berilmu, tapi juga pewaris Nabi yang membawa cahaya pemahaman, akhlak, dan hikmah. Mendengarkan mereka secara langsung akan terasa berbeda dibandingkan membaca buku atau menonton video.
Sering kali, para syeikh memberikan nasihat yang sangat relevan dengan kondisi ruhani para jamaah, dan bahkan menjawab kegelisahan hati yang selama ini terpendam.
Keberadaan mereka juga menjadi motivasi untuk terus memperdalam ilmu agama, bahkan setelah kembali ke tanah air.
Adab Duduk dan Mendengarkan Nasihat
Adab duduk di majelis ilmu adalah cermin adab terhadap ilmu itu sendiri. Ketika menghadiri pengajian atau ceramah seorang ulama, apalagi di Tanah Suci, jamaah hendaknya duduk dengan tenang, rapi, dan tidak menyela pembicaraan.
Mengangkat suara, berbicara dengan sesama jamaah, atau memotret tanpa izin adalah bentuk ketidaksopanan yang bisa mengurangi keberkahan ilmu. Dalam tradisi ulama salaf, bahkan menggerakkan badan terlalu sering dianggap kurang adab.
Bawalah buku catatan atau gunakan ponsel untuk merekam dengan izin, bukan untuk swafoto. Dengarkan dengan khusyuk dan hargai setiap kata yang keluar dari lisan orang yang bertahun-tahun mempelajari agama.
Sikap ini menunjukkan kesungguhan dalam mencari ilmu, bukan hanya karena kagum dengan sosok ulama, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan kenabian.
Sikap Tawadhu dan Menghormati Para Guru
Tawadhu atau rendah hati adalah sifat utama pencari ilmu. Ketika bertemu dengan ulama, jangan datang dengan maksud membanggakan diri, menantang pendapat, atau sekadar meminta tanda tangan.
Berilah salam dengan penuh hormat, tundukkan pandangan, dan hindari sikap yang mengganggu konsentrasi ulama. Bahkan dalam tradisi klasik, murid dilarang duduk lebih tinggi dari gurunya atau memotong pembicaraan beliau.
Menghormati ulama berarti juga tidak menyebarkan fitnah, mengutip pernyataan mereka tanpa konteks, atau membandingkan secara negatif dengan ustadz lainnya.
Ingatlah sabda Rasulullah ﷺ, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak para ulama.” (HR. Ahmad).
Jika kita ingin mendapatkan cahaya ilmu, maka rendahkanlah diri di hadapan mereka, sebagaimana tanah yang rendah siap menerima air.
Kisah Jamaah Umrah yang Terinspirasi dari Nasihat Syeikh
Banyak jamaah pulang dari umrah membawa oleh-oleh ruhani berupa nasihat dari para ulama. Salah satu kisah datang dari seorang jamaah asal Indonesia yang sempat mengikuti halaqah Syeikh Shalih al-Fawzan di Masjid Nabawi.
Dalam ceramah singkatnya, sang syeikh menekankan pentingnya menjaga keikhlasan dalam setiap amal. Kata-katanya begitu menancap di hati sang jamaah, hingga ia menangis tersedu dan mengaku bahwa selama ini terlalu banyak ibadahnya tercampur riya.
Sejak itu, ia memperbaiki niat dalam shalat, sedekah, dan bahkan ucapan sehari-harinya. Pulang ke tanah air, ia mendirikan kelompok pengajian kecil dengan semangat menghidupkan ilmu yang pernah ia dengar langsung.
Kisah ini menjadi bukti bahwa satu nasihat yang datang dari hati seorang ulama bisa mengubah arah hidup seorang muslim selamanya.
UAH: “Belajar Ilmu Langsung dari Sumbernya adalah Anugerah Besar”
Dalam banyak kesempatan, Ustadz Adi Hidayat mengingatkan bahwa bertemu langsung dengan ulama adalah nikmat besar yang tak semua orang dapatkan.
“Belajar ilmu langsung dari sumbernya adalah anugerah besar. Di situlah ilmu yang hidup, bukan hanya teks, tapi ruh, akhlak, dan keberkahan yang turun,” kata beliau.
Beliau juga menekankan bahwa para ulama besar seperti syeikh-syeikh Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah penjaga ilmu yang terpercaya, maka siapapun yang berkesempatan mendengarkan mereka harus memuliakan dan mengambil manfaat semaksimal mungkin.
UAH juga mendorong jamaah untuk membawa pulang semangat ilmu tersebut, membagikannya di lingkaran keluarga dan masyarakat agar Tanah Air dipenuhi cahaya.
Ilmu yang baik, kata beliau, bukan hanya dipelajari, tapi disebarkan dengan adab dan kasih sayang.
Membawa Semangat Ilmu Tersebut ke Tanah Air
Ilmu tidak berhenti di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Justru setelah kembali ke Tanah Air, seorang jamaah dituntut menjadi duta ilmu dan adab.
Apa yang telah didengar, dicatat, dan direnungkan selama umrah atau haji hendaknya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari: shalat tepat waktu, menjaga akhlak, serta rajin belajar agama.
Sebagian jamaah menginisiasi halaqah kecil di rumah, membuka forum kajian di masjid lingkungan, atau minimal mengajak keluarga untuk rutin murajaah.
Dengan cara ini, ilmu yang diperoleh dari ulama tidak menjadi kenangan semata, tapi menghidupkan masyarakat sekitar.
Seperti cahaya yang menular, semangat ilmu yang dibawa dari Tanah Suci akan menebarkan keberkahan di mana pun berada.
Penutup
Bertemu ulama di Tanah Suci bukan hanya momen yang membanggakan, tapi juga amanah ilmu dan adab. Dengan menjaga etika, rendah hati, dan membawa semangat menuntut ilmu sepulangnya ke tanah air, setiap jamaah dapat menjadi penyambung cahaya Islam di lingkungannya.
Sebagaimana kata UAH, “Ilmu yang disampaikan langsung dari hati akan sampai ke hati pula.” Maka jadikanlah setiap perjumpaan dengan ulama sebagai jalan mendekat kepada Allah dan memperkuat iman.