Kehilangan orang yang dicintai—pasangan hidup, orang tua, anak, atau sahabat—meninggalkan luka yang tidak selalu bisa disembuhkan oleh waktu. Dalam kondisi hati yang rapuh dan jiwa yang mencari pegangan, banyak orang akhirnya menemukan pelipur lara di Baitullah. Umrah di tengah duka bukan hanya perjalanan fisik menuju Tanah Suci, tetapi juga perjalanan spiritual untuk berdamai dengan takdir Allah. Artikel ini mengangkat kisah nyata seorang jemaah yang tetap melangkah ke Makkah setelah kepergian pasangan tercintanya. Sebuah kisah tentang cinta, kehilangan, dan kekuatan untuk bangkit dalam pelukan Ka’bah.
Ditinggal Pasangan Sebelum Berangkat Umrah
Rencana umrah bersama pasangan telah disusun rapi. Tiket sudah di tangan, jadwal manasik sudah ditetapkan, bahkan perlengkapan ihram sudah dibeli. Tapi takdir berkata lain. Beberapa pekan sebelum keberangkatan, sang suami meninggal dunia secara mendadak akibat serangan jantung. Dunia seakan runtuh. Ia merasa tak ada gunanya melanjutkan perjalanan yang telah mereka impikan sejak lama.
Selama berhari-hari, ia mengurung diri, memandangi koper yang belum sempat dibuka. Setiap benda menjadi pengingat: baju ihram suaminya, daftar doa yang ditulis berdua, bahkan itinerary yang masih tertempel di kulkas. Rasanya mustahil melangkah sendiri ke Tanah Haram tanpa seseorang yang selama ini menjadi pelengkap hidupnya.
Namun dalam doa-doa malam yang panjang, ia merasa ada bisikan lembut di hatinya: “Lanjutkan perjalanan itu. Jangan tunda ibadah yang sudah kita niatkan.” Ia pun memberanikan diri untuk tetap berangkat. Bukan untuk berlibur, bukan untuk menggugurkan kewajiban, tapi untuk menguatkan diri dan mengirimkan cinta terakhir bagi seseorang yang sudah lebih dulu berpulang.
Melangkah ke Tanah Haram dalam Kesendirian dan Tangisan
Mendarat di Jeddah dan melihat lautan jamaah dari seluruh dunia justru mempertegas kesendiriannya. Di antara pasangan-pasangan yang saling menggandeng tangan dan saling menuntun, ia berjalan sendiri. Setiap langkah menuju Masjidil Haram menjadi perjuangan batin. Suara talbiyah yang berkumandang justru mengundang air mata yang tak bisa ditahan.
Di dalam Masjidil Haram, saat duduk menghadap Ka’bah, ia tak sanggup berkata apa pun. Tangisnya pecah. Ia tak sedang memohon banyak hal, hanya ingin mengungkapkan rindu. Semua beban yang selama ini dipendam, semua kesedihan yang tak sempat tertumpahkan, mengalir dalam tangisan yang seolah menjadi bentuk dzikir tersendiri.
Setiap thawaf terasa berat. Bukan karena fisik, tapi karena ada ruang kosong di sampingnya yang biasanya diisi oleh orang terdekat. Namun perlahan, rasa kehilangan itu tidak lagi terasa menyesakkan. Ia mulai merasakan bahwa dalam sunyi itu, ada ketenangan. Dalam kehilangan itu, ada kesempatan untuk lebih mengenal Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung.
Menyampaikan Rindu dan Doa untuk yang Telah Tiada
Di depan Multazam, tempat doa tak tertolak, ia berdiri lebih lama dari jamaah lain. Tangan menempel pada dinding Ka’bah, kepala menunduk, dan bibir bergetar melantunkan doa-doa yang paling dalam. Ia menyebut nama suaminya, mendoakan agar Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosanya, dan menjadikan umrah ini sebagai hadiah cinta terakhir darinya.
Doa itu bukan lantang, tapi tulus. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah bahasa hati. Ia berbicara kepada Allah layaknya anak kecil yang kehilangan ayahnya. Ia tidak sekadar berdoa, ia menyampaikan rindu yang tak bisa dikirim lewat pesan, hanya bisa dititipkan lewat langit.
Ia pun berdoa untuk dirinya sendiri. Agar kuat. Agar bisa menjalani sisa hidup dengan hati yang lapang. Agar tidak terus larut dalam kesedihan, tapi menjadikan duka ini sebagai bekal untuk lebih mengenal Allah. Dan di momen itu, ia merasa ada ketenangan yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Seolah Ka’bah sendiri memeluk dan menenangkan jiwanya.
Menemukan Ketenangan dalam Dekapan Ka’bah
Hari-hari selanjutnya dijalani dengan lebih tenang. Ia masih menangis, tapi kini dengan rasa syukur. Ia masih sendiri, tapi tak lagi merasa sepi. Setiap kali menatap Ka’bah, ia merasa sedang berbicara langsung dengan Rabb-nya. Ia mulai merasakan bahwa kepergian orang tercinta bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari ikatan baru yang dibangun dalam doa.
Thawaf menjadi ruang tafakur. Sa’i menjadi tempat menguatkan tekad. Dan setiap sujudnya terasa lebih dalam dan jujur. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu bergantung pada manusia. Kini, Allah sedang mengajarinya untuk hanya bersandar kepada-Nya. Dan ternyata, itu bukan hal yang menakutkan—melainkan justru menenangkan.
Ia tak pernah menyangka bahwa di tengah duka, justru ada kedamaian yang begitu lembut menyelimuti. Umrah kali ini bukan tentang checklist ibadah, tapi tentang proses penyembuhan. Dan dalam setiap langkahnya, ia merasa tidak sendiri. Ia merasa dibimbing, dilindungi, dan dicintai langsung oleh Allah.
Pulang Bukan untuk Melupakan, Tapi Mengikhlaskan
Ketika pesawat kembali ke tanah air, ia tahu bahwa hatinya tak lagi sama. Ia pulang bukan sebagai janda yang ditinggalkan, tapi sebagai hamba yang diberi kekuatan baru. Ia tak berniat melupakan kenangan bersama suaminya—karena cinta sejati tidak bisa dihapus. Tapi kini, ia sudah siap mengikhlaskan.
Kenangan tetap hidup. Doa tetap mengalir. Tapi kini hatinya tidak lagi retak. Ia telah belajar bahwa kehilangan adalah bagian dari cinta, dan umrah adalah tempat terbaik untuk mengelola rasa itu. Ia ingin berbagi kisahnya agar orang lain tahu, bahwa di balik air mata, selalu ada pelukan lembut dari Allah jika kita mau mendekat kepada-Nya.
Kini ia menjadi penguat bagi teman-teman sejawat yang juga mengalami duka. Ia berkata, “Kalau hatimu luka, pergilah ke Baitullah. Di sana kamu tak hanya menemukan Tuhan, tapi juga menemukan dirimu yang lebih kuat.”