Setiap Muslim pasti merindukan momen agung menjadi tamu Allah di Tanah Suci, baik untuk menunaikan haji maupun umrah. Namun, tidak semua orang langsung mendapat kesempatan tersebut karena keterbatasan biaya, kuota visa, atau kondisi fisik. Ustadz Adi Hidayat (UAH) dalam banyak tausiyahnya sering menegaskan bahwa meskipun belum bisa berangkat haji, bukan berarti kita kehilangan peluang meraih pahala besar yang setara dengannya. Ada banyak amal shalih yang bisa dilakukan sebagai bentuk kesiapan hati dan bukti cinta kepada Allah. Artikel ini akan membahas motivasi dari UAH, amal pengganti haji yang bisa dilakukan dari rumah, serta harapan untuk tetap menjadi tamu-Nya suatu hari nanti.
UAH Memberi Motivasi Bagi yang Belum Punya Visa Haji
Dalam salah satu kajiannya, Ustadz Adi Hidayat menyampaikan kalimat penuh harapan bagi kaum Muslimin yang belum mendapatkan kesempatan haji: “Jika belum bisa berangkat haji, jangan putus asa. Perbanyak amalan yang bisa mengundang ridha Allah dari rumah kita.” UAH memahami bahwa banyak orang yang sudah lama menabung, mendaftar, bahkan berdoa siang dan malam, namun belum juga terpilih menjadi dhuyufurrahman—tamu Allah. Bukan karena Allah menolak, tapi karena Allah ingin melihat seberapa sabar dan seriusnya kita mempersiapkan diri, bahkan sebelum panggilan itu datang.
Motivasi ini menjadi energi baru bagi banyak orang. Bahwa menanti bukan berarti berhenti. Justru di masa penantian inilah Allah memberi peluang besar untuk menumbuhkan cinta, kesiapan, dan komitmen yang kuat kepada ibadah. Dengan nada lembut namun menukik, UAH mengajak jamaah untuk menjadikan masa “belum” sebagai masa “bersiap”.
Amal-Amal Pengganti yang Bisa Dilakukan di Rumah
UAH menekankan bahwa pahala haji bukan hanya diperoleh dengan menempuh ribuan kilometer ke Mekkah. Ada amal-amal pengganti yang sangat bernilai dan bisa dikerjakan dari rumah. Misalnya, istiqamah melaksanakan salat fardhu berjamaah di masjid bagi laki-laki, atau salat dhuha dan qiyamul lail bagi siapa pun yang mampu. Ini semua termasuk dalam amal yang disebut Rasulullah ﷺ memiliki pahala yang mendekati, bahkan dalam beberapa kondisi bisa menyamai haji.
Contohnya, seseorang yang pergi ke masjid untuk salat berjamaah dan duduk berzikir hingga matahari terbit lalu salat dua rakaat, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, akan mendapatkan pahala seperti haji dan umrah sempurna. Maka rumah, masjid lingkungan, dan keseharian kita bisa menjadi “miniatur Mekkah” jika kita tahu bagaimana cara memaknainya.
Sedekah, Puasa, Zikir, dan Memperbaiki Akhlak sebagai Bentuk Kesiapan
Di antara bentuk kesiapan untuk berhaji yang disarankan UAH adalah memperbanyak sedekah, puasa sunnah, zikir harian, serta memperbaiki akhlak. Semua itu bukan sekadar amal tambahan, tapi indikator kesiapan spiritual kita. Sebab haji bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga transformasi akhlak dan jiwa. Jika kita sudah terbiasa menahan amarah, menahan lisan, dan menumbuhkan empati, maka kita sudah melatih diri untuk menempuh manasik hati sebelum manasik resmi.
UAH juga sering mengingatkan bahwa Allah melihat kualitas ibadah bukan dari besar atau kecilnya bentuk, tapi dari kedalaman niat dan kesungguhan. Maka memperbaiki hubungan dengan keluarga, bersikap lembut kepada tetangga, dan menghindari ghibah atau iri hati—semua itu bisa menjadi modal besar yang Allah nilai sebagai bagian dari proses menjemput panggilan haji.
Hadis-Hadis tentang Pahala Amal yang Sebanding dengan Haji
Beberapa hadis Rasulullah ﷺ menjadi sandaran kuat bagi motivasi ini. Salah satunya adalah hadis riwayat At-Tirmidzi yang menyebutkan bahwa perempuan yang menjaga rumahnya, beribadah dengan ikhlas, dan menaati suaminya akan mendapatkan pahala seperti pahala haji. Demikian pula orang yang menuntut ilmu dan sabar dalam menunaikan ibadah dengan istiqamah disebut mendapatkan pahala yang tidak kalah besarnya.
Dalam konteks inilah, UAH menjelaskan pentingnya memperluas pandangan kita tentang ibadah. Haji bukan hanya ibadah ritual, tapi juga simbol kesungguhan iman. Ketika seseorang belum bisa berhaji, tapi bersungguh-sungguh dalam amal lainnya, maka ia tetap bisa merasakan “kehadiran spiritual di Tanah Suci” melalui ibadah yang tulus dan berkualitas.
UAH: “Allah Menilai Kesiapan Hati Sebelum Fisik”
Pernyataan UAH yang sangat menggugah adalah: “Allah menilai kesiapan hati sebelum kesiapan fisik.” Artinya, Allah tahu siapa yang benar-benar rindu berangkat haji, meskipun belum ada paspor, visa, atau dana yang cukup. Allah menilai siapa yang terus menangis dalam tahajud, memohon agar suatu hari bisa mencium Hajar Aswad, berdiri di Arafah, dan bersujud di depan Ka’bah.
Kalimat ini bukan hanya retorika, tapi menjadi pengingat bahwa kesiapan haji dimulai dari dalam diri. Ketika hati sudah tertata dan niat sudah matang, Allah akan buka jalan dengan cara yang tidak diduga. Bahkan jika pun ajal mendahului sebelum haji terlaksana, selama niat dan ikhtiar tulus, maka insyaAllah pahala itu tetap ditulis.
Harapan dan Doa agar Tetap Menjadi Tamu Allah Suatu Hari Nanti
Akhir dari perjalanan spiritual ini adalah harapan yang tak pernah padam. Harapan untuk menjadi tamu Allah, meskipun belum ada kepastian dari dunia. Dalam banyak majelis, UAH membimbing jamaah untuk memperbanyak doa, memperkuat niat, dan terus beramal dalam rangka menjemput undangan ilahi itu. Tidak sedikit yang akhirnya berangkat ke Tanah Suci melalui jalan yang tak disangka, karena Allah Maha Mendengar doa yang tulus.
Karenanya, mari kita terus menjaga hati, memperbanyak amal, dan tidak berhenti berharap. Allah tidak pernah lalai dari doa hamba-Nya. Boleh jadi tahun ini belum waktunya, tapi bisa jadi tahun depan kita sudah berdiri di depan Ka’bah, menitikkan air mata sebagai tamu-Nya. Yang penting: hati kita terus mengarah ke arah-Nya.
1 Komentar
Hanto Rifanto
September 26, 2025 pukul 2:50 amalhamdulillah, saya jadi punya gambaran kedepannya